Selasa, 11 September 2012

program akademik universitas terbuka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Universitas Terbuka (UT) adalah Perguruan Tinggi Negeri ke-45 di Indonesia yang diresmikan pada tanggal 4 September 1984, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 41 Tahun 1984. UT menerapkan sistem belajar jarak jauh dan terbuka. Istilah jarak jauh berarti ada keterpisahan antara dosen dan mahasiswa sehingga proses pembelajaran dilaksanakan secara mandiri dengan menggunakan berbagai media, baik media cetak (modul) maupun non-cetak (audio/video, komputer/internet, siaran radio, dan televisi). Sedangkan istilah terbuka berarti tidak ada pembatasan usia, tahun ijazah, masa belajar, waktu registrasi,dan frekuensi mengikuti ujian. Batasan yang ada hanyalah bahwa setiap calon mahasiswa UT harus sudah menamatkan jenjang pendidikan menengah atas (SMA atau yang sederajat).
Universitas terbuka memiliki empat fakultas dan satu Program Pascasarjana yang menawarkan lebih dari 30 program studi meliputi Program Magister (S2), Program Sarjana (S1), Program Diploma (D1, D2, D3, dan D4), dan Program Sertifikat.

1.2 Rumusan Masalah
• Apa pengertian program akademik?
• Jelaskan jenjang pada program studi di universitas terbuka!
• Jelaskan fakultas yang ada di universitas terbuka!
1.3 Tujuan
• Dapat menjelaskan pengertian program akademik.
• Dapat menjelaskan jenjang yang ada pada program studi di universitas terbuka.
• Dapat menjelaskan fakultas yang ada di universitas terbuka.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Program Akademik

Berdasarkan UU no 20 tahun 2005 pasal 19 ayat 1 menyebutkan bahwa Pendidikan tinggi merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah yang mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor yang diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Program akademik itu sendiri adalah program system persekolahan yang hanya mempersiapkan sejumlah mata pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melanjutkan studi.
Tujuan umum program akademik adalan menyiapkan peserta didik (mahasiswa) menjadi warga Negara yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berjiwa Pancasila, memiliki integritas kepribadian yang tinggi, terbuka dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, kesenian, dan masalah yang dihadapi masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan bidang keahliannya.
2.2 Jenjang pada Program Studi Universitas Terbuka
Universitas terbuka memiliki empat fakultas dan satu program pascasarjana yang menawarkan lebih dari 30 program studi dengan jenjang yang bervariasi meliputi:
2.2.1 Program Magister yaitu suatu rancangan gelar akademis pada setiap strata 2 sebelum gelar doktor. Program magister yang ada di universitas terbuka yaitu:
1. Ilmu Administrasi Bidang Minat Administrasi Publik
UT memberi kesempatan kepada lulusan S1 dari berbagai bidang ilmu untuk mengikuti kuliah Pascasarjana UT pada program Magister Administrasi Publik (MAP-UT). Program Magister Administrasi Publik - UT mendidik mahasiswa menjadi kompoten dan profesional dalam memecahkan masalah publik yang kompleks dan cepat berubah. Karena itu, lulusan program MAP-UT akan menjadi administrator yang cakap menggunakan konsep dan teori administrasi publik untuk menciptakan organisasi publik yang efektif dan efesien
2. Manajemen
Program Magister Manajemen - UT mendidik mahasiswa menjadi kompoten dan profesional dalam memecahkan masalah publik yang kompleks dan cepat berubah. Karena itu, lulusan program MM-UT akan menjadi administrator yang cakap menggunakan konsep dan teori administrasi publik untuk menciptakan organisasi publik yang efektif dan efesien. Para pejabat dan aparat pemerintah atau pemda, anggota TNI/POLRI, pejabat dan pegawai. BUMN/BUMD, anggota DPR/DPD/DPRD, aktivis LSM, peneliti, serta profesional yang tidak bisa mengikuti kuliah dengan cara tatap muka sangat cocok mengikuti program pasca sarjana dengan sistem belajar jarak jauh ini.
3. Ilmu Kelautan Bidang Minat Manajemen Perikanan
UT memberi kesempatan kepada lulusan S1 dari berbagai bidang ilmu dan telah bekerja di bidang perikanan serta lulusan D-IV bidang perikanan untuk mengikuti kuliah Pascasarjana UT pada program Magister Ilmu Kelautan bidang minat Manajemen Perikanan (MMP-UT). Program Magister Manajemen Perikanan - UT mendidik mahasiswa menjadi kompeten dan profesional dalam menerapkan teori, menggunakan konsep dan melaksanakan praktek pengelolaan perikanan yang efektif dan efisien

4. Pendidikan Matematika

Program Magister Pendidikan Matematika (MPMT) UT dirancang untuk memberi kesempatan kepada lulusan S-1 Pendidikan Matematika baik yang berprofesi sebagai guru SMP/MTs, SMA/MA, maupun SMK/MAK, serta dosen perguruan tinggi yang ingin melanjutkan pendidikan pada jenjang S2. Program MPMT-UT mempunyai kurikulum yang didesain untuk menghasilkan guru/pendidik matematika yang profesional dan pengembang pendidikan bidang ilmu matematika yang mampu berpikir deduktif, logis, analisis, dan terstruktur dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi sebagai guru/pendidik matematika.

2.2.2 Program Sarjana/S1 yaitu suatu rancangan gelar strata 1 yang dicapai oleh seseorang yang telah menamatkan pendidikan tingkat terakhir di perguruan tinggi. Universitas terbuka memiliki puluhan program sarjana yang terdapat pada empat fakultas yaitu Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan sebanyak 10 program sarjana, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik sebanyak 6 program sarjana, Fakultas Ekonomi sebanyak 3 program sarjana, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam sebanyak 5 program sarjana.
2.2.3 Program Diploma(D1, D2, D3 dan D4) .Universitas terbuka memiliki 4 program diploma yaitu Program Diploma 1 (D1) Pengolahan Lingkungan, Program Diploma 4 (D4) Kearsipan, Program Diploma 3 (D3) Perpajakan, Program Diploma 2 (D2) Perpustakaan
2.2.4 Program Sertifikat adalah suatu program untuk meningkatkan keprofesionalan pada suatu bidang. Program sertifikat yang ada di universitas terbuka meliputi Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) dan Administrasi Pemerintahan Daerah. Program Sertifikat Administrasi Pemerintah Desa di bentuk untuk meningkatkan kemampuan profesional aparatur desa sedangkan Universitas Terbuka membuka program sertifikat Bahasa Inggris yang menitikberatkan pada kemahiran menulis dan membaca. Hal ini dimaksudkan agar peserta program dapat melanjutkan studinya ke jenjang strata satu bidang minat penerjemahan yang ditawarkan UT mulai periode 2010.1. Sedangkan kemahiran berbicara akan diperkenalkan dalam tutorial tatap muka (TTM).
2.3 Fakultas Universitas Terbuka
Universitas terbuka memiliki 4 fakultas yaitu:
a. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
b. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
c. Fakultas Ekonomi
d. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
2.3.1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan(FKIP)
Sebagai salah satu fakultas di lingkungan perguruan tinggi negeri yang ke-45, seluruh program yang ditawarkan oleh Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Terbuka telah memperoleh ijin resmi dari Dirjen Dikti. Saat ini, FKIP UT memiliki 5 jurusan dengan 12 program studi, beserta program pelatihan profesional kependidikan.
Program Sarjana Strata 1 (S1)
a. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
b. Pendidikan Bahasa Inggris
c. Pendidikan Biologi
d. Pendidikan Fisika
e. Pendidikan Kimia
f. Pendidikan Matematika
g. Pendidikan Ekonomi
h. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
i. Pendidikan Guru Sekolah Dasar(PGSD)
j. Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini(PGPAUD)
Program Sertifikat
• Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA)
• Administrasi Pemerintahan Daerah
2.3.2 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik(FISIP)
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) bertekad menjadi salah satu fakultas unggulandalam bidang ilmu sosial dan ilmu politik khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi jarak jauh (PTJJ) di Asia tahun 2010 dan di dunia tahun 2020
Program Sarjana Strata 1 (S1)
a. Administrasi Negara
b. Administrasi Niaga
c. Ilmu Pemerintahan
d. Ilmu Komunikasi
e. Sosiologi
f. Sastra Inggris Bidang Minat Penerjemahan
Program Diploma 4 (D4)
• Kearsipan
Program Diploma 3 (D3)
• Perpajakan
Program Diploma 2 (D2)
• Perpustakaan
2.3.3 Fakultas Ekonomi(FEKON)
Fakultas Ekonomi (FEKON) memiliki tujuan Menghasilkan sumberdaya manusia yang ahli dan profesional dalam bidang ekonomi dan/atau ahli dalam pengambilan keputusan manajerial berdasarkan pertimbangan terintegrasi bidang fungsional pemasaran, keuangan, operasi, dan sumberdaya manusia dan/atau ahli dalam bidang keuangan serta masalah-masalahnya dalam entitas bisnis dan organisasi publik.
Program Sarjana Strata 1 (S1)
a. Ekonomi Pembangunan
b. Managemen
c. Akuntansi

2.3.4 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam(FMIPA)
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Terbuka (FMIPA-UT) telah ada sejak UT didirikan, yaitu pada tahun 1984. Pada saat itu FMIPA-UT menawarkan Program Studi jenjang Strata 1 (S1) Statistika dan Matematika. Dalam perkembangannya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, saat ini FMIPA-UT menawarkan 6 (enam) Program Studi berjenjang S1, yaitu:
Program Sarjana Strata 1 (S1)
a. Matematika
b. Statistika
c. Biologi
d. Agribisnis Bidang Minat Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian/Peternakan/Perikanan
e. Ilmu dan Teknologi Pangan
Program Diploma 1 (D1)
• Pengolahan Lingkungan








BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Program akademik adalah program system persekolahan yang hanya mempersiapkan sejumlah mata pelajaran yang diperuntukan bagi siswa yang ingin melanjutkan studi. Universitas terbuka memiliki empat fakultas dan satu program pascasarjana yang menawarkan lebih dari 30 program studi dengan jenjang yang bervariasi meliputi program magister, program sarjana, program diploma, dan program sertifikat. Universitas terbuka memiliki 4 fakultas yaitu: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ekonomi, dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
3.2 Saran
UT menerapkan sistem belajar jarak jauh dan terbuka yang memiliki puluhan program akademik. Dalam pengambilan program akademik diharapkan sesuai dengan kemampuan sehingga dapat memilih program akademik yang tepat. Universitas terbuka itu sendiri memiliki variasi jenjang program studi yang diharapkan meningkatkan keprofesionalan dari suatu bidang tertentu.









DAFTAR PUSTAKA

Doyin, Mukh, Warigan. 2010. Bahasa lndonesia Pengantar Penulisan Karya Ilmiah. Semarang:Unnes Press.
http://www.ut.ac.id/
http://www.ut.ac.id/fakultas-ut.html
http://www.ut.ac.id/fekon-ut.html
http://www.ut.ac.id/fisip-ut.html
http://www.ut.ac.id/fmipa-ut.html
http://www.ut.ac.id/fkip-ut.html
http://www.ut.ac.id/pascasarjana-ut.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Universitas_Terbuka
http://www.ut.ac.id/katalog-ut-2011/387.html
http://www.scribd.com/doc/51152348/katalog-ut-nonpendas-2011
http://anton-djakarta.blogspot.com/2007/11/tentang-gelar-sarjana.html
http://www.poltekkesjakarta3.ac.id/?q=node/20
http://www.dikti.go.id/ketenagaan/2.%20pedoman-kaprodi%20cetak%20-%20firman.pdf

model pendidikan terbuka dan jarak jauh

BAB I
PENDAHULUAN

Pembelajaran jarak jauh (distance learning) telah diperkenalkan oleh banyak peneliti, misalnya Keegan (1980); Perry dan Rumble (1987). Karakteristik utama PTJJ adalah: a). pemisahan dosen dan mahasiswa selama proses belajar mengajar; b). penggunaan media pendidikan (cetak, audio, vidio dan internet) untuk menyatukan dosen dan mahasiswa; c). peranan penting organisasi pendidikan dalam perencanaan, persiapan bahan belajar dan penyediaan pelayanan mahasiswa; d). tersedianya komunikasi dua arah, dan e). kemandirian belajar mahasiswa (Rusfidra, 2006a,b).

Praktek pembelajaran jarak jauh sangat berbeda dengan model kelas jauh. Menurut Fajar (2002) PTJJ adalah perguruan tinggi yang dalam proses pembelajarannya menggunakan teknologi media, sedangkan kelas jauh sifatnya paralel (semacam filial), kelas yang jauh dari kampus pusatnya (Koran Tempo, 23/02/2002). Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pendidikan Tinggi No 2630/D/T/2000, model pembelajaran kelas jauh tidak boleh dilakukan, karena diduga dapat merugikan mahasiswa. Sampai saat ini PTN yang secara resmi menyelenggarakan sistem PTJJ hanyalah Universitas Terbuka, meskipun berdasarkan Keputusan Mendiknas Nomor 107/U/2001 tentang Penyelenggaraan Program Pendidikan Jarak Jauh, memungkinkan bagi setiap lembaga pendidikan tinggi menyelenggarakan sistem PTJJ.







1

BAB II
PEMBAHASAN

A. Model – Model Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh

Telah diketahui bahwa sebelum kita mengenal sistem PT/JJ, telah banyak lembaga di luar negeri yang menyelenggarakan PT/JJ. Batasan yang mereka gunakan mempunyai penekanan yang berbeda-beda, sebelum akhirnya dirumuskan batasan yang berlaku umum. Pada waktu itu yang berbeda sesungguhnya bukan hanya batasannya, model dan nama-nama yang mereka gunakan juga berbeda-beda. Berikut akan di uraikan beberapa dari model-model itu:

a. Sekolah Korespondensi
Sekolah Korespondensi kadang disebut Pendidikan melalui Korespondensi atau Belajar melalui Korespondensi. Sekolah Korespondensi mempunyai riwayat yang panjang dalam pendidikan anak-anak dan orang dewasa. Sampai sekarang Sekolah Korespondensi dianggap masih ada, sebab masih banyak Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh yang dikelola melalui hubungan surat-menyurat dengan bantuan pos. UNESCO memberi batasan Sekolah Korespondensi sebagai berikut:

“Pendidikan yang dilakukan dengan menggunakan jasa pos tanpa adanya pertemuan tatap muka antara guru dan siswa”.

Pengajaran dilakukan melalui bahan belajar dalam bentuk cetakan atau rekaman kaset suara yang dikirimkan kepada siswa melalui pos. Kemajuan belajar siswa dimonitor dengan menggunakan latihan atau tugas-tugas tertulis atau latihan yang direkam dalam kaset. Siswa mengerjakan latihan itu menggunakan tulisan atau rekaman kaset juga yang dikirimkan kepada guru yang ada di Pusat Lembaga
PT/JJ. Guru memeriksa pekerjaan siswa dengan memberi komentar dan saran-saran secara tertulis atau melalui rekaman kaset. Hasil koreksi itu dikirimkan kembali kepada siswa.

Beberapa tahun yang lalu, Sekolah Korespondensi di Australia dikelola sebagai berikut:
• Kurikulum dan bahan belajar disusun oleh guru-guru yang berkantor di lembaga yang mengelola Sekolah Korespondensi itu.
• Bahan belajar dikirimkan kepada siswa melalui pos ke rumah siswa.
• Siswa mempelajari bahan belajar itu dengan pengawasan dan bimbingan orang tua masing-masing.
• Siswa mengerjakan tugas atau latihan yang disediakan dalam bahan belajar itu.
• Pekerjaan siswa dikirimkan kepada guru di Kantor Pusat Sekolah Korespondensi.
• Guru mengoreksi, memberi komentar, dan memberikan saran-saran secara tertulis pada pekerjaan siswa itu.
• Pekerjaan siswa yang telah dikoreksi dikirimkan kembali kepada siswa. Dengan demikian siswa akan mengetahui kemajuan belajar masing-masing.
• Pada sistem ini tidak ada tutorial. Tutorial menjadi tugas masing-masing orang tua siswa.
• Pada waktu-waktu tertentu (biasanya pada musim panas) diadakan acara “camping” yang diikuti oleh para siswa. Pada saat itu dipelajari pelajaran yang memerlukan praktek seperti kesenian, olah raga, pekerjaan tangan.

Di Australia kerjasama antara PT/JJ dan Pos sangat baik. Surat-surat atau pelajaran yang dikirimkan melalui pos tidak dipungut biaya. Untuk memudahkan proses pengiriman, oleh Kantor Pos disediakan amplop mondar-mandir. Sebuah amplop yang bertanda khusus digunakan berulang kali, mondar-mandir dari guru ke siswa dan dari siswa ke guru. Sekolah Korespondensi sangat tergantung pada jasa pos. Karena itu bila sistem pengiriman melalui pos belum terjamin kelancarannya, sistem ini sulit dilaksanakan.
b. Pendidikan Terbuka
Banyak pendidikan terbuka yang diselenggarakan di berbagai negara. Mungkin Anda pernah mendengar nama-nama pendidikan terbuka seperti SMP Terbuka, SMA Terbuka dan Universitas Terbuka di Indonesia, Sukhothai Thammthirat Open University (STOU) di Thailand, The British Open University di United Kingdom, The Univeristy of Manila Open Universisty di Pilipina. Pendidikan Terbuka ini mempunyai karakteristik umum yang sama dengan belajar terbuka/jarak jauh (BT/JJ). Namun menurut para penyelenggara Pendidikan Terbuka ada perbedaan yang khas antara Pendidikan Terbuka dan BT/JJ. Apakah perbedaannya?

Seperti halnya dalam BT/JJ, siswa Pendidikan Terbuka dapat belajar dari jauh, maksudnya belajar jauh atau terpisah dari guru atau dosen dan mungkin juga jauh dari lembaga penyelenggaranya. Sebagai contoh, beribu-ribu mahasiswa Universitas Terbuka menghabiskan sebagian waktu belajarnya untuk belajar sendiri di tempat mereka masing-masing. Mereka menghadiri pelajaran secara tatap muka dengan dosen atau tutor hanya dalam waktu-waktu tertentu saja. Namun demikian belajar terbuka (open learning) atau pendidikan terbuka dapat terjadi di ruang kuliah yang penuh dengan siswa. Menurut Race (1989), seorang siswa yang sedang belajar sendiri dengan mempelajari buku teks, buku acuan, atau hand out untuk menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru, dapat dikatakan bahwa dia sedang belajar secara terbuka (open learning), sungguhpun hal itu dilakukan dalam kelas bersama dengan siswa lain. Dengan pengertian yang sama, belajar terbuka dapat terjadi di laboratorium, pusat pelatihan, tempat lokakarya, dan sebagainya. Pokoknya hampir di semua tempat belajar terbuka dapat terjadi, tidak peduli apakah pada saat itu siswa itu menjadi bagian dari kelompok atau sendirian saja.

Konsep di atas diterapkan dalam sistem SMP Terbuka. Setiap hari siswa wajib belajar di Tempat Kegiatan Belajar (TKB) bersama siswa lain. Namun demikian masing-masing siswa aktif belajar sendiri secara mandiri. Di TKB itu mereka tidak belajar dengan mendengarkan guru mengajar, melainkan belajar sendiri dengan menggunakan modul dengan bimbingan terbatas dari tutor yang disebut guru pamong. Sungguhpun duduk di satu ruangan bersama dengan siswa lain, mereka boleh mempelajari modul yang berbeda-beda.
Apakah arti terbuka dalam konsep “pendidkan terbuka” atau “belajar terbuka” itu? Terbuka berarti bahwa siswa atau peserta pendidikan lebih leluasa dalam menentukan pilihan dari pada siswa pendidikan konvensional. Leluasa dalam memilih apa?

• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam menentukan kecepatan belajarnya. Lama waktu untuk mempelajari sesuatu penggalan isi pelajaran (learning chunk) ditentukan oleh siswa sendiri. Keleluasaan seperti ini tidak dimiliki oleh siswa pendidikan konvensional, sebab dalam sistem pendidikan konvensional siswa harus menyesuaikan kecepatan belajarnya dengan kecepatan guru dalam mengajar. Kalau dosen atau guru memberikan penjelasan mengenai sesuatu topik terlalu lambat atau lama siswa yang pandai harus tetap mengikutinya sungguhpun mereka telah mengert dan menjadi bosan. Sebaliknya kalau guru mengajar terlalu cepat siswa yang lamban harus berusaha untuk mengikutinya meskipun barangkali mereka mendapatkan kesulitan dalam memahaminya, sehingga akibatnya dapat menjadi frustrasi.

Walaupun mempunyai kebebasan dalam menentukan waktu belajar, siswa pendidikan terbuka harus dapat menentukan kecepatan atau lama waktu belajar yang tepat. Sebab dalam pendidikan terbuka ada juga batas waktu. Pembatasan itu ditentukan, misalnya, oleh “waktu ujian semester” , ”waktu ujian nasional” dan sebagainya.

• Siswa atau peserta didik mempunyai keleluasaan dalam memilih tempat belajar. Belajar terbuka dapat dilakukan di rumah, di perpustakaan, di tempat kerja, atau di mana saja yang dianggap tepat oleh siswa itu sendiri.

• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri waktu belajarnya, sesuai dengan kemauan dan waktu yang dimilikinya.

• Siswa atau peserta didik dapat menentukan sendiri cara belajar yang sesuai untuk dirinya. Siswa dapat menyusun rencana belajar dengan memilih sebuah modul dan dipelajarinya sampai selesai dalam batas waktu tertentu, baru kemudian pindah ke modul lain. Siswa juga bebas menentukan apakah semua modul akan dipelajari setiap hari. Dalam hal ini masing-masing modul diberi jatah waktu tertentu, misalnya masing-masing 60 menit. Kalau jumlah modulnya ada 4 buah, maka setiap hari belajar 4 x 60 menit=240 menit. .Siswa juga bebas menentukan media belajar yang akan digunakannya, apakah membaca buku, melihat program video, belajar dengan bantuan komputer, mendengarkan kaset audio, menghadiri diskusi atau seminar, dan sebagainya.

Pengertian terbuka seringkali juga mengacu pada kriteria penerimaan siswa. Banyak Pendidikan Terbuka yang membebaskan calon siswa dari persyaratan masuk atau kualifikasi dalam menerima mahasiswa baru. Di samping itu siswa juga dapat tidak aktif untuk sementara waktu, dan kemudian aktif lagi di lain waktu.

c. Distance Teaching, Distance Learning, dan Distance Education
Mungkin Anda menjadi bingung bila membaca istilah-istilah yang hampir sama di atas, lebih-lebih karena istilah-istilah tersebut seringkali digunakan secara bergantian atau tumpang tindih (interchangable)
Keegan (1986) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut.

Distance Teaching berusaha mengembangkan bahan belajar mandiri yang bermutu yang dapat digunakan oleh lembaga pendidikan untuk memberikan pelajaran dari jauh. Orang-orang yang menggunakan istilah ini lebih menekankan pada penyediaan bahan belajar untuk mengajar, tetapi kurang memperhatikan bagaimana proses belajar dapat terjadi pada diri siswa. Padahal bahan belajar yang dikembangkan dengan biaya mahal itu kadang-kadang tidak dapat mengajarkan apa-apa, karena tidak dipakai oleh siswa atau karena siswa tidak tahu cara memakainya. Dengan perkataan lain istilah distance teaching itu terlalu berorientasi pada guru (teacher oriented).

Sebaliknya Distance Learning lebih banyak menekankan pada proses belajar siswa. Orang yang menggunakan istilah ini banyak memikirkan mengenai bantuan-bantuan yang perlu diberikan kepada siswa supaya mereka belajar dan dapat memahami isi pelajarannya. Tetapi sayang orang-orang ini kurang memikirkan bagaimana bahan belajar jarak jauh yang bermutu dan mudah dipelajari siswa harus dikembangkan. Dengan perkataan lain istilah distance learning terlalu berorientasi pada siswa (student oriented).

Istilah Distance Education merupakan perpaduan istilah Distance Teaching dan Distance Learning tersebut dan lebih tepat untuk digunakan. Dalam sistem Distance Education siswa belajar secara terpisah dari guru, karena itu bahan belajar yang digunakan harus disusun secara khusus supaya relatif lebih mudah untuk dipelajari siswa sendiri. Bahan belajar ini tidak cukup hanya dikembangkan oleh ahli isi pelajaran (content specialist) sendiri saja, melainkan perlu melibatkan ahli pengembang pembelajaran, ahli media, dsb. dalam penyusunannya. Namun perlu disadari bahwa betapapun bahan belajar itu telah disusun supaya dapat dicerna sendiri oleh siswa, kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa waktu belajar secara mandiri selalu ada. Karena itu perlu adanya bantuan pelayanan dan bantuan belajar bagi siswa. Dengan perkataan lain perlu adanya sistem pengelolaan belajar jarak jauh yang baik supaya di samping penyediaan bahan belajar yang baik dapat juga disediakan bantuan belajar yang cukup.

d. External Study, Home Study dan Independent Study
Istilah-istilah ini seringkali dipakai orang untuk pengertian BT/JJ.
External Studies. External studies adalah istilah yang dipakai secara luas di Australia. Istilah ini menggambarkan etos Belajar Terbuka/Jarak Jauh yang dijumpai di universitas-universitas di Australia. Istilah External Studies mengandung arti “di luar” tetapi “tidak terpisah” dari tanggung jawab staf dosen dari suatu universitas atau perguruan tinggi. Jelasnya staf dosen yang sama mempunyai dua kelompok siswa yang berbeda. Kelompok pertama disebut kelompok “on campus” adalah kelompok siswa yang belajar di kampus seperti laiknya mahasiswa yang belajar di universitas. Kelompok kedua disebut kelompok “external” atau “off campus”. Kelompok yang kedua ini tidak harus mengikuti kuliah di kampus tetapi belajar sendiri di luar kampus. Namun demikian tujuan yang ingin dicapai, dan bahan belajar yang akan dipelajari siswa external itu perlu dikonsultasikan dan didiskusikan dengan dosen di kampus. Dengan demikian dosen di kampus harus menyiapkan kedua kelompok mahasiswa tadi supaya mereka dapat menempuh ujian yang sama untuk mendapatkan gelar yang sama.

Home Study. Menurut Keegan (1986) istilah home study diciptakan pada saat para Direktur Sekolah Korespondensi mengadakan konferensi dan mendirikan asosiasi yang disebut National Home Study Council bukannya National Correspondence Study Council. Istilah Home Study ini hanya dipakai di Amerika Serikat dan hanya mengacu pada pendidikan lanjutan untuk orang dewasa. Home Study bukan bagian dari universitas, melainkan sekolah korespondensi untuk orang-orang dewasa di Amerika Serikat. Dalam sistem ini siswa tidak harus belajar di sekolah atau di pusat pendidikan dan pelatihan. Walaupun istilah yang dipakai home study, tetapi dalam praktiknya mahasiswanya tidak selalu atau tidak hanya belajar di rumah saja. Biasanya sebagian bahan belajar dipelajari di rumah, sebagian yang lain dipelajari di Pusat-pusat Sumber Belajar, di perpustakaan, di pusat-pusat pelatihan, atau di tempat-tempat lain yang dipandang sesuai bagi mereka.

Independent Study. Istilah ini diperkenalkan oleh Charles Wedemeyer dari Universitas Wiscounsin sebagai istilah umum untuk jenis-jenis pendidikan yang di Amerika Serikat biasa disebut sebagai “belajar melalui korespondensi, pendidikan terbuka, pengajaran melalui radio dan TV, atau belajar mandiri.” Sedangkan di Eropa jenis-jenis yang disebutkan tadi digolongkan ke dalam Belajar Terbuka/Jarak Jauh.

Istilah Independent Study ini seringkali dipakai sebagai ganti istilah Belajar Terbuka/Jarak Jauh di Amerika Serikat. Kelemahan istilah ini kadang-kadang ditafsirkan sebagai ketidakterikatan pada lembaga pendidikan, Padahal Belajar Terbuka/Jarak Jauh itu selalu terikat dan dikelola oleh suatu lembaga pendidikan. Di Amerika Serikat sendiri orang seringkali ragu-ragu untuk menggunakan istilah ini sebab istilah tersebut sudah sering dipakai sebagai pengganti istilah belajar secara individual. Memang proses belajar dalam sistem PT/JJ seringkali dilakukan secara individual, tetapi tidak semua belajar secara individual adalah pendidikan jarak jauh. Pada sistem belajar konvensional kadang kala siswa diminta belajar secara individual. Tujuan dan hasil yang ingin dicapai ditentukan melalui kontrak yang disepakati oleh dosen dan mahasiswa secara individual.




BAB III
PENUTUP
A. SIMPULAN
1. Siswa dapat dengan mudah mengambil pembelajaran dimanapun di dunia tanpa terbatas lagi pada batasan institusi & negara;
2. Siswa dapat dengan mudah berguru pada orang-orang ahli / pakar di bidang yang diminatinya;
3. Belajar bahkan dapat dengan mudah diambil di berbagai penjuru dunia tanpa tergantung pada si siswa belajar. Artinya konsep Pendidikan terbuka akan semakin membaur pada zaman ini.
4. Ciri utama PT / JJ adalah terpisahnnya dosen dengan mahasiswa. Sebagian besar komunikasi antara dosen dan mahasiswa dilakukan melalui surat, telepon, faksimili atau e-mail.














Referensi :
Ariani Desi. (2011). Pembelajaran Berbasis Web di Sekolah. Diunduh tanggal 27 September 2011 dari http://edukasi.kompasiana.com/2011/01/05/pembelajaran-berbasis-web-di-sekolah/
Rahadi Aristo. (2008). Konsepsi Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh. Diunduh tanggal 10 Oktober 2011 dari http://aristorahadi.wordpress.com/2008/08/10/konsepsi-pendidikan-terbukajarak-jauh/
Koesnandar. (2011). Pengembangan Bahan Belajar berbasis Web. Diunduh tanggal 27 September 2011 dari http://www.teknologipendidikan.net/2008/02/12/pengembangan-bahan-belajar-berbasis-web/
Sudjana, D. (2000). Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production.






MAKALAH SISTEM BELAJAR MANDIRI
MODEL – MODEL PENDIDIKAN TERBUKA DAN JARAK JAUH

Disusun Oleh:

PURWANTO NIM 1102409002 / 2009
TATAK ADI NALURI NIM 1102409008 / 2009
RESTI RINDA FARTIMA NIM 1102401062 / 2010


UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2011


media pada PTJJ











Tugas Kelompok IV

MEDIA DALAM PENDIDIKAN TERBUKA DAN
JARAK JAUH

(Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Belajar Mandiri)
Disusun oleh:
1. Riyanto 1102409004
2. Ovi Yuliana 1102409001
3. Resmitha Nidya V 1102410019

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011





BAB I
PENDAHULUAN

Penyelenggaran Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh (PTJJ) sangat lekat dengan penggunaan media. Sesuai dengan karakteristik PTJJ, dapat dikatakan bahwa sebagian besar bahan ajar disampaikan melalui beraneka ragam media; baik media cetak (misalnya buku), maupun noncetak (misalnya audio-visual, komputer). Para ahli, umumnya sependapat bahwa PTJJ memiliki sedikitnya dua karakteristik (Keegan, 1991). Karakteristik pertama adalah adanya keterpisahan antara pengajar dengan peserta didik, baik ditinjau dari sisi jarak, ruang maupun waktu. Karakteristik kedua adalah adanya penggunaan media. Dari pendapat tersebut, keterpisahan antara pengajar dan peserta didik terlihat sebagai elemen utama yang menjadi karakteristik dasar pendidikan jarak jauh (PJJ). Sementara elemen kedua, penggunaan media, merupakan dampak dari adanya keterpisahan ini. Untuk menjembatani keterpisahan ini dibutuhkan kehadiran media komunikasi. Kehadiran media ini menjadi salah satu ciri kesamaan antara instititusi penyelenggara PTJJ. Sementara salah satu faktor yang dapat membedakan institusi penyelenggara PTJJ adalah jenis media yang digunakan. Variasi penggunaan media antar institusi penyelenggara PTJJ sangat beragam mengingat banyaknya jenis media yang dapat dimanfaatkan, mulai dari media yang paling sederhana sampai pada yang paling canggih. Smaldino (2003) mengemukakan bahwa peran media dalam Sistem PJJ adalah sebagai fasilitas untuk menyampaikan materi pembelajaran yang telah dikembangkan secara terstruktur sedemikian rupa dengan asumsi bahwa penggunanya mempelajari materi tersebut di luar ruang kelas, dan belajar secara individual. Dalam menentukan media yang digunakan, selain situasi dan kondisi institusi, ada dua hal yang harus diperhatikan dan dijadikan sebagai acuan bagi pengelola dan pengambil keputusan PTJJ, yaitu ragam media yang tersedia dan pemilihan media yang tepat guna dan tepat sasar.





BAB II
PEMBAHASAN

A. Ragam Media Dalam PTJJ
Media yang digunakan dalam PTJJ pada hakekatnya sangat dipengaruhi oleh pekembangan teknologi. Dalam era kemajuan teknologi yang luar biasa, media yang dapat dipilih dan digunakan semakin luas. Banyak institusi penyelenggara PTJJ berlomba memanfaatkan media pembelajaran yang canggih, modern dan mahal. Mereka berasumsi bahwa semakin canggih media yang digunakan maka semakin tinggi pula nilai kontribusi terhadap proses pembelajaran. Asumsi ini tidak selamanya benar, sebab media yang sederhana sekalipun, apabila digunakan sesuai dengan karakteristik dan kemampuannya akan memberikan nilai pembelajaran yang signifikan. Untuk daerah terpencil dan terisolasi serta daerah yang belum memiliki tenaga listrik, penggunaan media yang sederhana tentunya akan lebih efektif.

1. Pengertian, Jenis dan Karakteristik Media
Media telah lama dimengerti sebagai alat komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasi. Mengingat banyaknya ragam media yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan pembelajaran, maka untuk memudahkan mempelajari media-media tersebut pada umumnya dilakukan pengelompokan. Salah satu penggolongan media yang dikenal adalah menurut Brezt (1972), yang mengidentifikasi media dalam tiga unsur pokok yaitu: suara, visual dan gerak. Berdasarkan ketiga unsur tersebut Brezt mengklasifikasi media ke dalam delapan klasifikasi yaitu:

• media audio visual gerak
• media audio visual diam
• media audio semi-gerak
• media visual gerak
• media visual diam
• media semi-gerak
• media audio
• media cetak
2. Jenis Media dan Pemanfaatannya dalam PTJJ
a. Media Cetak
Hampir semua institusi PJJ di dunia memanfaatkan media cetak sebagai media utama untuk menyampaikan materi ajar. Kombinasi antara media cetak dengan media video/televisi merupakan contoh pemanfaatan media secara terpadu.
b. Radio
Radio telah dikenal sebagai media yang sangat memasyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa radio merupakan sebuah media yang memiliki aksesibilitas tinggi. Dalam PTJJ media radio juga dikenal sebagai media yang cukup banyak digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan materi ajar.
Penelitian di The United Kingdom Open University di Inggris tentang pemanfaatan media radio menunjukkan bahwa walaupun program radio sangat memotivasi, ternyata peserta didik mengalami kesulitan belajar melalui radio. Sebagai dampak karakteristik ini, media radio lebih tepat digunakan untuk menyampaikan materi ajar yang bersifat umum, auditif, konkrit, sehingga lebih mudah diterima. Selain itu faktor penggunaan bahasa yang sederhana dan kosa kata yang sudah dikenal, pemberian contoh-contoh, baik melalui dramatisasi maupun kasus-kasus juga sangat berpengaruh pada keberhasilan penggunaan media radio.
c. Televisi
Televisi dikenal sebagai media yang sangat kaya yang mampu menyajikan beragam informasi dalam bentuk suara dan gambar secara bersamaan. Pemanfaatan siaran televisi dalam PTJJ tidak hanya didasarkan pada kemampuannya menyajikan beragam informasi dalam bentuk audio-visual secara bersamaan, tetapi juga karena kemampuannya menjangkau sejumlah besar pemirsa dalam jangkauan wilayah geografis yang relatif luas. Pemanfaatan media televisi pada lembaga PTJJ di beberapa negara ternyata tidak saja mempertimbangkan keunggulan yang dimiliki oleh media tersebut tetapi juga faktor aksesibilitas media ini.
d. Media Berbantuan Komputer
Salah satu kelemahan penyelenggaraan sistem PTJJ adalah minimnya umpan balik yang dapat diperoleh peserta didik tentang proses dan hasil belajar yang telah mereka tempuh. Potensi media komputer yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas proses pembelajaran pada sistim PTJJ antara lain:
• memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara peserta didik dan materi pembelajaran.
• proses belajar dapat berlangsung secara individual sesuai dengan kemampuan belajar peserta didik.
• mampu menampilkan unsur audio visual untuk meningkatkan minat belajar (multi media)
• dapat memberikan umpan balik terhadap respon peserta didik dengan segera.
• mampu menciptakan proses belajar secara berkesinambungan Robert Heinich dkk (1986) mengemukakan enam bentuk interaksi yang dapat diaplikasikan dalam merancang sebuah media pembelajaran untuk sistem PTJJ, berupa:
 praktek dan latihan (drill and practice)
Program yang berbentuk drill and practice umumnya digunakan apabila peserta didik diasumsikan telah mempelajari konsep, prinsip dan prosedur sebagai materi pembelajaran.
 Tutorial
Program ini menyajikan informasi dan pengetahuan dalam topik tertentu diikuti dengan latihan pemecahan soal dan kasus.
 permainan (games)
Program yang berisi permainan dapat memberi motivasi bagi siswa untuk mempelajari informasi yang ada di dalamnya. Hal ini sangat berkaitan erat dengan essensi bentuk permainan yang selalu menampilkan masalah menantang yang perlu dicari solusinya oleh pemakai.
 simulasi (simulation)
Program simulasi berupaya melibatkan siswa dalam persoalan yang mirip dengan situasi yang sebenarnya namun tanpa resiko yang nyata. Melalui program simulasi peserta didik diajak untuk membuat keputusan yang tepat dari beberapa alternatif solusi yang ada.
 penemuan (discovery)
Peserta didik harus terus mencoba sampai berhasil menemukan solusi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
 pemecahan masalah (problem solving)
Program seperti ini dapat dibedakan menjadi dua jenis berdasarkan cara yang ditempuh siswa dalam memberikan respon. Pada cara yang pertama siswa merumuskan sendiri solusi masalah yang ditampilkan lewat komputer dan memasukkan program ke dalamnya. Sedangkan pada cara yang kedua, komputer menyediakan jawaban yang mewakili respon siswa terhadap masalah yang ditayangkan oleh komputer.
e. Internet
Dengan teknologi yang berkembang pesat dewasa ini, pemanfaatan komputer dalam sistim PTJJ tidak hanya dapat digunakan secara stand alone tetapi dapat pula dimanfaatkan dalam suatu jaringan. Jaringan komputer atau computer network telah memungkinkan proses belajar menjadi lebih luas, lebih interaktif dan lebih fleksibel. Peserta didik dapat melakukan proses belajar tanpa dibatasi oleh faktor ruang dan waktu, artinya, jika ada fasilitas jaringan, peserta didik dapat melakukan proses belajar di mana saja dan kapan saja. Jaringan komputer yang paling umum digunakan adalah internet. Saat ini teknologi internet telah memungkinkan setiap orang memperoleh akses yang lebih besar terhadap beragam informasi yang tersedia. Dengan kemajuan teknologi jaringan internet, belajar melalui dunia maya pun mulai dikenal baik. Penyampaian materi dalam pembelajaran maya, baik sebagian maupun secara utuh, dikemas dan disampaikan melalui komputer secara online.
3. Indikator Media Efektif
Hal terpenting dalam pemanfaatan media dalam PTJJ yang harus selalu dikedepankan adalah kemampuan media yang digunakan dalam memberi nilai tambah (added value) terhadap aktivitas pembelajaran mahasiswa.
Kearsley & Moore (1996: 122-123) mengemukakan beberapa karakteristik penting tentang kualitas media yang digunakan dalam PTJJ yakni sebagai berikut:
• Memiliki tujuan pembelajaran yang jelas
• Melibatkan peserta didik dalam kegiatan pembelajaran
• Lengkap
• Memberikan dorongan belajar
• Bervariasi
• Memberi umpan balik
• Melakukan evaluasi secara continue
B. Pemilihan Media Dalam PTJJ
Pemilihan media untuk PTJJ berbeda dengan pemilihan media bagi pendidikan yang menggunakan sistem belajar tatap muka, walaupun keduanya tetap mengacu kepada karakteristik yang dimiliki oleh masing-masing media. Rowntree (1994) mengemukakan sejumlah kriteria yang perlu dipertimbangkan oleh pengambil keputusan dalam pemilihan media dalam PTJJ yang antara lain berkaitan dengan tujuan belajar yang akan dicapai, kondisi peserta didik yang meliputi aksesibilitas terhadap media, kenyamanan menggunakan media, mampu memotivasi, serta kemampuan organisasi dalam pengembangan dan pengadaan media. Sementara Bates (1995) mengembangkan sebuah kerangka pemilihan media yang sistimatis dengan memperhatikan tujuh faktor yang perlu dipertimbangkan yaitu: access (aksesibilitas), costs (biaya), teaching and learning (proses pengajaran dan pembelajaran), interactivity (interaktifitas), organisational issues (permasalahan organisasi), novelty (kemuktahiran), dan speed (kecepatan). Pada dasarnya Rowntree maupun Bates sependapat bahwa pemilihan media dalam PTJJ perlu memperhatikan beberapa faktor seperti:
1. Akses terhadap media
Pengertian akses terhadap media adalah adanya ketersedian dan kemudahan memperoleh atau menggunakan media. Akses terhadap media ini harus dilihat dari dua sisi, yaitu sisi institusi penyelenggara PTJJ dan sisi peserta didik/calon peserta didik. Dalam PTJJ, seberapapun pentingnya bahan ajar yang akan disampaikan dan betapapun baiknya teknik penyampaiannya, akan menjadi sia-sia apabila peserta didik tidak dapat menerimanya, hanya karena mereka tidak memiliki akses terhadap media yang membawa bahan ajar tersebut.
2. Faktor Biaya
Dalam menentukan pilihan mengenai media apa yang akan digunakan dalam PTJJ, faktor biaya merupakan faktor yang tidak dapat dihindarkan. Banyak orang berpikir bahwa PJJ berarti penyelenggaraan pendidikan dengan biaya murah. Misalnya, sebuah institusi jarak jauh memilih menggunakan media video interaktif. Penggunaan media ini akan terhitung mahal apabila hanya digunakan untuk peserta didik yang berjumlah sedikit tetapi sebaliknya dapat terhitung murah apabila peserta didiknya banyak. Begitu pula bila institusi PTJJ memilih menggunakan media cetak. Dengan jumlah peserta didik yang banyak maka biaya penyelenggaraan pendidikan ini akan dirasakan sangat murah.
3. Fungsi pembelajaran
Berkaitan dengan hal ini Gagne et.al. (1988) melihat tiga faktor yang perlu diperhatikan, yaitu:
a. Karakteristik fisik media
Karakteristik fisik media merupakan satu hal yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan media. Pertimbangan ini berkaitan dengan kemampuan media untuk menyajikan informasi verbal, baik dalam bentuk teks maupun audioKemampuan media dalam menyajikan informasi visual dan gerakan merupakan salah satu karakter fisik yang dapat mendasari pemilihan media.
b. Tujuan belajar
Secara umum dapat dikatakan bahwa hampir semua jenis media digunakan untuk menyampaikan sebagian besar tujuan belajar, tetapi tidak pula disangkal bahwa media tertentu akan lebih efektif apabila digunakan untuk pencapaian tujuan belajar tertentu pula. Kemampuan ini tidak akan dapat dikuasai oleh perserta didik hanya melalui media cetak saja. Dalam hal ini penggunaan media tambahan seperti kaset audio dan video akan menyempurnakan pemahaman ataupun penguasaan bahasa asing tersebut.
c. Kemampuan peserta didik dalam penggunaan media
Dalam pemilihan media untuk PTJJ, Rowntree (1994) mengemukakan perlu memperhatikan kemampuan perserta didik dalam menggunakan media serta kecenderungan mereka untuk menyukai media tertentu. Walaupun masih merupakan asumsi apabila kondisi ini diperhatikan akan sangat berpengaruh terhadap proses belajar pada PTJJ.




BAB III
PENUTUP


Dalam sebuah penyelenggaraan sistem PTJJ, media merupakan sebuah prasyarat yang diperlukan untuk menjembatani keterpisahan antara pengajar dan peserta didik, yang menjadi ciri atau karakteristik sistim PJJ. Media memberikan kemungkinan terjadinya proses belajar mengajar dalam suatu sistim PTJJ. Dari sisi pengelolaan institusi pendidikan jarak jauh, peran pengelola dalam pemanfaatan media adalah menentukan media yang tepat guna dan tepat sasar bagi peserta didik. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa cepat lambatnya proses belajar mengajar yang berlangsung dalam sistim PTJJ selain bergantung pada kemampuan dan karakteristik media yang digunakan juga bergantung pada kemampuan peserta didik.


















DAFTAR PUSTAKA


lppm.ut.ac.id
ikaumayasbm.blogspot.com/2009/01/
Bates, T. 1988. Television, learning dan distance education: International council for distance education bulletin, 16(1), 29-38.
Keegan, D. 1991. Foundations of distance education. Great Britain: Biddies Ltd.

perkembangan pendidikan terbuka dan jarak jauh

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan salah satu faktor determinan kualitas SDM. Akses setiap guru untuk meningkatkan kapasitas diri dengan mengikuti perkuliahan di pendidikan tinggi harus dibuka seluas-luasnya karena pendidikan merupakan hak asasi warganegara. Pendidikan adalah kunci untuk menciptakan, mengadaptasi dan menyebarkan ilmu pengetahuan.
Sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) merupakan sistem yang menggabungkan konsep pendidikan terbuka dengan metode pendidikan secara jarak jauh. Konsep pendidikan terbuka (open education atau open learning) pada dasarnya merupakan suatu tujuan atau cita-cita kebijakan mengenai sistem pendidikan. Konsep ini menekankan pentingnya keluwesan sistem, terutama dalam meniadakan kendala tempat, waktu, dan aspek yang disebabkan oleh karakteristik mahasiswa seperti misalnya keadaan ekonomi (Bates, 1995).
Perkembangan pemikiran tentang PJJ sebagai alternatif metode pendidikan, perkembangan ideologi mengenai pentingnya interaksi dalam PJJ untuk menjamin kualitas pendidikan yang tinggi, serta pengaruh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat yang memungkinkan tercapainya suatu sistem pendidikan tanpa restriksi dan oleh karenanya menjadi lebih terbuka.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, yaitu:
1. Bagaimana perkembangan batasan Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh (PT/JJ) ?
2. Bagaimana proses perubahan Pendidikan Jarak Jauh Menuju Pendidikan Terbuka ?
3. Bagaimana cara meningkatkan keterbukaan dengan cara merancang sistem dan pemanfatan teknologi ?

C. Tujuan Penulisan
1. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok Sistem Belajar Mandiri .
2. Makalah ini dibuat untuk memberi pemahaman kepada pembaca tentang perkembangan pendidikan terbuka dan pendidikan jarak jauh.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Perkembangan batasan Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh (PT/JJ)

Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh itu sudah timbul bertahun-tahun sebelum bangsa Indonesia mengenalnya. Pengertian atau batasan PT/JJ itu berkembang dari waktu ke waktu. Keegan (1986) mencatat perkembangan batasan yang dibuat oleh berbagai ahli Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh dan menyusunnya secara kronologis. Pada tahun 1967, misalnya, G. Dogmen membuat batasan mengenai PT/JJ bahwa Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh adalah sistem pendidikan yang menekankan pada cara belajar mandiri (self study). Belajar mandiri diorganisasikan secara sistematis. Pada cara belajar ini penyajian bahan belajar, pemberian konsultansi kepada siswa, dan pengawasan serta jaminan keberhasilan siswa dilakukan oleh tim guru. Masing-masing guru mempunyai tugas dan tanggung jawab sendiri-sendiri. Menurut dia, PT/JJ itu merupakan kebalikan dari “pendidikan langsung” atau “pendidikan secara tatap muka antara siswa dan guru”. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa menurut Dogmen ciri-ciri PT/JJ adalah: ada organisasi yang mengatur cara belajar mandiri itu, bahan belajar disampaikan melalui media, tidak ada kontak langsung antara pendidik dengan peserta didik. Pada tahun 1968, G. Mackenzie, E. Christensen, dan P. Rigby mengatakan bahwa sekolah korespondensi sebagai salah satu bentuk PT/JJ merupakan metode pembelajaran yang menggunakan korespondensi sebagai alat untuk berkomunikasi antara peserta didik (siswa) dengan pendidik (guru). Menurut mereka karakteristik PT/JJ adalah sebagai berikut:
 Siswa dan guru bekerja secara terpisah.
 Siswa dan guru dipersatukan melalui korespondensi.
 Perlu adanya interaksi antara siswa dan guru.
Pada tahun 1971 di Perancis ada undang-undang yang mengatur penyelenggaraan PT/JJ. Hukum tersebut memuat batasan bahwa Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh itu merupakan bentuk pendidikan yang memberikan kesempatan kepada siswanya untuk belajar secara terpisah dari gurunya. Pertemuan antara guru dan siswa hanya dilakukan kalau ada peristiwa yang istimewa atau untuk melakukan tugas-tugas tertentu saja. Menurut batasan di atas ada dua ciri utama yang menonjol, yaitu terpisahnya guru dengan siswa adanya kemungkinan untuk acara pertemuan atau pelajaran secara tatap muka tertentu antara guru dan siswanya. Pada tahun 1973 O. Peter memberikan batasan pada PT/JJ bahwa Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh adalah metode penyampaian ilmu, keterampilan, dan sikap yang dipengaruhi cara-cara mengelola suatu industri. Seperti halnya dalam industri, sistem PT/JJ dikembangkan dan dikelola dengan mengadakan pembagian tugas yang jelas antara yang mengembangkan, yang memproduksi, yang mendistribusikan bahan belajar,.dan yang mengelola kegiatan belajar mengajar. Seperti halnya dalam industri, bahan belajar yang berupa program media diproduksi dalam jumlah besar dengan menggunakan teknologi yang maju dan kemudian didistribusikan kepada pengguna secara luas. Bahan belajar yang diproduksi dalam jumlah besar dengan mutu yang tinggi itu telah memberi kemungkinan untuk membelajarkan siswa dalam jumlah besar pada saat yang sama di mana pun mereka berada. Metode seperti itu dapat disebutkan sebagai mengindustrialisasikan cara belajar dan mengajar. Batasan di atas mengandung beberapa karakteristik sebagai berikut:
 Digunakannya media teknologi yang diproduksi dalam jumlah besar dengan mutu yang tinggi,
 Pendidikan dapat diberikan secara massal,
 Yang merancang, mengembangkan, meproduksi, membagikan bahan belajar dan yang mengelola kegiatan belajar mengajar orang yang berbeda-beda.
Pada tahun yang sama, yaitu tahun 1973 dan diulang lagi pada tahun 1977, M. Moore mengajukan batasan PT/JJ bahwa Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh merupakan metode pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk belajar secara terpisah dari kegiatan mengajarnya, sehingga komunikasi antara siswa dan guru harus dilakukan dengan bantuan media cetak, elektronik, mekanis, dan peralatan lainnya. Yang menonjol dalam batasan Moore itu adalah terpisahnya siswa dan guru dalam proses belajar mengajar dan digunakannya media untuk komunikasi antara siswa dan guru. Pada tahun 1977, B. Holmeberg memberikan batasan bahwa dalam sistem PT/JJ siswa belajar tanpa mendapatkan pengawasan langsung secara terus menerus dari tutor yang hadir di ruang belajar atau di lingkungan sekolah, namun demikian siswa mendapat keuntungan dari perencanaan, bimbingan, dan pembelajaran dari suatu lembaga yang mengorganisasikan PT/JJ itu. Yang menjadi fokus dari batasan Holmberg adalah bahwa siswa dan guru bekerja secara terpisah dan adanya perencanaan pembelajaran yang dilakukan oleh sesuatu lembaga pendidikan yang mengatur PT/JJ itu. Setelah tahun 1997 batasan PT/JJ itu masih terus berkembang. Ciri-ciri yang menonjol selama masa perkembangan itu adalah terpisahnya siswa dan guru, adanya lembaga yang mengelola, digunakannya media untuk menyampaikan isi pelajaran, adanya komunikasi dua arah antara siswa dan guru, dan tidak adanya kelompok belajar yang tetap. Pada tahun 1980 Peter melontarkan kembali tambahan ciri pada PT/JJ yang mengatakan bahwa PT/JJ seolah-olah dikelola seperti industri. Pendapat Peter ini ada yang mendukung, tetapi juga ada yang tidak dapat menerima. Di antara yang menolak teori industrialisasi itu adalah Baath. Dia mengatakan bahwa teori industrialisasi itu tidak dapat diterapkan pada PT/JJ yang kecil, dan PT/JJ yang tidak menggunakan bahan belajar yang diproduksi dalam jumlah besar. Karena itu batasan Peter itu tidak dapat dimasukkan ke dalam batasan umum sistem PT/JJ. Banyaknya lembaga PT/JJ dan banyaknya batasan mengenai PT/JJ itu telah mendorong para ahli untuk terus mengadakan penelitian dan analisis. Menurut Keegan (1980) para peneliti itu pada akhirnya menyimpulkan batasan bahwa Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh adalah suatu bentuk pendidikan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
 Dalam sistem PT/JJ siswa dan guru bekerja secara terpisah sepanjang proses belajar itu. Ini berarti bahwa siswa harus dapat belajar secara mandiri. Bantuan belajar yang diperoleh dari orang lain sangat terbatas. Ciri ini membedakan PT/JJ dari pendidikan konvensional yang memberikan pelajaran secara tatap muka.
 Dalam sistem PT/JJ ada lembaga pendidikan yang merancang dan menyiapkan bahan belajar, serta memberikan pelayanan bantuan belajar kepada siswa. Adanya lembaga pendidikan ini membedakan sistem PT/JJ dari proses belajar sendiri (private study) atau teach yourself programmes. Jadi kalau Anda membeli buku di toko dan kemudian belajar sendiri sehingga Anda memahami benar isi buku itu, itu tidak berarti bahwa Anda telah mengikuti sistem PT/JJ .
 Dalam sistem PT/JJ, pelajaran (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) disampaikan kepada siswa melalui media seperti media cetak, radio, kaset audio, TV, kaset video, slide, CD-ROM (program video dalam piringan kecil) dan sebagainya. Kecuali berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan isi pelajaran, media juga merupakan alat penghubung atau alat komunikasi antara siswa dan guru.
 Dalam sistem PT/JJ ada usaha untuk terjadinya komunikasi dua arah antara siswa dan guru atau antara siswa dengan lembaga penyelenggara, atau antara siswa dengan siswa lain. Inisiatif untuk berkomunikasi itu bukan hanya datang dari guru atau lembaga, tetapi dapat juga datang dari siswa. Ciri ini membedakan PT/JJ dari program siaran radio atau TV pendidikan yang hanya menyiarkan program-program pendidikan tanpa menjalin hubungan dua arah dengan pendengar atau penonton.
 Dalam sistem PT/JJ tidak ada kelompok belajar yang bersifat tetap sepanjang masa belajarnya. Karena itu siswa PT/JJ menerima pelajaran secara individual bukannya secara kelompok. Sekali waktu memang dapat dilakukan pertemuan kelompok siswa yang mempelajari mata pelajaran yang sama untuk membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan pelajaran atau sekedar untuk bersosialisasi.

B. Dari Pendidikan Jarak Jauh Menuju Pendidikan Terbuka

Beragam kemudahan yang diberikan oleh teknologi juga telah memicu pemikiran yang lebih luas tentang PJJ. Konsep keterpisahan fisik antara kegiatan mengajar dengan kegiatan belajar pada metode PJJ telah membuka kemungkinan pemanfaatan sarana pendidikan secara lebih luas. Dengan tidak dilakukannya kegiatan mengajar dan belajar dalam waktu yang bersamaan, maka: (1) rasio ideal dosen-mahasiswa yang biasanya membatasi daya serap suatu program pendidikan dan (2) dinding kelas yang biasanya membatasi daya tampung program pendidikan dapat diabaikan. Kedua hal ini secara drastis mengubah fenomena pendidikan yang sifatnya tertutup menjadi lebih terbuka dalam arti fisik dan identifikasi pendidikan dengan ruang kelas menjadi mengabur.
Fenomena sosial ekonomi yang berkembang di masyarakat dalam empat dekade terakhir juga telah menyebabkan pergeseran dalam pola kebutuhan akan pendidikan. Bila pada era masyarakat industri, sistem ini hanya merupakan jalan untuk memecahkan masalah pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil, maka pada era pasca industrialisasi (post-industial society) ini telah jauh berkembang kearah peningkatan kualitas hidup manusia.
Pada era pasca industri, tujuan pendidikan masyarakat secara umum lebih berorientasi pada self-realization (pencarian diri) dan pemenuhan kebutuhan personal seperti untuk meningkatkan kebahagiaan dan kenikmatan hidup (Peters, 1993). Kebutuhan akan pendidikan tidak lagi hanya pada saat usia tertentu, tetapi menjadi kebutuhan yang berkelanjutan. Pendidikan kemudian tidak dipandang sebagai sesuatu yang terbatas pada individu usia ‘sekolah’. Hal ini ditunjukkan dengan semakin populernya program-program pendidikan lanjutan non-formal maupun informal yang pada umumnya menawarkan program-program studi yang bersifat leisure dan tidak berakreditasi. Disamping itu, pesatnya perkembangan teknologi dan industri jasa juga mengakibatkan perubahan jenis dan bentuk keterampilan yang dibutuhkan oleh dunia kerja (Peters, 1999). Hal ini mengakibatkan timbulnya kebutuhan akan pendidikan profesional yang berkelanjutan (professional continuing education). Dengan demikian, konsep PJJ sebagai sekedar distance training telah berubah menjadi continuing education. Sistem PJJ kemudian menjadi tampak sebagai suatu metode yang dapat digunakan untuk melakukan berbagai tujuan pendidikan, seperti tujuan peningkatan keterampilan profesi, pengembangan hobi, maupun pencarian identitas diri. Di negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia dan Cina, dimana masyarakatnya banyak yang hidup dalam ekonomi terbatas dan di daerah pedesaan yang terisolasi, sistem PJJ juga merupakan metode pendidikan yang dianggap mampu untuk memberikan kesempatan kedua (second chance) bagi masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan dengan sistem tatap muka. Fenomena ini telah menyuburkan perluasan sudut pandang mengenai sistem PJJ, dari sekedar suatu alternatif metode pembelajaran menjadi suatu sistem yang dapat meningkatkan keterbukaan pendidikan, suatu sistem yang dapat meminimalkan restriksi waktu, tempat, dan kendala ekonomi maupun demografi (seperti usia) seseorang untuk memperoleh pendidikan.

C. Meningkatkan Keterbukaan Dengan Cara Merancang Sistem dan Pemanfatan Teknologi

Namun demikian, walaupun konsep pendidikan terbuka telah didengungkan dan dimasyarakatkan, belum ada penyelenggaraan PJJ yang seratus persen terbuka. Pada prakteknya, kebanyakan institusi yang menawarkan program PJJ masih tetap memberlakukan aturan yang mengurangi keterbukaan, terutama apabila institusi tersebut memberikan akreditasi bagi lulusannya. Sistem PJJ ini dapat ditingkatkan keterbukaannya dengan merancang sistem pembelajaran secara lebih fleksibel (Belawati,1999) seperti misalnya melalui cara :
 Open entry – open exit system: artinya setiap individu boleh memulai dan menyelesaikan proses pendidikannya kapan saja sesuai dengan kondisi masing-masing.
 No selection criteria: artinya setiap orang yang mendaftar akan diterima sepanjang mempunyai kualifikasi dasar minimal yang dapat menunjang proses pendidikan yang diikutinya. Misalnya,tidak ada batas usia, tidak ada batas tahun ijazah terakhir.
 No separation criteria: artinya setiap individu boleh melakukan registrasi secara terbuka, apakah untuk suatu program penuh (seperti program sertifikat, diploma, ataupun sarjana) atau untuk mata kuliah tertentu saja. Sistem registrasi terbuka ini juga harus memungkinkan mahasiswa menabung kredit matakuliahnya sehingga jika mau suatu waktu dapat diakumulasikan untuk suatu program utuh.
Dengan kata lain, perancangan sistem penyelenggaraan yang memperhatikan ketiga butir di atas akan meningkatkan keterbukaan program PJJ yang ditawarkan. Perancangan sistem yang terbuka seperti contoh di atas telah banyak dilakukan oleh institusi-institusi PJJ di luar negeri, terutama oleh institusi yang menawarkan programnya melalui jaringan internet (web-based courses). Semakin meningkatnya trend penawaran program PJJ melalui internet ini menunjukkan bahwa permintaan masyarakat (yang mencerminkan kebutuhan masyarakat) akan pendidikan sangatlah tinggi. Dalam sejarah penggunaan teknologi untuk kepentingan pendidikan, PJJ selalu yang terdepan dan saat ini telah memasuki generasi kelima, yaitu generasi yang mengeksploitasi kemampuan teknologi internet dan jaringan (Taylor, 2000).























BAB III
PENUTUP

Pendidikan terbuka dan jarak jauh sebagai suatu konsep merupakan hasil perkembangan konsep dan praktek PJJ yang berakar pada correspondence study di era masyarakat industri.Sistem PJJ, baik yang dilandasi paradigma akses maupun kualitas(interaksi), mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan masyarakat pada era pasca-industri. Pada era ini, kebutuhan masyarakat pendidikan lebih berorientasi pada self-realization dan pemenuhan kebutuhan personal. Disamping itu, pesatnya perkembangan teknologi juga meningkatkan kebutuhan akan pendidikan profesional yang berkelanjutan. Perubahan orientasi pendidikan pada pendidikan yang berkelanjutan ini melahirkan konsep pendidikan yang lebih terbuka yang dapat mengakomodasi proses belajar sepanjang hayat dan bagi semua. Teknologi informasi dan komunikasi yang kian berkembang merupakan salah satu prasarana yang dapat meningkatkan intensitas interaksi dalam proses belajar jarak jauh.




















DAFTAR PUSTAKA
Bates, A.W. 1995. Technology, open learning, and distance education. New York:Routledge.
Belawati, T. 1999. Sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh: Suatu reformasi pola pikir.
Sudjana, D. 2000. Strategi Pembelajaran. Bandung : Falah Production
http://aristohadi.wordpress.com

lahirnya pendidikan jarak jauh di indonesia







MAKALAH

LAHIRNYA PENDIDIKAN JARAK JAUH DI INDONESIA




Disampaikan untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Sistem Belajar Mandiri
Dosen Pengampu : Drs. Wardi


Disusun oleh :
Siti Maghfiroh 1102409019
Umi Kulsum 1102410065
Febryan dody irwadi 1102410026


KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2011


BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Kondisi yang telah menunjang dan memacu lahirnya PTJJ di Indonesia yaitu:
• Komitmen terhadap pendidikan untuk pembangunan bangsa Indonesia merupakan suatu amanat yang tertera di dalam Pembukaan UUD 1945. Di dalam Pembukaan Konstitusi tersebut dengan jelas dikatakan bahwa tujuan untuk membangun Negara Indonesia ialah antara lain untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. diperlukan suatu sistem pendidikan.
• Keterbatasan Sumber Daya dan Dana
• Akselerasi Pembangunan Nasional, pembangunan bukan hanya difokuskan kepada
infrastruktur ekonomi tetapi juga untuk pembangunan manusianya.
Kondisi tersebut secara keseluruhan telah melahirkan suasana kondusif bagi lahirnya suatu sistem pendidikan jarak jauh sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional di kemudian hari.

2. Rumusan masalah
• Sejarah Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
• Definisi Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
• Faktor Pendukung Pengembangan PTJJ di Indonesia
• Pendidikan Konvensional dan Nonkonvensional.

3. Tujuan
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui penyelenggaraan pendidikan dengan sistem belajar terbuka dan jarak jauh pada semua jalur,jenjang, dan jenis pendidikan. Dengan sistem pendidikan terbuka dan jarak jauh diharapkan dapat mengatasi masalah kesenjangan pemerataan kesempatan, peningkatan mutu, relevansi dan efisiensi dalam managemen pendidikan yang disebabkan oleh berbagai factor hambatan seperti kondisi, jarak, tempat, dan waktu



BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh
Rencana Pembangunan Lima Tahun yang pertama (REPELITA I), pada April tahun 1969 dimula langkah pertama pembangunan tersebut. Data yang digunakan di dalam rencana pembangunan nasional tersebut masih kurang memadai, termasuk didalamnya rencana pembangunan pendidikan nasional. Disadari bahwa pendidikan nasional pada waktu itu membutuhkan penanganan yang serius namun porsi alokasi pembangunan sektor pendidikan di dalam pembangunan nasional masih sangat kecil. Meskipun rencana pembangunan sudah mulai dilaksanakan pada 1April 1969, Pemerintah menyadari suatu keharusan memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh dan lebih akurat mengenai keadaan pendidikan nasional.

Dalam kaitan ini dilaksanakan Seminar Nasional mengenai pendidikan yang dikenal sebagai Konperensi Cipayung pada tanggal 28-30 April 1969 ketika 100 orang pakar dari berbagai disiplin mengindentifikasikan beragam masalah pendidikan nasional. Salah satu implikasi dari Konferensi Cipayung ialah lahirnya Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) I pada 1 Mei 1969. Proyek ini telah menghasilkan suatu gambaran menyeluruh mengenai pendidikan nasional. Salah satu strategi yang perlu dikembangkan adalah bagaimana sistem pendidikan nasional yang ada dapat menampung kebutuhan pendidikan yang semakin lama semakin meningkat. Artikel ini menunjukkan beberapa kondisi yang menunjang lahirnya pendidikan terbuka dan jarak jauh (PTJJ) di Indonesia serta berbagai faktor pendukung dalam pengembangannya sampai pada pertengahan dekade 80-an atau akhir PELITA III.

Pada masa itu sudah terdapat berbagai kursus tertulis yang diselenggarakan melalui pos seperti kursus pemegang buku (Boekhoulding) serta beragam kursus bahasa asing (misalnya Belanda dan Inggris). Kesempatan dan sarana pendidikan yang kurang memadai telah mendorong lahirnya bermacam jenis
pendidikan alternatif tersebut di samping adanya kursus tatap muka. Disamping itu terdapat berbagai kondisi yang menunjang perkembangan dari PTJJ di Indonesia.



2. Definisi Pendidikan Jarak Jauh
Sebuah perluasan definisi pendidikan jarak jauh didesak oleh Barker, Frisbie dan Patrick (1989) yang mengakui studi korespondensi sebagai landasan historis dari pendidikan jarak jauh tetapi menunjukkan bahwa ada benar-benar dua bentuk pendidikan jarak jauh. Salah satunya adalah korespondensi tradisional berbasis pendidikan jarak jauh yang berorientasi studi independen dan yang kedua adalah telekomunikasi berbasis pendidikan jarak jauh yang menawarkan pengajaran dan pengalaman belajar secara simultan (1989).
Para Garrison dan Shale definisi pendidikan jarak jauh (1987) menawarkan seperangkat minimum kriteria dan memungkinkan lebih banyak fleksibilitas. Mereka berpendapat bahwa:
• pendidikan jarak jauh menyiratkan bahwa mayoritas komunikasi pendidikan antara guru dan siswa terjadi non contiguously
• pendidikan jarak jauh melibatkan komunikasi dua arah antara guru dan siswa untuk tujuan memfasilitasi dan mendukung proses pendidikan
• pendidikan jarak jauh menggunakan teknologi untuk memediasi komunikasi dua arah yang diperlukan.
Pendidikan Terbuka/Jarak Jauh adalah suatu bentuk pendidikan yang mempunyai karakteristik sebagai berikut:
• Dalam sistem PT/JJ siswa dan guru bekerja secara terpisah sepanjang proses belajar itu. Ini berarti bahwa siswa harus dapat belajar secara mandiri. Bantuan belajar yang diperoleh dari orang lain sangat terbatas.
• Dalam sistem PT/JJ ada lembaga pendidikan yang merancang dan menyiapkan bahan belajar, serta memberikan pelayanan bantuan belajar kepada siswa. Adanya lembaga pendidikan ini membedakan sistem PT/JJ dari proses belajar sendiri (private study) atau teach yourself programmes.
• Dalam sistem PT/JJ, pelajaran (pengetahuan, keterampilan, dan sikap) disampaikan kepada siswa melalui media seperti media cetak, radio, kaset audio, TV, kaset video, slide, CD-ROM (program video dalam piringan kecil) dan sebagainya.
• Dalam sistem PT/JJ ada usaha untuk terjadinya komunikasi dua arah antara siswa dan guru atau antara siswa dengan lembaga penyelenggara, atau antara siswa dengan siswa lain.
• Dalam sistem PT/JJ tidak ada kelompok belajar yang bersifat tetap sepanjang masa belajarnya. Karena itu siswa PT/JJ menerima pelajaran secara individual bukannya secara kelompok.

3. Faktor Pendukung Pengembangan PTJJ di Indonesia
Beberapa faktor pendukung pengembangan PTJJ. Berikut ini dibahas lima faktor yang merupakan cikal-bakal tumbuhkembangnya PTJJ:
• Falsafah Belajar Seumur Hidup, sungguhpun falsafah pendidikan seumur hidup telah lama dikenal di dalam konsep pendidikan Indonesia dengan adanya pendidikan masyarakat namun belajar seumur hidup sebagai suatu konsep pendidikan relatif belum lama diterima oleh dunia pendidikan di Indonesia.
• Education for All, dewasa ini dunia melihat pendidikan merupakan hak manusia. Pendidikan harus dijadikan sebagai kebutuhan pokok untuk mempertahankan dan meningkatkan martabat manusia.
• Program Studi Teknologi Pendidikan, sejalan dengan berkembangan teknologi, khususnya teknologi komunikasi.
• Inovasi Pendidikan, meskipun inovasi pendidikan di Indonesia berjalan tersendatsendat namun didesak oleh kebutuhan dan didukung oleh kemajuan teknologi komunikasi maka teknologi pendidikan juga memasuki inovasi pendidikan nasional.
• Teknologi Pendidikan, Teknologi pendidikan pada awal mulanya berkembang untuk
meningkatkan kemampuan mengajar para guru.









4. Pendidikan Konvensional dan Nonkonvensional
Dalam membicarakan PT/JJ para ahli seringkali membadingkannya dengan pendidikan konvensional (pendidikan langsung=direct education) dan pendidikan nonkonvensional (pendidikan tidak langsung=indirect education). Dalam uraian berikut ini akan dibahas perbedaan pokok antara pendidikan konvensional dan nonkonvensional.
a. Pendidikan konvensional
Pendidikan konvensional ialah pendidikan persekolahan yang menggunakan sistem klasikal dalam menyampaikan pelajarannya. Kay dan Rumble (1979) memberi batasan pendidikan konvensional sebagai “proses pembelajaran berdasarkan pelajaran klasikal yang diberikan di sekolah, universitas, akademi, dsb. Pada sistem ini guru dan siswa secara fisik hadir di ruang kelas pada saat yang sama.” Dalam buku kepustakaan pendidikan dikatakan bahwa:”pendidikan konvensional itu merupakan penyediaan pendidikan yang biasa (normal) dan proses pembelajarannya berlangsung secara tatap muka di ruang kelas yang ada di sekolah. Pada pendidikan konvensional terdapat ciri-ciri sebagai berikut:
• Siswa dan guru hadir di ruang yang sama di waktu yang sama untuk melaksanakan proses belajar-mengajar.
• Proses belajar-mengajar dilakukan secara tatap muka.
• Tujuan belajar, bahan belajar, dan evaluasi belajar semuanya ditentukan oleh guru.
• Dalam sistem ini guru mengajar dan siswa mengikuti pelajaran dari guru.

b. Pendidikan nonkonvensional
Pendidikan dapat dikatakan langsung atau tidak langsung berdasarkan sesuai tidaknya dengan pendidikan konvensional. Pendidikan yang tidak diberikan secara tatap muka dapat disebut pendidikan tidak langsung. Pada pendidikan jenis ini isi pelajaran (learning contents) disampaikan melalui berbagai jenis media seperti surat, media cetak, kit belajar, media audio visual seperti radio, tv, kaset audio, kaset video, film, slide, pembelajaran dengan bantuan komputer, dan sebagainya. Karena itu pendidikan tidak langsung seringkali disebut juga pendidikan dengan perantaraan media (mediated education)
Pendidikan dengan perantaraan media atau pendidikan tidak langsung itu sedikitnya mempunyai dua karakteristik yang sama dengan karakteristik PT/JJ, yaitu bahwa
• Pada kedua sistem itu siswa dan guru tidak berada di satu ruang kelas pada saat proses belajar terjadi. Dengan perkataan lain pelajaran tidak disampaikan secara tatap muka.
• Pada kedua sistem itu pelajaran disampaikan dengan menggunakan perantaraan media.
Karena itu PT/JJ itu dapat digolongkan dalam pendidikan tidak langsung. Tetapi sebaliknya karena pendidikan tidak langsung itu tidak selalu memenuhi semua ciri atau karakteristik BT/JJ, maka pendidikan tidak langsung itu tidak identik dengan PT/JJ.

Penyelenggaraan PTJJ bisa dilakukan oleh organisasi secara khusus atau bekerja sama dengan lembaga terkait. Menurut Perry dan Rumble, ada tiga organisasi penyelengaraan PJJ yaitu lembaga tunggal (single mode), lembaga dwifungsi (dual mode), dan lembaga Campuran (mix mode). Lembaga tungga (single mode) adalah lembaga pendidikan yang didirikan mengkhususkan untuk penyelenggaraaan pendidikan jarak jauh, misalnya Universitas Terbuka. Lembaga dwifungsi (dual mode) adalah lembaga pendidikan yang awalnya menyelenggarakan pendidikan konvensional, tetapi dalam perkembangannya menyelenggarakan pendidikan jarak jauh.

Di era reformasi lembaga seperti ini dimungkinkan untuk bisa dilaksanakan. Misalnya Universitas Indonesia disamping menyelenggarakan pendidikan konvensianal juga membuka PTJJ. Sedangkan Lembaga campuran (mix mode) adalah lembaga pendidikan yang memberikan kebebesan pada peserta didiknya untuk mengikuti pendidikan konvensional atau PTJJ. Hal ini berarti pemerintah daerah bisa memilih bentuk yang cocok dalam penyelenggaraan PTJJ, misalnnya bekerjasama dengan lembaga yang secara khusus menangani pendidikan jarak jauh khususnya dalam hal pengembangan sistem, bahan belajar, dan SDM-nya. Sistem dan bahan belajar tersebut tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah.

Dalam kerjasama ini ada beberapa bentuk yang bisa ditempuh antara lain pemerintah daerah mengikuti apa adanya semua sistem pendidikan jarak jauh yang telah ada di lembaga penyelenggara tanpa menyesuaikan dengan kondisi lingkungan sekitarnya. Misalnya pemerintah daerah bekerjasama dengan Universitas Terbuka; kurikulum, bahan belajar, dan sistem belajarnya mengikuti sistem yang diterapkan oleh UT. Pilihan ini bisa di tempuh terutama oleh daerah yang kemampuan dananya terbatas.

Saat ini sudah banyak jenis pendidikan terbuka/jarak jauh yang ditawarkan lembaga-lembaga baik dari dalam maupun luar negeri. Berdasarkan data ICDL (International Center for Distance Learning) tahun 1997 tercatat ada 1.035 buah lembaga penyelenggara pendidikan terbuka/jarak jauh. Di Asia saja tercatat 116 lembaga yang tersebar di 20 negara termasuk Indonesia (Arief S. Sadiman, 2000). Ini berarti peluang daerah dalam penyelenggaraan PTJJ semakin terbuka.

Pemerintah daerah bisa juga bekerjasama dengan lembaga penyelenggara PTJJ, hanya mungkin beberapa materi pelajaran disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan daerah. Di sini proses belajar atau sistem pengelolaanya dapat pula disesuaikan dengan kondisi daerah.

Bentuk lainnya, pemerintah daerah bekerjasama dengan lembaga pendidikan yang ada di daerahnya dalam mengembangkan sistem pendidikan terbuka/jarak jauh. Misalnya Kabupaten Bandung mengembangkan pendidikan atau pelatihan untuk peningkatan kualifikasi para pertani di darerahnya. Hanya saja jika untuk jangkauan yang kecil/sedikit pengembangan PTJJ kurang efisien. Oleh karena itu bisa juga beberapa daerah yang berdekatan atau memiliki kebutuhan yang relatif sama melakukan kerjasama dalam mengembangkan PTJJ. Kerjasama ini didasarkan pada kebutuhan dan keinginan yang sama dalam meningkatkan SDM di daerahnya masing-masing. Untuk menjaga mutu PTJJ pemerintah pusat mempunyai kewajiban penting dalam membuat aturan atau standarisasi kompetensi dasar.





BAB III
PENUTUP

Pesatnya perkembangan teknologi dapat meningkatkan kebutuhan akan pendidikan profesional yang berkelanjutan.Daya jangkau PTJJ sangat luas. Melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan infomasi, pendidikan ini bisa menjangkau peserta didik yang luas bahkan di daerah terpencil yang sulit dijangkau transportasi. Ini berarti bagi daerah yang secara geografis sulit, bisa menerapkan sistem pendidikan ini.PTJJ bisa mengatasi keterbatasan fasilitas belajar, ruang belajar, atau tenaga guru. Karena PTJJ bisa memaksimalkan sumber belajar yang ada dan tidak perlu ruang khusus. Oleh karena itu PTJJ lebih efiesien. Peserta didik dibiasakan belajar melalui berbagai sumber belajar, dimana saja setiap mereka ada kesempatan untuk belajar.



















8

Daftar Pustaka

http://aristorahadi.wordpress.com/2008/08/10/konsepsi-pendidikan-terbukajarak-jauh/lppm.ut.ac.id/pdffiles/4_tilaar.pdf

http://saina-kurtekdik.blogspot.com/2008/05/wacana-indah-tentang-pendidikan-terbuka_07.html

http://saina-mu.blogspot.com/

Bates, A.W. 1995. Technology, open learning, and distance education. New York:Routledge.

















9

khalayak komunikasi massa

Khalayak Komunikasi Massa
Dalam keseharian ketertiban kita terhadap media massa sangat tinggi. Penggunaan waktu kita untuk media massa Iebih besar dibandingkan dengan aktivitas lain. Jefres mengemukakan beberapa alasan mengapa orang menggunakan media massa, yaitu:
1. situasi konsumsi/penggunaan media
2. pola penggunaan media massa
Dari masing-masing individu, penggunaan terhadap media massa mempunyai seleranya sendiri-sendiri, ada yang suka membaca surat kabar, menonton TV atau mendengarkan radio. Jefres menggambarkan adanya dua pendekatan yang digunakan untuk melihat mengapa terjadi perbedaan yang sifatnya individual seperti tersebut di atas, yaitu:
1. pendekatan kategori sosial
2. pendekatan uses and gratification
Kemudian Katz, Gurevitch dan Hass mengidentifikasi lima kelompok kebutuhan dalam hal penggunaan media, yaitu:
1. kebutuhan kognitif
2. kebutuhan afektif
3. kebutuhan integratif
4. kebutuhan untuk memperkuat kontak dengan keluarga, teman dan dunia luar
5. kebutuhan untuk melepaskan ketegangan
Di samping kebutuhan akan penggunaan media, reaksi dari khalayak terhadap media massa juga ada. Menurut Melvin DeFleur dan Sandra Ball rakeach terdapat tiga perpektif tentang reaksi khalayak terhadap media, yaitu:
1. perspektif perbedaan invidual
2. perspektif kategori sosial
3. perspektif hubungan sosial

Pengaruh Media pada Individu
Media berpengaruh terhadap individu. Untuk mengetahui hal itu telah diadakan beberapa penelitian atau studi komunikasi. Studi-studi tersebut mendorong lahirnya “Teori Peluru Ajaib” atau yang disebut juga “Teori Jarum Hipordemik” dan “Teori Stimulus-Respons (S-R).
Kesimpulan dari studi-studi komunikasi lainnya dapat dikatakan bahwa ada kalangan yang dapat dipengaruhi secara kuat, namun ada juga yang kurang bisa dipengaruhi. Hal tersebut tergantung dari kapasitas seseorang untuk mengambil keputusan intelegensi atau yang disebut daya kritis.
Erie Country Study menemukan bahwa media massa tidak mengontrol cara berpikir pemilih. Media massa disini lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Tiga bentuk pengaruh media tersebut adalah aktivasi, penguatan dan konversi.
Studi Lazarsfeld dan kawan-kawan memperkenalkan sebuah konsep baru tentang Arus Komunikasi Dua Tahap. Dua tahap komunikasi tersebut adalah komunikasi dari media ke pemuka pendapat dan dari pemuka pendapat ke masyarakat. Studi ini mengatakan bahwa bukanlah pengaruh media, melainkan pengaruh personal pemuka pendapat tersebut.
Klapper menyimpulkan bahwa media massa tidak dengan sendirinya menyebabkan khalayak menjadi lebih apatis, pasif maupun agresif, namun (mungkin sekali) memperkuat kecenderungan-kecenderungan yang telah ada di kalangan penerima.
Pada periode selanjutnya berkembang dua model yaitu pendekatan “uses gratificaton” dan “agenda setting”. Pendekatan “uses gratification” menunjukkan bergesernya fokus penelitian dari sumber ke komunikan. Sedangkan pada pendekatan” agenda setting” memfokuskan perhatian pada efek media massa terhadap pengetahuan.
Efek Media Massa
Efek media massa adalah suatu efek yang berasal dari perlakuan media massa kepada kita. Ada 3 pendekatan dalam media massa yakni: efek media massa, perubahan pada diri khalayak komunikasi massa dan tinjauan suatu observasi yang dikenai efek komunikasi massa.
Efek kehadiran masa secara fisik memberikan 5 efek yakni: efek ekonomis, efek sosial, efek penjadwalan kembali kegiatan sehari-hari, efek pada penyaluran/penghilangan perasaan tertentu dan efek pada perasaan orang terhadap media.
Pesan media massa memberikan efek kognitif, efektif dan behavioral kepada khalayak penerima. Selain efek-efek negatif media massa juga memberikan efek positif dengan menimbulkan efek prososial. Tiga wilayah efek prososial, antara lain efek terapetik, pengembangan kendali diri, kerja sama membagi dan membantu.
PSIKOLOGI KOMUNIKATOR
A.Pengantar
Ilustrasi, pada saat anda mengendarai sepeda motor / mobil tiba tiba anda menerobos lampu merah,dan ada seseorang yg menghampiri anda mengenakan baju setelan berwarna coklat,memakai topi, dan dikalungkannya pluit.Sesaat kemudian dia hormat kepada anda dan menanyakan “ boleh saya lihat SIM / STNK anda “.Apa yang anda pikirkan tentang seseorang yang menghampiri anda itu? mungkin dengan cepat anda berkesimpulan bahwa dia adalah seorang POLISI.
Itulah psikologi komunikator. Artinya, untuk bisa dipercayai orang lain diperlukan bukah saja bisa/dapat berbicara tetapi juga memerlukan ”penampilan” yang meyakinkan. He doesn’t communicate what he says, he communicates what he is. Artinya ia tidak dapat menyuruh pendengar hanya memperhatikan apa yang ia katakan. Pendengar juga akan memperhatikan siapa yang mengatakan atau menyampaikan semua pesan-pesan tersebut. Bahkan kadang-kadang unsur “siapa” ini lebih penting dari unsur “apa”. Memang pakaian bukanlah segala-galanya, tetapi banyak teori psikologi yang mengatakan bahwa penampilan akan membuat image lain bagi seseorang.
Aristoteles menyebut karakter komunikator ini sebagai ethos. Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik ( good sense, good moral, character, good will).Pendapat Aristoteles ini diuji secara ilmiah 2300 tahun kemudian oleh Carl Hovland dan Walter Weiss (1951). Mereka melakukan eksperimen pertama tentang psikologi komunikator. Kepada sejumlah besar subjek disampaikan pesan tentang kemungkinan membangun kapal selam yang digerakkan oleh tenaga atom (waktu itu, menggunakan energi atom masih merupakan impian).
Hovland dan Weiss menyebut ethos ini credibility yang terdiri dari dua unsur : Expertise (keahlian) dan trustworthiness (dapat dipercaya). Ketika komunikator berkomunikasi, yang berpengaruh terhadap khalayak bukan saja apa yang ia katakan (pesan), tetapi penampilannya, keadaan dirinya, cara berpakaiannya, model sisir rambutnya juga berpengaruh terhadap khalayak, dan sekaligus semuanya mendapat penilaian dari khalayak pada saat itu.
Pada modul ini kita akan membahas mengenai psikologi komunikator yang di dalamnya melibatkan tiga komponen penting, yaitu ethos, pathos dan logos. Khusus untuk bagian ethos kita akan bahas secara mendalam untuk mendapatkan pengertian yang lebih luas.
B. ETHOS
Ethos diartikan sebagai sumber kepercayaan (source credibility) yang ditunjukkan oleh seorang orator (komunikator) bahwa ia memang pakar dalam bidangnya, sehingga oleh karena seorang ahli, maka ia dapat dipercaya. Seorang komunikator yang handal, mau tidak mau harus melengkapi dirinya dengan dimensi ethos ini yang memungkinkan orang lain menjadi percaya. Ethos terdiri dari pikiran baik, akhlak yang baik, dan maksud yang baik (good sense, good moral character, good will).
Ada beberapa pendapat mengenai penamaan ethos ini, di antaranya adalah:
1. McCroskey menyebutnya authoritativeness
2. Markham menyebutnya reliablelogical
3. Berlo, Lemert dan Mertz menyebutnya qualification
Secara teoretik, ethos bukanlah variabel tunggal, melainkan ethos memiliki atau terdiri dari beberapa dimensi, yaitu kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan. Satu sama lain bisa berdiri sendiri, tetapi pada suatu “saat” mungkin akan menyatu. Artinya, seseorang memiliki ethos yang terdeskripsikan pada kredibilitas, atraksi, dan kekuasaan
Dimensi-dimensi Ethos
Dimensi ethos atau faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas komunikator, yaitu ;
1). Kredibilitas
2). Atraksi
3). Kekuasaan
Sebelum ketiga faktor tersebut diuraikan, terlebih dahulu akan dijelaskan pengaruh komunikasi kita pada orang lain, sebagaimana dikemukakan oleh Herbert C. Kelman.
Menurut Kelman, pengaruh komunikasi kita pada orang lain berupa 3 hal :
1. Internalisasi
2. Identifikasi
3. Ketundukan (compliance)

• Internalisasi

Internalisasi terjadi bila orang menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu sesuai dengan sistem nilai yang dimilikinya. Kita menerima gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain karena gagasan, pikiran, atau anjuran orang lain itu berguna untuk memecahkan masalah, penting dalam menunjukkan arah, atau dituntut oleh sistem nilai kita. Internalisasi terjadi ketika kita menerima anjuran orang lain atas dasar rasional. Misalnya kita berhenti merokok, karena kita ingin memelihara kesehatan kita karena kita tahu bahwa merokok tidak sesuai nilai-nilai yang kita anut.Dimensi ethos yang paling relevan dalam hal ini adalah kredibilitas, yaitu keahlian yang dimiliki oleh komunikator atau kepercayaan kita pada komunikator.
• Identifikasi

Identifikasi terjadi bila individu mengambil perilaku yang berasal dari orang atau kelompok lain karena perilaku itu berkaitan dengan hubungan yang mendefinisikan diri secara memuaskan (satisfying self-defining relationship) dengan orang atau kelompok itu. Hubungan yang mendefinisikan diri artinya memperjelas konsep diri. Dalam identifikasi, individu mendefinisikan perannya sesuai dengan peranan orang lain. Dengan perkataan lain, ia berusaha seperti atau benar-benar menjadi orang lain. Dengan mengatakan apa yang ia katakan, melakukan apa yang ia lakukan, mempercayai apa yang ia percayai, individu mendefinisikan dirinya sesuai dengan orang yang mempengaruhinya.Identifikasi terjadi ketika anak berperilaku mencontoh ayahnya, murid meniru tindak tanduk gurunya, atau penggemar bertingkah dan berpakaian seperti bintang yang dikaguminya.Dimensi ethos yang paling relevan dengan identifikasi ialah atraksi (daya tarik komunikator).
• Ketundukan

Ketundukan terjadi bila individu menerima pengaruh dari orang atau kelompok lain karena ia berharap memperoleh reaksi yang menyenangkan dari orang atau kelompok lain tersebut. Ia ingin memperoleh ganjaran atau menghindari hukuman dari pihak yang mempengaruhinya.
Dalam ketundukan, orang menerima perilaku yang dianjurkan bukan karena mempercayainya, tetapi karena perilaku tersebut membantunya untuk menghasilkan efek sosial yang memuaskan.
Bawahan yang mengikuti perintah atasannya karena takut dipecat, pegawai negeri yang masuk parpol tertentu karena kuatir diberhentikan, petani yang menanam sawahnya karena ancaman pamong desa adalah contoh-contoh ketundukan, Dimensi ethos yang berkaitan dengan ketundukan ialah kekuasaan.
• Dimensi-dimensi Ethos

1. KREDIBILITAS
Kredibilitas adalah seperangkat persepsi komunikate tantang sifat-sifat komunikator. Dari definisi ini terkandung dua hal, yaitu :
Pertama : kredibilitas adalah persepsi komunikate, jadi tidak inheren dalam diri komunikator Kedua : kredibilitas berkenaan dengan sifat-sifat komunikator (disebut juga komponen-komponen kredibilitas).
Sejatinya, inti dari kredibilitas adalah persepsi, yang secara sederhana dapat diartikan pandangan komunikate terhadap komunikator. Oleh karena itu persepsi tidaklah tetap melainkan berubah-ubah bergantung kepada pelaku persepsi (komunikate), topik yang dibahas, dan situasi.
Misalnya, seorang dosen begitu didengar oleh mahasiswanya, tetapi belum tentu di depan rektornya. Ini mengandung arti bahwa persepsi mahasiswa dan persepsi rektor sangat berbeda, tergantung siapa yang memberikan persepsi tersebut.
Contoh lain misalnya, anda seorang mahasiswa akan sangat dikagumi apabila anda KKN (kuliah kerja nyata) di daerah terpencil (pelosok pedesaan). Tetapi mungkin anda akan dianggap biasa saja di lingkungan masyarakat kota yang terdidik. Sekali lagi harus dikatakan bahwa kredibilitas akan sangat tergantung kepada “siapa” yang memberi persepsi. Karena persepsi merupakan pandangan orang lain (komunikate), maka persepsi itu dapat dimanipulasi dengan cara menggunakan beragam atribut/asesoris yang dapat mengubah persepsi orag lain terhadap komunikator. Misalnya, seorang profesor dari perguruan tinggi terkemuka didandani pakaian robek-robek, lusuh dan dekil. Maka kita dapat meramalkan kredibilitas sang profesor tersebut akan jatuh, akan lain halnya apabila sang profesor tersebut mengunakan jas dan dasi lengkap.
Dengan demikian kredibilitas dapat dibentuk, dimanupulasi berdasarkan keinginan tertentu. Persepsi komunikate terhadap komunikator tidaklah berdiri sendiri, salah satunya dipengaruhi prior ethos, yaitu persepsi komunikate tentang komunikator sebelum ia melakukan komunikasi. Adapun prior ethos dapat dibangun melalui:
1. Dibangun melalui pengalaman langsung (artinya komunikate dan komunikator pernah bertemu langsung).
2. Dibangun melalui pengalaman wakilan (vicarious experiences). Misalnya, komunikator sering ditampilkan oleh media massa sebagai seseorang yang “hebat”, maka komunikate akan memberikan persepsi baik meskipun belum pernah berjumpa tatap muka (langsung).
3. Dibangun melaui kelompok rujukan (dibangun melalui skema kognitif). Misalnya: anda akan mendengarkan petuah seseorang yang diperkenalkan sebagai kiyai haji. Gelar (kiyai/haji) dinisbatkan kepada orang yang memiliki ilmu “luhur”, oleh karena itu persepsi kita akan terpengaruh oleh gelar-gelar tersebut.
Selain prior ethos, pesepsi komunikate terhadap komunikator dipengaruhi pula oleh intrinsic ethos. Secara sederhana intrinsic ethos adalah kepercayaan yang datangnya dari dalam diri komunikator secara berproses (terjemahan penulis). Misalnya, pada suatu kesempatan anda diundang untuk mendengarkan ceramah seseorang. Seseorang (komunikator) tersebut terlihat menggunakan pakaian seadanya: celana jeans sedikit agak lusuh, mengenakan kaos tanpa kerah, serta hanya mengunakan sendal gunung. Ia akan berbicara tentang kemiskinan dan kaitannya dengan fenomena bunuh diri dikalangan masyarakat tidak mampu. Setelah beberapa saat komunikator tersebut berbicara, pembicaraannya begitu mendalam dengan menggunakan contoh-contoh yang mudah dimengerti serta tata susunan bahasaya yang menawan. Maka perlahan-lahan komuniktor tersebut menampakan kredibilitasnya yang tinggi. Kredibilitas akan sangat ditentkan oleh persepsi. Di samping itu, terdapat dua komponen yang menentukan kredibilitas, yaitu:
1. Keahlian adalah kesan yang dibentuk oleh komunikate tentang kemampuan komunikator dalam hubunganya dengan topik yang dibicarakan. Indikatornya adalah cerdas, mampu, ahli, tahu banyak, berpengalaman, atau terlatih.
2. Kepercayaan adalah kesan komunikate tentang komunikator yang berkaitan dengan wataknya. Indikatornya adalah jujur, tulus, bermoral, adil, sopan dan etis. Aristoteles menyebut indikator tersebut dengan: good moral character.
Tokoh lain, Koehler, Annatol, dan Applbaum menambahkan empat komponen kredibilitas, yaitu:
1. Dinamisme: bila komunikator dipandang bergairah, bersemangat, aktif, tegas, dan berani. Lawannya: pasif, ragu-ragu, lesu dan lemah.
2. Sosiabilitas: bila komunikator sebagai seorang yang periang dan sangat bergaul (gaul gitu lho...)
3. Koorientasi: bila komunikator mewakili kelompok yang kita senangi, yang mewakili nilai-nilai kita.
4. Karisma: bila komunikator menunjukkan sifat luar biasa yang dimilikiya sehingga dapat menarik dan mengendalikan komunikate seperti magnet.
Effendy, menyebut beberapa hal yang terkait dengan ethos, di antaranya:
1. Komponen-komponen ethos yang meliputi:
- competence (kemampuan/kewenangan)
- integrity (integritas/kejujuran)
- good will (tenggang rasa)
2. Faktor-faktor pendukung ehos
- persiapan (preparation)
- kesungguhan (seriousness)
- ketulusan (sincerity)
- kepercayaan (confidence)
- ketenangan (poise)
- keramahan (friendship)
- kesederhanaan (moderation)
2. ATRAKSI
Atraksi (attractiveness) adalah daya tarik komunikator yang besumber dari fisik. Seorang komunikator akan mempunyai kemampuan untuk melakukan perubahan sikap melalui mekanisme daya tarik (fisik), misalnya, komunikator disenangi atau dikagumi yang memungkinkan komunikate menerima kepuasan. Atau daya tarik ini disebabkan oleh adanya faktor kesamaan antara komunikator dan komunikate, sehingga memungkinkan komunikate tunduk terhadap pesan yang dikomunikasikan komunikator. Daya tarik fisik adalah salah satu yang dapat menyebabkan pihak lain (komunikate) merasa tertarik kepada komunikator. Misalnya, kita menyenangi orang-orang yang cantik atau tampan, atau mungkin kita akan menyenangi orang-orang yang memiliki banyak kesamaan dengan kita, atau mungkin juga kita akan menyenangi orang-orang yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari kita. Hal-hal itu terkait dengan daya tarik fisik, ganjaran, kesamaan, dan kemampuan. Komunikator yang menarik secara fisik akan memiliki daya tarik tersendiri yang memungkinkan ia memiliki pesona persuasif.
Daya tarik pun dapat dikarenakan oleh homophily dan heterophily di antara komunikator dan komunikate. Homophily terjadi ketika antara komunikator dan komunikate merasa ada kesamaan dalam: status sosial ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan. Kesamaan ini menjadi daya tarik. Oleh karena itu, komunikator yang ingin memengaruhi orang lain sebaiknya memulai dengan menegaskan kesamaan antara dirinya dengan komunikate. Upaya ini dalam konteks retorika disebut “strategy of identification” ujar Kenneth Burke, atau “establishing common grounds”.
Heterophily, terdapat perbedaan staus ekonomi, pendidikan, sikap, dan kepercayaan antara komunikator dan komunikate. Namun demikian, komunikasi akan lebih efektif pada kondisi yang memiliki homophily. Pada kondisi homophily komunikator yang dipersepsi memiliki kesamaan dengan komunikate akan lebih efektif dalam berkomunikasi, sebab:
1. Kesamaan mempermudah proses penyandibalikan (decoding), yaitu proses menerjemahkan lambang-lambang yang diterima menjadi gagasan-gagasan.
2. Kesamaan membantu membangun premis yang sama. Premis yang sama mempermudah proses deduksi.
3. Kesamaan menyebabkan komunikate tertarik pada komunikator. Kita cenderung menyukai orang-orang yang memiliki kesamaan disposisional dengan kita. Karena kita menyukai komunikator maka kita cenderung akan menerima gasgasan gagasannya.
4. Kesamaan menumbuhkan rasa hormat dan percaya kepada komunikator (meskipun alasan ini belum dibuktikan secara sahih).
3.KEKUASAAN
Kekuasaan adalah kemampuan menimbulkan ketundukan. Ketundukan timbul dari interaksi antara komunikator dan komunikate. Kekuasaan menyebabkan seorang komunikator “memaksakan” kehendaknya kepada orang lain, karena ia memiliki sumber daya penting (critical reseorces). Atas dasar kekuasaan French dan Raven menyebut beberapa jenis kekuasaan, yaitu:
1. Kekuasaan Koersif (coersive power): menunjukkan kemampuan komunikator untuk mendatangkan ganjaran atau mendatangkan hukuman bagi komunikate. Misalnya hukuman yang bersifat personal: benci atau kasih sayang.
2. Kekuasaan Keahlian (Expert Power): berasal dari pengetahuan, pengalaman, keterampilan, atau kemampuan yang dimiliki komunikator. Seorang dosen memiliki kekuasaan keahlian, sehingga ia dapat menyuruh mahasiswanya menafsirkan suatu teori sesuai dengan pendapatnya.
3. Kekuasaan Informasional (Informational Power): berasal dari isi komunikasi tertentu atau pengetahuan baru yang dimiliki oleh komunikator. Seorang ahli mesin dapat menyarankan manajernya untuk membeli mesin jenis/keluaran baru yang lebih baik cara kerjanya.
4. Kekuasaan rujukan (Referent Power): Komunikate menjadikan komunikator sebagai kerangka rujukan untuk menilai dirinya. Misalnya: menjadikan komunikator sebagai teladan, karena perilakunya yang baik.
5. Kekuasaan Legal (Legitimate Power): berasal dari seperangkat aturan atau norma yang menyebabkan komunikator berwewenang untuk melakukan suatu tindakan. Misalnya: seorang manajer bisa saja mengeluarkan pegawainya yang melanggar aturan.
Komunikator yang baik
Jika individu akan menyampaikan suatu pesan, informasi ataupun gagasan kepada individu yang lain secara baik, maka diperlukan niatan dan motivasi yang baik pula. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi antara lain
a. Adanya kesiapan, artinya pesan atau informasi, cara penyampaian, waktu penyampaian dan salurannya harus dipersiapkan dahulu secara matang.
b. Kesungguhan, artinya apapun ujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius. Hal ini dapat dilihat dan dirasakan oleh komunikan dari bahasa Verbal maupun non-verbal
c. Ketulusan, artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada individu yang lain pemberi informasi harus merasa yakin bahwa apa yang akan disampaikan itu merupakan sesuatu yang baik dan memang perlu serta berguna untuk individu tersebut
d. Kepercayaan Diri, artinya jika individu memiliki rasa percaya diri maka hal ini sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya dan bagi penerimanya.
e. Ketenangan, artinya sebaik apapun dan sejelek apapun yang disampaikan, individu harus bersikap tenang, tidak emosi memancing emosi penerima, karena dengan adanya ketenangan maka informasi akan lebih jelas, baik dan lancer.
f. Keramahan, artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan komunikasi, karena dengan keramahan yang tulus tanpa dibuat-buat akan menimbulkan perasaan tenang, senag dan aman bagi penerima.
g. Kesederhanaan, artinya didalam penyampaian informasi, sebaiknya dibuat sederhana baik bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya. Meskipun informasi itu panjang dan rumit akan tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan dan lengkap maka memberikan kejelasan dan pemahaman.
C.PHATOS
Pathos diartikan sebagai “imbauan emosional (emitional appeals)” yang ditunjukkan oleh seorang rhetor dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan kegairahan dengan semangat yang berkobar-kobar pada khalayak. Sejatinya, pathos ini perlu dimiliki oleh seorang ahli pidato (rethor) yang tercemin dari gaya serta bahasanya yang mampu membangkitkan khalayak untuk tujuan-tujuan tertentu. Indonesia memiliki Ir. Soekarno yang memiliki pesona dalam berbicara di depan umum (publik). Semangat pergerakan untuk mengusir penjajah pada waktu itu, bukan semata-mata ditentukan oleh ujung senjata, melainkan pula terletak diujung lidah. Retorika yang baik akan sanggup “membius” khalayak untuk bersatu mengusir penjajah.
D.LOGOS
Logos diartikan sebagai “imbauan logis (logical appeals) yang ditunjukkan oleh seorang orator bahwa uraiannya masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak. Sama halnya dengan pathos, logos pun perlu dimiliki oleh seorang orator/rethor. Kahaayak akan mau dan “bersuka rela” mengikuti ajakan/anjuran komunikator apabila pesannya disampaikan dengan uraiannya yang masuk akal, dan dengan argumentasi yang kuat. Tidak semua orang memiliki logos dalam setiap perkataan yang disampaikanya. Mungkin ada orang yang cenderung memiliki pathos daripada logos atau sebaliknya. Ada satu mitos yang mungkin anda bisa percaya atau tidak: “selain kematian, hal lain yang menakutkan adalah berbicara di depan umum”. Namun bagi seorang komunikator “ulung” yang melengkapi dirinya dengan ethos, pathos dan logos, hal itu tidak berlaku.
PSIKOLOGI PESAN
2 Januari 2011 oleh GUDANG MAKALAH
Oleh : Bahtiar
Pendahuluan
Manusia mengucapkan kata-kata dan kalimat dengan cara-cara tertentu, setiap cara berkata memberikan maksud tersendiri. Cara-cara ini disebut dengan pesan paralinguistic (verbal). Tetapi manusia juga menyampaikan pesan dengan cara-cara lain selain dengan bahasa, misalnya dengan isyarat yang disebut pesan ekstralinguistik (nonverbal).
Jadi pesan yang disampaikan oleh seorang kominikator jelas memiliki maksud dan tujuan tertentu sesuai keinginan penyampai pesan. Dengan demikian, maka jelas setiap pesan yang disampaikan baik pesan verbal ataupun nonverbal memiliki karakter dan psikologi sendiri sesuai dengan tujuan pesan.
Disini kita akan membicarakan psikologi pesan dengan menguraikan ihwal bahasa, hubungan bahasa dengan persepsi dan berfikir, makna sebagaimana teori general sematic dari Alfred Korzybski yang menganalisa proses penyandian (encoding).
Menurut Alfred Korzybski, General Semantic adalah studi tentang kemampuan manusia untuk menyimpan pengalaman dan pengetahuan lewat fungsi bahasa sebagai pengubung waktu, bahasa mengingat waktu dan bahasa mengikat umur manusia bersama. Manusia dapat membuat generalisasi dan simbolisasi pengalaman dan mewariskannya dari generasi ke generasi[1].
Pesan merupakan salah satu unsur yang penting dalam berkomunikasi, sehingga makna dari pesan itu sendiri memperlancar interaksi social antar manusia. Sementara tujuan dari komunikasi akan tercapai bila makna pesan yang disampaikan komunikator sama dengan makna yang diterima komunikan. Maka untuk mencapai tujuan itu, pesan yang disampaikan biasanya diungkapkan melalui perpaduan antara pesan verbal dan nonverbal.
Pesan Verbal dan Nonverbal
Ø Pesan Verbal
Definisi fungsional melihat bahasa dari segi fungsinya, sehingga bahasa diartikan sebagai alat yang dimiliki bersama untuk mengungkakan gagasan, (socially shared means for exspressing ideas). Kita tekankan “socially shared”, karena bahasa dapat dipahami bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok social untuk menggunakannya.
Sedangkan definisi formal menyatakan bahasa sebagai semua kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan tata bahasa (all the conceivable sentences tahat could be generated according to the rules of its grammar). Setiap bahasa mempunyai bagaimana kata-kata harus disusun dan dirangkai supaya memberikan arti.
Dengan demikian pesan verbal atau pesan linguistik adalah pesan yang digunakan dalam komunikasi yang menggunakan bahasa sebagai media. Pesan verbal ditransmisikan melalui kombinasi bunyi-bunyi bahasa dan digunakan untuk menyatakan pikiran, perasaan dan maksud. Dengan kata lain, pesan verbal adalah pesan yang diungkapkan melalui bahasa yang menggunakan kata-kata sebagai representasi realitas atau makna.
Pesan dalam komunikasi verbal disampaikan melalui dua jenis sinyal, yaitu tanda-tanda dan simbol-simbol. Tanda-tanda adalah sinyal yang memiliki hubungan sebab (causal) dengan pesan yang diungkapkan. Contoh, kita mengatakan bahwa jika seseorang meringis hal itu berarti dia sedang merasa kesakitan, karena rasa sakit merupakan sebuah penyebab mengapa orang meringis.
Sedangkan simbol-simbol merupakan produk konvensi social, oleh karena itu maknanya didasarkan pada kesepakatan yang dibuat oleh para pengguna atau penutur. Contoh, bagi orang Indonesia, kumpulan bunyi yang menghasilkan kata “rumah” bermakna bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal karena memang disepakati demikian. Tidak ada alasan intrinsik mengapa konsep “bangunan yang digunakan manusia sebagai tempat tinggal” tidak diungkapkan dengan kata yang lain dan mengapa konsep tersebut diungkapkan dengan sekumpulan bunyi bahasa yang berbeda.
Kini umumnya orang menyebutkan teori yang menjelaskan hubungan bahasa dengan berfikir teori Whorf (Whorfian Hyphotesis). Wdward Sapir, guru Benjamin L.Whorf, menulis, bahasa adalah pandu realitas social. Walaupun bahasa tidak dianggap sebagai hal yang sangat diminati oleh ilmuan social, bahasa secara kuat mengkondisikan pikiran tentang masalah dan proses social.
Manusia tidak hidup hanya dalam dunia objektif, tidak hanya dalam dunia kegiatan social seperti yang biasa dipahaminya, tetapi ia sangat ditentukan oleh bahasa tertentu yang menjadi medium pernyataan bagi masyarakatnya. Tidak ada dua bahasa yang cukup sama untuk dianggap mewakili kenyataan social yang sama.
Secara singkat teori ini dapat disimpulkan bahwa pandangan kita tentang dunia dibentuk oleh bahasa, dan karena bahasa berbeda, pandangan juga berbeda, pandangan kita tentang dunia pun berbeda pula. Secara selektif, kita menyaring data sensor yang masuk seperti yang telah diperogam oleh bahasa yang kita pakai. Dengan begitu, masyarakat yang menggunakan bahasa yang berbeda hidup dalam dunia sensor yang berbeda pula.
Kelebihan dan Keterbatasan Pesan Verbal
Kelebihan
Kelebihan dari pesan verbal adalah media paling efektif yang digunakan manusia sebagai sarana berkomunikasi. Efektivitas tersebut dimungkinkan oleh tiga aspek bahasa: semanticity, generativity dan displacement.
Aspek semanticity merujuk pada hakikat kata-kata (unsur utama bahasa) sebagai simbol yang merepresentasikan objek atau realitas tertentu. Dengan kata-kata, kita dapat menamai atau memberi label pada tindakan, pemikiran, perasaan, atau orang sehingga kita dapat mengindentifikasi atau merujuknya tanpa harus menghadirkannya secara langsung.
Aspek generativity (kadang-kadang disebut productivity) merujuk pada kemampuan bahasa untuk menghasilkan pesan-pesan bermakna dalam jumlah tak terbatas melalui kombinasi sejumlah simbol linguistik yang sangat terbatas. Contoh, hanya dengan menggunakan tiga fonem a, i dan r, kita bisa membentuk kata ‘air’, ‘Ira’, ‘ria’ dan ‘ari’ yang semua kata-kata ini memiliki makna.
Aspek displacement merujuk pada kemampuan bahasa untuk digunakan sebagai sarana untuk membicarakan sesuatu yang ‘jauh’ dalam konteks ruang dan waktu, atau sesuatu yang ada hanya dalam imajinasi.
Kombinasi antara kemampuan bahasa untuk menghasilkan pesan-pesan baru yang bermakna dalam jumlah tak terhingga tanpa dibatasi ruang dan waktu dengan kemampuan kognitif manusia untuk memanfaatkan ketiga aspek tersebut memungkinkan berlangsungnya komunkasi yang sangat efektif dan adaptif.
Keterbatasan
Disamping berbagai kelebihan yang dimilikinya sebagai sarana penyampaian makna bahasa, pesan verbal juga memiliki berbagai kelemahan dalam penyampaian maksud, yaitu :
1. Jumlah kata yang tersedia dalam setiap bahasa sangat terbatas, sehingga tidak semua objek dalam realita dapat diwakili oleh kata-kata.
2. Kata-kata memiliki makna yang ambigu (makna ganda) dan kontekstual, dimana kata-kata bersifat ambigu karena hubungan antara kata dan objek yang diwakilinya bersifat arbitrer (semena-mena). Kata yang diucapkan tidak merujuk pada objek, tetapi pada persepsi dan interpretasi orang sebagai wakil dari objek tersebut.
3. Makna kata-kata bersifat bias karena dipengaruhi oleh latar belakang kebudayaan. Esensi bahasa dalam aktivitas berpikir terungkap dengan jelas melalui kenyataan bahwa ketidakmampuan suku-suku primitif memikirkan hal-hal yang ‘canggih’ bukan karena mereka tidak dapat berpikir, tapi karena bahasa mereka tidak dapat memfasilitasi mereka untuk melakukannya.
4. Orang cenderung mencampuradukkan fakta, penafsiran, dan penilaian karena kekeliruan persepsi sewaktu menggunakan bahasa.
Ø Pesan Nonverbal
Secara sederhana, pesan nonverbal didefinisikan sebagai semua tanda atau isyarat yang tidak berbentuk kata-kata. Samovar dan Proter secara lebih spesifik mendefinisikan sebagai “semua ransangan (kecuali ransangan verbal) dalam suatu setting komunikasi, yang dihasilkan oleh individu dan penggunaan lingkungan oleh indivdu, yang mempunyai nilai pesan potensial bagi pengirim atau penerima”.
Jadi, pesan nonverbal mencakup seluruh perilaku yang tidak berbentuk verbal yang disengaja atau tidak disengaja sebagai bagian dari peristiwa komunikasi secara keseluruhan. Berdiam diri juga merupakan pesan nonverbal jika hal itu memberi makna bagi pengirim atau penerima.
Dalam komunikasi interpersonal, secara umum penyampaian maksud (makna) akan berlangsung efektif bila komunikator memadukan kedua bentuk pesan tersebut. Bahkan dalam rangka mengkomunikasikan perasaan, pesan nonverbal berperan lebih dominan.
Untuk menjelaskan esensi interaksi pesan verbal dan nonverbal dalam penyampaian makna, Devito (1995 : 175-176) menguraikan enam fungsi pesan nonverbal dalam komunikasi interpersonal. Pertama, fungsi aksentuasi, yang digunakan untuk membuat penekanan pada bagian tertentu pesan nonverbal, komunikator sering menggunakan pesan nonverbal, seperti meninggikan nada suara atau menggebrak meja. Kedua, fungsi komplemen, yang digunakan untuk menyampaikan nuansa tertentu yang tidak dapat diutarakan melaui pesan verbal, pembicara akan menggunakan pesan nonverbal. Ketiga, fungsi kontradiksi, yang digunakan untuk mempertentangkan pesan verbal dengan pesan nonverbal dalam rangkan mencapai maksud tertentu. Misalnya, untuk menunjukkan bahwa dia hanya ‘berpura-pura’, pembicara dapat mengedipkan mata sewaktu mengucapkan pernyataan tertentu.
Keempat, fungsi regulasi, yang digunakan untuk menunjukkan bahwa komunikator ingin mengatakan sesuatu, dengan cara membuat isyarat tangan atau mencondongkan tubuh ke depan. Kelima, fungsi repetisi, yang digunakan untuk mengulangi maksud yang disampaikan melalui pesan verbal, seperti “Kamu menerima lamarannya?” dengan menaikkan alis mata dan menunjukkan ekspresi wajah tidak percaya. Keenam, fungsi substitusi, yang digunakan untuk mengganti pesan verbal tertentu seperti “Saya tidak setuju” dengan pesan nonverbal berupa gelengan kepala.
Tinjauan Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal
Mengingat perannya yang begitu penting dalam penyampaian makna, diperlukan pemahaman yang baik tentang dimensi psikologis, khususnya permasalahan tentang bagaimana pesan nonverbal dapat mendukung atau menghambat efektivitas komunikasi.
Pertama, faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. Dalam setiap komunikasi tatap muka, secara sadar atau tidak, komunikator banyak menyampaikan pesan-pesan nonverbal. Sebaliknya, komunikan lebih banyak “membaca” pikiran komunikator melalui petunjuk-petunjuk nonverbal. Sebagai contoh, ketika seorang pria mengetahui lamarannya untuk memperistri gadis pujaannya ditolak, dia mungkin mengatakan, “Ya, sudah. Tidak jadi masalah”, namun ekspresi wajah dan tatapan matanya mungkin menunjukkan kekecewaan yang sangat mendalam.
Kedua, perasaan dan emosi terungkap lebih cermat melalui pesan nonverbal daripada pesan verbal. Bila pesan verbal lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau keadaan, pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan. Ketiga, pesan nonverbal menyampaikan makna (maksud) yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. Pesan nonverbal jarang dimodifikasi secara sadar, kecuali oleh actor-aktor yang terlatih. Oleh karena itu, komunikator biasanya lebih jujur ketika berkomunikasi melalui pesan nonverbal dan sebaliknya, komunikan lebih percaya pada pesan nonverbal daripada pesan nonverbal. Sebagai contoh, ketika seorang dosen mengatakan dia memiliki waktu untuk berdiskusi dengan mahasiswa, tapi kemudian berkali-kali melihat arlojinya, sang mahasiswa biasanya akan segera mendeteksi bahwa sang dosen tidak memiliki waktu.
Keempat, pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif berfungsi memberikan informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu dilakukan dengan memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi, kontradiksi, dan komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.
Kelima, pesan nonverbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Pesan verbal sering mengandung redundansi (penggunaan lebih banyak lambang daripada yang dibutuhkan), repetisi, ambiguitas dan abstraksi. Keenam, pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Dalam situasi tertentu, kita perlu mensugesti (mengungkapkan saran, gagasan atau emosi secara tersirat). Hal ini biasanya paling efektif disampaikan melalui pesan nonverbal. Sebagai contoh, mensugesti anak kecil untuk membuang sampah pada tempatnya paling efektif dilakukan melalui keteladanan.
Karakteristik Makna Pesan
1. Makna ditentukan oleh komunikator
Makna tidak hanya ditentukan oleh pesan (baik verbal, nonverbal, atau keduanya) tetapi juga ditentukan oleh interaksi pesan-pesan itu dan pikiran serta perasaan komunikan. Ketika berkomunikasi, komunikan tidak hanya ‘menerima’ makna tapi juga ‘menciptakan’ makna. Oleh karena itu, pemahaman atas suatu makna tidak dapat dilakukan hanya dengan menganalisis pesan, tetapi juga dengan memahami pengirimnya. Sebagai contoh, makna berupa pujian yang menyatakan seseorang berotak cerdas cenderung dimaknai sebagai penghinaan bila hal itu disampaikan ketika orang tersebut baru mengetahui dia gagal dalam sebuah ujian.
2. Makna yang disampaikan lewat pesan verbal dan nonverbal tidak lengkap
Penyampaian pikiran atau perasaan dilakukan komunikator dengan menggunakan seperangkat simbol. Pada dasarnya simbol-simbol itu mewakili hanya sebagian dari totalitas pikiran atau perasaan yang ingin disampaikan. Karena makna yang diterima dari orang lain bukan makna yang utuh, setiap komunikan hanya dapat mengestimasi makna tersebut berdasarkan pesan yang diterima dengan menggunakan pikiran dan perasaannya sendiri.
3. Makna bersifat unik
Karena makna ditentukan oleh pesan yang diterima dan pikiran serta perasaan komunikan, maka orang yang berbeda tidak pernah menginterpretasi sebuah pesan dengan makna yang sama. Bahkan, karena setiap individu berubah, pesan yang diterima oleh seseorang pada saat yang berbeda akan diinterpretasikan dengan makna yang berbeda pula. Misalnya, pesan “I love you” yang diterima pemuda berusia 20 tahun dari pacarnya, akan diberi makna yang berbeda oleh orang ketika dia berusia 50 tahun.
4. Makna mencakup makna denotatif dan konotatif
Makna denotatif adalah definisi objektif dari kata atau pesan nonverbal dan bersifat universal. Makna konotatif merupakan makna subjektif dan bersifat emosional. Anggukan kepala yang normal, yang digunakan untuk merespon pertanyaan “Kamu setuju?” mengungkapkan makna denotatif. Namun bila anggukan kepala itu disertai dengan kedipan mata atau senyuman sehingga terkesan tidak biasa, makna yang terungkap lebih cenderung bersifat konotatif.
5. Makna harus didasarkan pada konteks
Kata atau tingkah nonverbal yang sama, bisa mengungkapkan makna yang sangat berbeda bila digunakan dalam konteks yang berbeda. Ugkapan “Apa kabar?” yang disampaikan ketika berpapasan dengan seorang teman bermakna “Halo”. Tapi bila ungkapan itu disampaikan ketika mengunjungi teman yang sakit, makna yang terungkap adalah “kondisi kesehatan”.
Karakteristik Pesan
Disamping karakteristik makna pesan, pemahaman tentang karakteristik pesan juga sangat dibutuhkan sebagai landasan untuk mengetahui bagaimana makna disalurkan melalui pesan oleh komunikator kepada komunikan.
1. Pesan berbentuk paket
Pada saat berkomnikasi, seluruh bagian sistem komunikasi biasanya bekerjasama untuk menyampaikan suatu kesatuan makna (unified meaning). Ketika seseorang mengungkapkan kemarahan dengan kata-kata, getaran dan volume suara, ekspresi wajah, sorot mata dan sikap tubuhnya juga memancarkan pesan kemarahan itu.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa pesan selalu diungkapkan dalam satu paket gabungan antara unsur-unsur verbal dan nonverbal. Paket pesan ini biasanya dianggap sebagai hal yang wajar sehingga tidak begitu diperhatikan oleh komunikan, kecuali dia mendeteksi adanya double-bind messages, atau kontradiksi antara pesan verbal dan pesan nonverbal yang digunakan.
2. Pesan dibentuk dengan menggunakan kaidah tertentu
Setiap pesan dibentuk dan diungkapkan dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu. Pesan verbal dibentuk dan digunakan dengan mengikuti aturan-aturan gramatika dan pragmatik yang berlaku dalam bahasa. Pesan nonverbal juga dibentuk dan diungkapkan berdasarkan seperangkat norma atau peraturan yang menggariskan tingkah-laku nonverbal apa yang sesuai, diizinkan, atau diharapkan dalam situasi sosial tertentu.
3. Pesan disampaikan dalam tingkat kelangsungan yang variatif
Sebagian pesan disampaikan secara langsung dan sebagian lagi secara tidak langsung. Pesan langsung ditandai oleh adanya pernyataan langsung mengenai preferensi atau keinginan komunikator, sedangkan dalam pesan tidak langsung si pembicara berupaya menyuruh pendengarnya mengatakan atau melakukan sesuatu tanpa menyatakannya secara eksplisit.
4. Pesan bervariasi dalam tingkat kepercayaan
Terdapat dua alasan mengapa komunikan cenderung lebih mempercayai makna yang terungkap melalui pesan nonverbal ketika dia mendeteksi konflik antara pesan verbal dan nonverbal yang dikirim komunikator. Pertama, pesan verbal lebih mudah dipalsukan. Kedua, pesan nonverbal terbentuk diluar kendali kesadaran individu.
Sinyal nonverbal biasanya dapat digunakan untuk menebak apakah pembicara berbohong atau tidak. Sinyal-sinyal itu juga sangat membantu untuk mengungkapkan kebenaran yang coba ditutup-tutupi oleh kebohongan yang dideteksi.
5. Pesan dapat digunakan dalam metakomunikasi
Seperti telah dijelaskan pada bagian Tinjauan Psikologis Terhadap Peran Pesan Nonverbal di atas, pesan nonverbal memiliki fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Pesan metakomunikatif berfungsi memberikan informasi tambahan untuk memperjelas maksud. Hal itu dilakukan dengan memberdayakan fungsi aksentuasi, repetisi, subsitusi, kontradiksi, dan komplemen pesan nonverbal bagi pesan verbal.
Kesimpulan
Untuk memahami, mengetahui makna dan maksud dari pesan yang disampaikan oleh seorang komunikator, maka komunikan harus paham dengan psikologi pesan. Sehingga, bagaimanapun dan apapun pesan yang disampaikan oleh komunikator dalam kondisi tertentu, komunikan dapat menangkap isi pesan tersebut sesuai dengan makna dan maksud yang diinginkan oleh komunikator. Tentunya untuk pemahaman itu komunikan dan komunikator juga harus memahami bagaimana pesan dalam bentuk verbal dan nonverbal.
Dalam komunikasi interpersonal yang dilakukan secara tatap muka, makna dikirim oleh komunikator melalui pesan verbal dan noverbal. Seacara terpisah, pesan verbal lebih sesuai digunakan untuk menyampaikan fakta, ilmu, atau keadaan, sedangkan pesan nonverbal lebih potensial untuk menyatakan perasaan.
Dalam tataran praktik, komunikator cenderung menggunakan kedua jenis pesan itu secara berdampingan. Akibatnya, Untuk menangkap makna yang disampaikan, komunikate harus mengolah kedua jenis pesan dengan melibatkan pikiran dan perasaanya. Oleh karena itu, makna yang diterima komunikan pada hakikatnya merupakan hasil interaksi antara pesan verbal dengan pesan noverbal dan antara kedua pesan itu dengan pikiran dan emosi komunikan.
Pesan nonverbal juga dianggap lebih terpercaya daripada pesan verbal, jika terdapat ketidakcocokan makna diantara keduanya, makna yang dikirim melalui pesan nonverbal dianggap lebih akurat. Selain itu, pesan nonverbal dapat digunakan untuk memeriksa validitas dan kebenaran pesan verbal. Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan kemampuan berkomunkasi, setiap individu perlu meningkatkan keterampilannya dalam menginterpretasi dan mengontrol penggunaan pesan verbal maupun nonverbal.
Hal ini memang tidak mudah dilakukan mengingat bahwa mayoritas pesan nonverbal sangat ditentukan oleh kebudayaan. Setiap pesan yang diterima harus diinterpretasi dalam konteks situasi dan budaya yang sesuai.