Jumat, 22 Maret 2013
model-model evaluasi program
MODEL-MODEL EVALUASI PROGRAM
Dosen pengampu : pak wardi
DISUSUN OLEH :
HENDRA BAGUS P 1102410035
MUNAWAR ROFIQ 1102410037
RICKY YANUAR 1102410038
JURUSAN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PENDIDIKAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
SEMARANG
2012
EVALUASI PROGRAM : MODEL-MODEL EVALUASI
Perkembangan model evaluasi termasuk suatu fenomena yang menarik.
Setelah Tyler mengemukakan model black box tahun 1949, belum terlihat ada model
lain yang muncul ke permukaan. Lebih kurang 10 tahun lamanya, orang-orang yang
melakukan kegiatan evaluasi hanya menggunakan model evaluasi tersebut. Hal ini
mungkin disebabkan evaluasi belum menjadi studi tersendiri. Ketika itu, orang
banyak mempelajari evaluasi dari psikometrik dengan kajian utamanya adalah tes
dan pengukuran. Evaluasi lebih banyak diarahkan kepada dimensi hasil, belum
masuk ke dimensi-dimensi lainnya. Oleh sebab itu, janganlah heran bila evaluasi
banyak dilakukan oleh orang-orang yang “terbentuk” dalam tes dan pengukuran.
Studi tentang evaluasi belum begitu menarik perhatian orang banyak, karena kurang
memiliki nilai praktis. Baru sekitar tahun 1960-an studi evaluasi mulai berdiri sendiri
menjadi salah satu program studi di perguruan tinggi, tidak hanya di jenjang sarjana
(S.1) dan magister (S.2) tetapi juga pada jenjang doktor (S.3).
Selanjutnya, sekitar tahun 1972, model evaluasi mulai berkembang. Taylor
dan Cowley, misalnya, berhasil mengumpulkan berbagai pemikiran tentang model
evaluasi dan menerbitkannya dalam suatu buku. Model evaluasi yang dikembangkan
lebih banyak menggunakan pendekatan positivisme yang berakar pada teori
psikometrik. Dalam model tersebut, nuansa tes dan pengukuran masih sangat kental,
sekalipun tidak lagi diidentikkan dengan evaluasi. Penggunaan disain eksperimen
seperti yang dikemukakan Campbell dan Stanley (1963) menjadi ciri utama dari
model evaluasi. Berkembangnya model evaluasi pada tahun 70-an tersebut diawali
dengan adanya pandangan alternatif dari para expert. Pandangan alternatif yang
dilandasi sebuah paradigma fenomenologi banyak menampilkan model evaluasi.
Dari sekian banyak model-model evaluasi yang dikemukakan, tes dan
pengukuran tidak lagi menempati posisi yang menentukan. Penggunaannya hanya
untuk tujuan-tujuan tertentu saja, bukan lagi menjadi suatu keharusan, seperti ketika
model pertama ditampilkan. Tes dan pengukuran tidak lagi menjadi parameter
kualitas suatu studi evaluasi yang dilakukan. Perkembangan lain yang menarik dalam
model evaluasi ini adalah adanya suatu upaya untuk bersikap eklektik dalam
penggunaan pendekatan positivisme maupun fenomenologi yang oleh Patton (1980)
disebut paradigm of choice. Walaupun usaha ini tidak melahirkan model dalam
pengertian terbatas tetapi memberikan alternatif baru dalam melakukan evaluasi.
Dalam studi tentang evaluasi, banyak sekali dijumpai model-model evaluasi
dengan format atau sistematika yang berbeda, sekalipun dalam beberapa model ada
juga yang sama. Misalnya saja, Said Hamid Hasan (1988 : 83 – 136)
mengelompokkan model evaluasi sebagai berikut :
1. Model evaluasi kuantitatif, yang meliputi : model Tyler, model teoritik
Taylor dan Maguire, model pendekatan sistem Alkin, model
Countenance Stake, model CIPP, model ekonomi mikro.
2. Model evaluasi kualitatif, yang meliputi : model studi kasus, model
iluminatif, dan model responsif.
Sementara itu, Kaufman dan Thomas dalam Suharsimi Arikunto dan Cepi
Safruddin AJ (2007 : 24) membedakan model evaluasi menjadi delapan, yaitu :
1. Goal Oriented Evaluation Model, dikembangkan oleh Tyler.
2. Goal Free Evaluation Model, dikembangkan oleh Scriven.
3. Formatif-Sumatif Evaluation Model, dikembangkan oleh Michael Scriven
4. Countenance Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
5. Responsive Evaluation Model, dikembangkan oleh Stake.
6. CSE-UCLA Evaluation Model, menekankan pada “kapan” evaluasi
dilakukan.
7. CIPP Evaluation Model, yang dikembangkan oleh Stufflebeam.
8. Discrepancy Model, yang dikembangkan oleh Provus.
Ada juga model evaluasi yang dikelompokkan Nana Sudjana dan R.Ibrahim
(2007 : 234) yang membagi model evaluasi menjadi empat model utama, yaitu
“measurement, congruence, educational system, dan illumination”. Dari beberapa
model evaluasi di atas, beberapa diantaranya akan dikemukakan secara singkat
sebagai berikut :
1. Model Tyler
Nama model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Tyler. Dalam buku
Basic Principles of Curriculum and Instruction, Tyler banyak mengemukakan ide
dan gagasannya tentang evaluasi. Salah satu bab dari buku tersebut diberinya judul
how can the the effectiveness of learning experience be evaluated ? Model ini
dibangun atas dua dasar pemikiran. Pertama, evaluasi ditujukan kepada tingkah laku
peserta didik. Kedua, evaluasi harus dilakukan pada tingkah laku awal peserta didik
sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran dan sesudah melaksanakan kegiatan
pembelajaran (hasil). Dasar pemikiran yang kedua ini menunjukkan bahwa seorang
evaluator harus dapat menentukan perubahan tingkah laku apa yang terjadi setelah
peserta didik mengikuti pengalaman belajar tertentu, dan menegaskan bahwa
perubahan yang terjadi merupakan perub’puyahan yang disebabkan oleh pembelajaran.
Penggunaan model Tyler memerlukan informasi perubahan tingkah laku
terutama pada saat sebelum dan sesudah terjadinya pembelajaran. Istilah yang
populer dikalangan guru adalah tes awal (pre-test) dan tes akhir (post-test). Model ini
mensyaratkan validitas informasi pada tes akhir. Untuk menjamin validitas ini maka
perlu adanya kontrol dengan menggunakan disain eksperimen. Model Tyler disebut
juga model black box karena model ini sangat menekankan adanya tes awal dan tes
akhir. Dengan demikian, apa yang terjadi dalam proses tidak perlu diperhatikan.
Dimensi proses ini dianggap sebagai “kotak hitam” yang menyimpan segala macam
teka-teki. Menurut Tyler, ada tiga langkah pokok yang harus dilakukan, yaitu :
a. Menentukan tujuan pembelajaran yang akan dievaluasi.
b. Menentukan situasi dimana peserta didik memperoleh kesempatan untuk
menunjukkan tingkah laku yang berhubungan dengan tujuan.
c. Menentukan alat evaluasi yang akan dipergunakan untuk mengukur
tingkah laku peserta didik.
2. Model yang Berorientasi pada Tujuan (goal oriented evaluation model)
Dalam mendisain suatu program tentu tidak terlepas dari tujuan. Begitu pula
dalam pendidikan, kurikulum dan pembelajaran, kita mengenal adanya hirarki tujuan
pendidikan, yaitu tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional, tujuan kurikuler,
tujuan pembelajaran umum dan tujuan pembelajaran khusus. Model evaluasi ini
menggunakan tujuan-tujuan tersebut sebagai kriteria untuk menentukan keberhasilan.
Evaluasi diartikan sebagai proses pengukuran hinggamana tujuan program telah
tercapai. Model ini dianggap lebih praktis untuk mendisain dan mengembangkan
suatu program, karena menentukan hasil yang diinginkan dengan rumusan yang
dapat diukur. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan yang logis
antara kegiatan, hasil dan prosedur pengukuran hasil. Tujuan model ini adalah
membantu guru merumuskan tujuan dan menjelaskan hubungan antara tujuan dengan
kegiatan. Jika rumusan tujuan program dapat diobservasi (observable) dan dapat
diukur (measurable), maka kegiatan evaluasi pembelajaran akan menjadi lebih
praktis dan simpel. Di samping itu, model ini dapat membantu guru menjelaskan
rencana pelaksanaan kegiatan suatu program dengan proses pencapaian tujuan.
Instrumen yang digunakan bergantung kepada tujuan yang ingin diukur. Hasil
evaluasi akan menggambarkan tingkat keberhasilan tujuan program berdasarkan
kriteria program khusus. Kelebihan model ini terletak pada hubungan antara tujuan
dengan kegiatan dan menekankan pada peserta didik sebagai aspek penting dalam
program. Kekurangannya adalah memungkinkan terjadinya proses evaluasi melebihi
konsekuensi yang tidak diharapkan.
3. Model Pengukuran
Model pengukuran (measurement model) banyak mengemukakan pemikiran-
pemikiran dari R.Thorndike dan R.L.Ebel. Sesuai dengan namanya, model ini sangat
menitikberatkan pada kegiatan pengukuran. Pengukuran digunakan untuk
menentukan kuantitas suatu sifat (atribute) tertentu yang dimiliki oleh objek, orang
maupun peristiwa, dalam bentuk unit ukuran tertentu. Dalam bidang pendidikan,
model ini telah diterapkan untuk mengungkap perbedaan-perbedaan individual
maupun kelompok dalam hal kemampuan, minat dan sikap. Hasil evaluasi digunakan
untuk keperluan seleksi peserta didik, bimbingan, dan perencanaan pendidikan.
Objek evaluasi dalam model ini adalah tingkah laku peserta didik, mencakup hasil
belajar (kognitif), pembawaan, sikap, minat, bakat, dan juga aspek-aspek kepribadian
peserta didik. Instrumen yang digunakan pada umumnya adalah tes tertulis (paper
and pencil test) dalam bentuk tes objektif, yang cenderung dibakukan. Oleh sebab
itu, dalam menganalisis soal sangat memperhatikan difficulty index dan index of
discrimination. Model ini menggunakan pendekatan Penilaian Acuan Norma (norm-
referenced assessment).
4. Model Kesesuain (Ralph W.Tyler, John B.Carrol, and Lee J.Cronbach)
Menurut model ini, evaluasi adalah suatu kegiatan untuk melihat kesesuaian
(congruence) antara tujuan dengan hasil belajar yang telah dicapai. Hasil evaluasi
digunakan untuk menyempurnakan sistem bimbingan peserta didik dan untuk
memberikan informasi kepada pihak-pihak yang memerlukan. Objek evaluasi adalah
tingkah laku peserta didik, yaitu perubahan tingkah laku yang diinginkan (intended
behaviour) pada akhir kegiatan pendidikan, baik yang menyangkut aspek kognitif,
afektif maupun psikomotor. Untuk itu, teknik evaluasi yang digunakan tidak hanya
tes (tulisan, lisan, dan perbuatan), tetapi juga non-tes (observasi, wawancara, skala
sikap, dan sebagainya). Model evaluasi ini memerlukan informasi perubahan tingkah
laku pada dua tahap, yaitu sebelum dan sesudah kegiatan pembelajaran. Berdasarkan
konsep ini, maka guru perlu melakukan pre and post-test. Adapun langkah-langkah
yang harus ditempuh dalam model evaluasi ini adalah merumuskan tujuan tingkah
laku (behavioural objectives), menentukan situasi dimana peserta didik dapat
memperlihatkan tingkah laku yang akan dievaluasi, menyusun alat evaluasi, dan
menggunakan hasil evaluasi. Oleh sebab itu, model ini menekankan pada pendekatan
penilaian acuan patokan (criterion-referenced assessment).
5. Educational System Evaluation Model (Daniel L.Stufflebeam, Michael Scriven,
Robert E.Stake, dan Malcolm M.Provus)
Menurut model ini, evaluasi berarti membandingkan performance dari
berbagai dimensi (tidak hanya dimensi hasil saja) dengan sejumlah criterion, baik
yang bersifat mutlak/intern maupun relatif/ekstern. Model yang menekankan sistem
sebagai suatu keseluruhan ini sebenarnya merupakan penggabungan dari beberapa
model, sehingga objek evaluasinyapun diambil dari beberapa model, yaitu (1) model
countenance dari Stake, yang meliputi : keadaan sebelum kegiatan berlangsung
(antecedents), kegiatan yang terjadi dan saling mempengaruhi (transactions), hasil
yang diperoleh (outcomes) (2) model CIPP dari Stufflebeam, yang meliputi Context,
Input, Process, dan Product (3) model Scriven yang meliputi instrumental
evaluation and consequential evaluation (4) model Provus yang meliputi : design,
operation program, interim products, dan terminal products. Dari keempat model
yang tergabung dalam educational system model, pada kesempatan ini akan
dijelaskan secara singkat tentang dua model, yaitu model countenance dan model
CIPP.
Model Stake menitikberatkan evaluasi pada dua hal pokok, yaitu description
dan judgement. Setiap hal tersebut terdiri atas tiga dimensi, seperti telah dijelaskan di
atas, yaitu antecedents (context), transaction (process), dan outcomes (output).
Description terdiri atas dua aspek, yaitu intents (goals) dan observation (effects) atau
yang sebenarnya terjadi. Sedangkan judgement terdiri atas dua aspek, yaitu standard
dan judgement. Dalam model ini, evaluasi dilakukan dengan membandingkan antara
satu program dengan program lain yang dianggap standar. Stake mengatakan
description berbeda dengan judgement atau menilai. Dalam ketiga dimensi di atas
(antecedents, transactions, outcomes), data dibandingkan tidak hanya untuk
menentukan apakah ada perbedaan tujuan dengan keadaan yang sebenarnya tetapi
juga dibandingkan dengan standar yang absolut untuk menilai manfaat program.
Menurut Stake, suatu hasil penelitian tidak dapat diandalkan jika tidak dilakukan
evaluasi. Secara keseluruhan, model Countenance dapat digambarkan dalam matriks
berikut ini :
Intens Observations Standards Judgements
Rationale
Antecedents
Transactions
Outcomes
Description Matrix Judgement Matrix
(Robert O.Brinkerhoff, et.al., 1987 : 10)
Jika ingin menggunakan model Countenance dalam program pelatihan
(misalnya), maka kita dapat menjelaskan hal-hal sebagai berikut :
a. Rationale, yaitu menjelaskan pentingnya suatu program pelatihan.
b. Antecedents, yaitu kondisi-kondisi yang diharapkan sebelum kegiatan pelatihan
berlangsung, seperti motivasi, tingkat keterampilan, dan minat.
c. Transactions, yaitu proses atau kegiatan-kegiatan yang saling mempengaruhi
selama pelatihan.
d. Outcomes, yaitu hasil yang diperoleh dari pelatihan, seperti pengetahuan,
keterampilan, sikap dan nilai-nilai.
e. Judgements, yaitu menilai pendekatan dan prosedur yang digunakan dalam
pelatihan, para pelatih/instruktur, dan bahan-bahan.
f. Intents, yaitu tujuan apa yang diharapkan dari suatu program pelatihan.
g. Observations, yaitu apa yang dilihat oleh para pengamat tentang pelaksanaan
pelatihan.
h. Standards, yaitu apa yang diharapkan dari para stakeholders.
i. Judgements, yaitu menilai suatu program, baik yang dilakukan oleh penilai itu
sendiri maupun dari pihak-pihak lain.
Model CIPP berorientasi kepada suatu keputusan (a decision oriented
evaluation approach structured). Tujuannya adalah untuk membantu administrator
(kepala sekolah dan guru) di dalam membuat keputusan. Evaluasi diartikan sebagai
suatu proses mendeskripsikan, memperoleh dan menyediakan informasi yang
berguna untuk menilai alternatif keputusan (Stufflebeam, 1973 : 127). Sesuai dengan
nama modelnya, model ini membagi empat jenis kegiatan evaluasi, yaitu :
a. Context evaluation to serve planning decision, yaitu konteks evaluasi untuk
membantu administrator merencanakan keputusan, menentukan kebutuhan
program, dan merumuskan tujuan program.
b. Input evaluation, structuring decision. Kegiatan evaluasi bertujuan untuk
membantu mengatur keputusan, menentukan sumber-sumber, alternatif apa
yang akan diambil, apa rencana dan strategi untuk mencapai kebutuhan, dan
bagaimana prosedur kerja untuk mencapainya.
c. Process evaluation, to serve implementing decision. Kegiatan evaluasi ini
bertujuan untuk membantu melaksanakan keputusan. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah hinggamana suatu rencana telah dilaksanakan, apakah
rencana tersebut sesuai dengan prosedur kerja, dan apa yang harus diperbaiki.
d. Product evaluation, to serve recycling decision. Kegiatan evaluasi ini
bertujuan untuk membantu keputusan selanjutnya. Pertanyaan yang harus
Anda jawab adalah hasil apa yang telah dicapai dan apa yang dilakukan
setelah program berjalan.
Proses evaluasi tidak hanya berakhir dengan suatu description mengenai
keadaan sistem yang bersangkutan, tetapi harus sampai pada judgment sebagai
kesimpulan dari hasil evaluasi. Model ini menuntut agar hasil evaluasi digunakan
sebagai input untuk decision making dalam rangka penyempurnaan sistem secara
keseluruhan. Pendekatan yang digunakan adalah penilaian acuan norma (PAN) dan
penilaian acuan patokan (PAP). Untuk memahami lebih jauh tentang model CIPP ini,
kita dapat melihat rincian penjelasan keempat dimensi tersebut dari segi tujuan,
metode, dan hubungannya dengan pembuatan keputusan menurut (Robert O.Brinkerhoff, et.al., 1987 : 11).Adapun rinciannya adalah :
Context
Evlauatian
Input
Evaluation
Process
Evaluation
Product
Evaluation
Objective
To define the nstitutional ontext, to identify the target population and
assess their needs,
o identify opportunities for addressing the needs, to diagnose problems underlying the needs & to judge
whether proposed
objectives are sufficienly responsive to the
assessed needs.
To identify & assess system capabilities,alternative
Program strategies,
Procedural designs for implementing the
strategies,budgets,
schedules, and
program.
To identify or
predict, in
process, defects in
the procedural
design or its
implementation,
to provide information for
the preprogrammed
decisions, and to
record & judge
procedural events
& activities.
To collect
descriptions &
judgements of
outcomes & to
relate them to
objectives & to
context, input &
process
information & to
interpret their
worth & merit
Method
By using such bethods as system analysis,survey,
document review, hearings,interviews,
diagnostic tests,& the Delplirtechnique.
By inventorying & analyzingavailable human
& materialresources,solution strategies, & procedural
designs for relevance,
feasibility & economy. And by
using such methods as
literature search, visits to “misicle
workers”,advocate teams &
pilot trials.
By monitoring the
activity’s
potential
procedural
barriers &
remaining alert to
unanticipated
ones, by
obtaining
specified
information for
programmed
decisions, by
describing the
actual process &
by continually
interacting with &
observing the
activities of project staff
By defining
operationally &
measuring
outcomes criteria,
by collecting
judgements of
outcomes from
stakeholders, &
by performing
both qualitative &
quantitative
analyses
Relation to Desion making in the change proses
For deciding upon
the setting to be
served, the goals
associated with
meeting needs or
using
opportunities, &
the objectives
associated with
solving problems,
i.e., for planning
needed changes.
And to provide a
basis for judging
outcomes
For selecting
sources of
support, solution
strategies &
procedural
designs, i.e., for
structuring
change activities.
And to provide a
basis for judging
implementation
For implementing
and refining the
program design
and procedure,
i.e., for effecting
process control.
And to provide a
log of the actual
process for later
use in interpreting
outcomes
For deciding to
continue,
terminate,
modify, or
refocus a change
activity, &
present a clear
record of effects
(intended,
positive &
negative)
6. Model Alkin
Model ini diambil dari nama pengembangnya yaitu Marvin Alkin (1969).
Menurut Alkin, evaluasi adalah suatu proses untuk meyakinkan keputusan,
mengumpulkan informasi, memilih informasi yang tepat, dan menganalisis
informasi, sehingga dapat disusun laporan bagi pembuat keputusan dalam memilih
beberapa alternatif. Alkin mengemukakan ada lima jenis evaluasi, yaitu :
a. Sistem assessment, yaitu untuk memberikan informasi tentang keadaan atau
posisi dari suatu sistem.
b. Program planning, yaitu untuk membantu pemilihan program tertentu yang
mungkin akan berhasil memenuhi kebutuhan program.
c. Program implementation, yaitu untuk menyiapkan informasi apakah suatu
program sudah diperkenalkan kepada kelompok tertentu yang tepat sebagaimana
yang direncanakan.
d. Program improvement, yaitu memberikan informasi tentang bagaimana suatu
program dapat berfungsi, bekerja atau berjalan. Apakah sesuai dengan
pencapaian tujuan ? Adakah hal-hal atau masalah-masalah baru yang muncul
secara tiba-tiba ?
e. Program certification, yaitu memberikan informasi tentang nilai atau manfaat
suatu program.
7. Model Brinkerhoff
Robert O.Brinkerhoff (1987) mengemukakan dilihat dari segi disain evaluasi,
ada tiga jenis evaluasi yang disusun berdasarkan penggabungan elemen-elemen yang
sama, yaitu :
a. Fixed vs Emergent Evaluation Design
Disain evaluasi fixed (tetap) harus direncanakan dan disusun secara
sistematik-terstruktur sebelum program dilaksanakan. Namun demikian, disain fixed
dapat juga disesuaikan dengan kebutuhan yang sewaktu-waktu dapat berubah. Disain
evaluasi ini dikembangkan berdasarkan tujuan program, kemudian disusun
pertanyaan-pertanyaan untuk mengumpulkan berbagai informasi yang diperoleh dari
sumber-sumber tertentu. Begitu juga dengan model analisis yang akan digunakan
harus dibuat sebelum program dilaksanakan. Pihak pemakai (user) akan menerima
informasi sebagai hasil evaluasi sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Pada
umumnya, evaluasi formal yang dibuat secara individual menggunakan disain fixed,
karena tujuan program sudah ditetapkan sebelumnya. Begitu juga dengan anggaran
biaya dan organisasi pelaksana, yang kesemuanya dituangkan dalam sebuah proposal
evaluasi.
Kegiatan-kegiatan evaluasi yang dilakukan dalam disain fixed ini antara lain
menyusun pertanyaan-pertanyaan, menyusun dan menyiapkan instrumen,
menganalisis hasil evaluasi, dan melaporkan hasil evaluasi secara formal kepada
pihak pemakai. Dalam menyusun pertanyaan-pertanyaan atau merumuskan masalah,
seorang evaluator harus mengacu kepada tujuan program. Di samping itu, evaluator
juga harus merangsang audience untuk memperbaiki pertanyaan-pertanyaan yang
dianggap kurang relevan. Sesuai dengan kegiatan-kegiatan evaluasi ini, maka wajar
bila disain fixed ini banyak memerlukan biaya. Belum lagi proses komunikasi yang
harus dibangun secara teratur dan kontinu, baik secara langsung maupun tak
langsung antara evaluator dengan audience atau klien.
Untuk mengumpulkan data dalam disain ini dapat menggunakan berbagai
teknik, seperti tes, observasi, wawancara, kuesioner, dan skala penilaian. Untuk itu,
syarat-syarat penyusunan instrumen yang baik, seperti validitas dan reliabilitas tetap
harus diperhatikan, karena data yang dikumpulkan biasanya bersifat kuantitatif.
Dalam penyusunan disain biasanya didiskusikan terlebih dahulu dengan pihak
pemakai, sehingga jika terdapat kekurangan dapat segera diperbaiki.
Sementara itu, dalam disain evaluasi emergent, tujuan evaluasi adalah untuk
beradaptasi dengan situasi yang sedang berlangsung dan berkembang, seperti
menampung pendapat audiensi, masalah-masalah, dan kegiatan program. Proses
adaptasi ini tentu memerlukan waktu yang cukup lama, mulai dari awal sampai
dengan akhir kegiatan guna menetapkan dan merumuskan tujuan dan isu. Hal ini
wajar karena hal tersebut tidak ditentukan sebelumnya. Disini, seorang evaluator
tidak perlu mendorong audiensi untuk memikirkan tentang suatu program atau isu-
isu evaluasi karena audiensi akan menentukan sendiri isu-isu dan informasi penting
lainnya yang diperlukan dalam disain emergent.
Selama proses evaluasi, seorang evaluator harus tetap menjalin komunikasi
yang kontinu dengan audiensi, sehingga data dan informasi yang dikumpulkan tidak
terputus dan tetap utuh. Teknik pengumpulan data dapat menggunakan observasi,
studi kasus dan laporan tim pendukung. Pengukuran tidak selalu mengacu kepada
tujuan program, seperti yang biasa dilakukan, bahkan seorang evaluator sering
mengabaikan penggunaan teknik pengukuran karena informasi yang dibutuhkan
lebih bersifat kualitatif-naturalistik. Hal ini dimaksudkan agar informasi yang
dikumpulkan lebih banyak, mendalam dan bermanfaat. Dengan demikian, disain
akan terus berkembang dan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi di lapangan.
b. Formative vs Summative Evaluation
8. Illuminative Model (Malcolm Parlett dan Hamilton)
Jika model measurement dan congruence lebih berorientasi pada evaluasi
kuantitatif-terstruktur, maka model ini lebih menekankan pada evaluasi kualitatif-
terbuka (open-ended). Kegiatan evaluasi dihubungkan dengan learning milieu, dalam
konteks sekolah sebagai lingkungan material dan psiko-sosial, dimana guru dan
peserta didik dapat berinteraksi. Tujuan evaluasi adalah untuk mempelajari secara
cermat dan hati-hati terhadap pelaksanaan sistem, faktor-faktor yang
mempengaruhinya, kelebihan dan kekurangan sistem, dan pengaruh sistem terhadap
pengalaman belajar peserta didik. Hasil evaluasi lebih bersifat deskriptif dan
interpretasi, bukan pengukuran dan prediksi. Model ini lebih banyak menggunakan
judgment. Fungsi evaluasi adalah sebagai input untuk kepentingan pengambilan
keputusan dalam rangka penyesuaian dan penyempurnaan sistem yang sedang
dikembangkan.
Objek evaluasi model ini mencakup latar belakang dan perkembangan sistem,
proses pelaksanaan sistem, hasil belajar peserta didik, kesukaran-kesukaran yang
dialami dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, termasuk efek samping dari
sistem itu sendiri. Pendekatan yang digunakan lebih menyerupai pendekatan yang
diterapkan dalam bidang antropologi sosial, psikiatri, dan sosiologi. Cara-cara yang
digunakan tidak bersifat standard, melainkan bersifat fleksibel dan selektif.
Berdasarkan tujuan dan pendekatan evaluasi dalam model ini, maka ada tiga fase
evaluasi yang harus ditempuh, yaitu : observe, inquiry further, dan seek to explain.
9. Model Responsif
Sebagaimana model illuminatif, model ini juga menekankan pada pendekatan
kualitatif-naturalistik. Evaluasi tidak diartikan sebagai pengukuran melainkan
pemberian makna atau melukiskan sebuah realitas dari berbagai perspektif orang-
orang yang terlibat, berminat dan berkepentingan dengan program. Tujuan evaluasi
adalah untuk memahami semua komponen program melalui berbagai sudut
pandangan yang berbeda. Sesuai dengan pendekatan yang digunakan, maka model
ini kurang percaya terhadap hal-hal yang bersifat kuantitatif. Instrumen yang
digunakan pada umumnya mengandalkan observasi langsung maupun tak langsung
dengan interpretasi data yang impresionistik. Langkah-langkah kegiatan evaluasi
meliputi observasi, merekam hasil wawancara, mengumpulkan data, mengecek
pengetahuan awal (preliminary understanding) peserta didik dan mengembangkan
disain atau model. Berdasarkan langkah-langkah ini, evaluator mencoba responsif
terhadap orang-orang yang berkepentingan pada hasil evaluasi. Hal yang penting
dalam model responsif adalah pengumpulan dan sintesis data.
Kelebihan model ini adalah peka terhadap berbagai pandangan dan
kemampuannya mengakomodasi pendapat yang ambigius serta tidak fokus.
Sedangkan kekurangannya antara lain (1) pembuat keputusan sulit menentukan
prioritas atau penyederhanaan informasi (2) tidak mungkin menampung semua sudut
pandangan dari berbagai kelompok (3) membutuhkan waktu dan tenaga. Evaluator
harus dapat beradaptasi dengan lingkungan yang diamati. Untuk mempelajari lebih
jauh tentang model ini, silahkan Anda membaca buku Stake (1975) atau Lincoln dan
Guba (1985).
Setelah Anda mempelajari berbagai model evaluasi, model mana yang akan
digunakan dalam menilai suatu program ? Jawabannya tentu sangat bergantung
kepada tujuan evaluasi yang ditetapkan. Namun demikian, perlu juga Anda pahami
bahwa keberhasilan suatu evaluasi program secara keseluruhan bukan hanya
dipengaruhi penggunaan yang tepat pada sebuah model evaluasi melainkan juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertama, tujuan program, baik tujuan umum
maupun tujuan khusus. Seringkali kedua tujuan program ini saling bertentangan satu
sama lain dilihat dari kebutuhan dan komponen-komponen program lainnya. Bahkan,
kadang-kadang evaluator sendiri mempunyai tujuan sendiri-sendiri. Semuanya harus
dipertimbangkan agar terdapat keseimbangan dan keserasian.
Kedua, sistem sekolah. Faktor ini perlu dipertimbangkan dengan matang dan
hati-hati karena melibatkan berbagai komponen yang saling berinteraksi dan
ketergantungan. Mengingat kompleksnya sistem sekolah, maka fungsi sekolah juga
menjadi ganda. Di satu pihak sekolah ingin mewariskan kebudayaan masa lampau
dengan sistem norma, nilai dan adat yang dianggap terbaik untuk generasi muda. Di
pihak lain, sekolah berkewajiban mempersiapkan peserta didik menghadapi masa
depan, memperoleh keterampilan dan kemampuan untuk berinovasi, bahkan
menghasilkan perubahan. Jadi, sekolah sekaligus bersikap konservatif-radikal serta
reaksioner-progresif. Oleh sebab itu, peranan evaluasi menjadi sangat penting.
Tujuannya adalah untuk melihat dan mempertimbangkan hal-hal apa yang perlu
diberikan di sekolah. Begitu juga bentuk kurikulum dan silabus mata pelajaran
sangat bergantung pada evaluasi yang dilaksanakan oleh guru-guru di sekolah,
sehingga timbul masalah lainnya yaitu teknik evaluasi apa yang akan digunakan
untuk mencapai tujuan itu.
Ketiga, program pembinaan. Banyak program pembinaan yang belum
menyentuh secara langsung tentang evaluasi. Program pembinaan guru, misalnya,
lebih banyak difokuskan kepada pengembangan kurikulum dan metodologi
pembelajaran. Hal ini pula yang menyebabkan perbaikan sistem evaluasi
pembelajaran menjadi kurang efektif. Di samping itu, guru juga sering dihadapkan
dengan beragam kegiatan, seperti membuat persiapan mengajar, mengikuti kegiatan
ekstra kurikuler, penyesuaian diri, dan kegiatan administratif lainnya. Artinya,
bagaimana mungkin kualitas sistem evaluasi pembelajaran di sekolah dapat
ditingkatkan, bila fokus pembinaan guru hanya menyentuh domain-domain tertentu
saja, ditambah lagi dengan kesibukan-kesibukan guru di luar tugas pokoknya sebagai
pengajar.
Daftar Pustaka
http://www.majalahpendidikan.com/
Eko Putro Widoyoko. 2009. Evaluasi Program Pembelajaran: Panduan Praktis Bagi Pendidik dan Calon Pendidik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Farida Yusuf Tayibnapis. 2000. Evaluasi Program. Jakarta: PT Rineka Cipta
Hamid Hasan. 2009. Evaluasi Kurikulum. cetakan kedua. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kirkpatrick, D. L. 1998. Evaluating Training Programs: The Four Levels. San Francisco: Berrett-Koehler Publisher, Inc.
Kirkpatrick, D. L. 2009. Kirkpatrick’s Training Evaluation Model.
Partner, C. 2009. Implementing the Kirkpatrick Evaluation Model Plus.
Suharsimi Arikunto dan Cepi Safrudin. 2009. Evaluasi Program Pendidikan: Pedoman Teoritis Praktis Bagi Mahasiswa dan Praktisi Pendidikan, cetakan ketiga. Jakarta: Bumi Aksara
Zaenal Arifin. 2009. Evaluasi Pembelajaran: Prinsip, Teknik, dan Prosedur. Bandung: Remaja Rosdakarya
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
thank yaws