Jumat, 25 November 2011

pp no 17 tentang penyelenggaraan pengelolaan pendidikan

DISTRIBUSI II
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 12
ayat (4), Pasal 17 ayat (3), Pasal 18 ayat (4), Pasal 20
ayat (4), Pasal 21 ayat (7), Pasal 24 ayat (4), Pasal 25
ayat (3), Pasal 26 ayat (7), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28
ayat (6), Pasal 31 ayat (4), Pasal 32 ayat (3), Pasal 41
ayat (4), Pasal 42 ayat (3), Pasal 43 ayat (3), Pasal 50
ayat (7), Pasal 51 ayat (3), Pasal 52 ayat (2), Pasal 54
ayat (3), Pasal 55 ayat (5), Pasal 56 ayat (4), Pasal 62
ayat (4), Pasal 65 ayat (5), dan Pasal 66 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan
Pendidikan;
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4301);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN
DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN.
BAB I . . .
DISTRIBUSI II
- 2 -
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Pengelolaan pendidikan adalah pengaturan
kewenangan dalam penyelenggaraan sistem
pendidikan nasional oleh Pemerintah, pemerintah
provinsi, pemerintah kabupaten/kota,
penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat, dan satuan pendidikan agar proses
pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan
pendidikan nasional.
2. Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan
pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada
satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat
berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan
nasional.
3. Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir
sampai dengan usia 6 (enam) tahun yang dilakukan
melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan
dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
4. Taman Kanak-kanak, yang selanjutnya disingkat TK,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal yang
menyelenggarakan program pendidikan bagi anak
berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam)
tahun.
5. Raudhatul . . .
DISTRIBUSI II
- 3 -
5. Raudhatul Athfal, yang selanjutnya disingkat RA,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan anak
usia dini pada jalur pendidikan formal yang
menyelenggarakan program pendidikan dengan
kekhasan agama Islam bagi anak berusia 4 (empat)
tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
6. Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang
terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan tinggi.
7. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan pada
jalur pendidikan formal yang melandasi jenjang
pendidikan menengah, yang diselenggarakan pada
satuan pendidikan berbentuk Sekolah Dasar dan
Madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat
serta menjadi satu kesatuan kelanjutan pendidikan
pada satuan pendidikan yang berbentuk Sekolah
Menengah Pertama dan Madrasah Tsanawiyah, atau
bentuk lain yang sederajat.
8. Sekolah Dasar, yang selanjutnya disingkat SD,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
yang menyelenggarakan pendidikan umum pada
jenjang pendidikan dasar.
9. Madrasah Ibtidaiyah, yang selanjutnya disingkat MI,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
dalam binaan Menteri Agama yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan
kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan
dasar.
10. Sekolah . . .
DISTRIBUSI II
- 4 -
10. Sekolah Menengah Pertama, yang selanjutnya
disingkat SMP, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan umum pada jenjang pendidikan dasar
sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain yang
sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang diakui
sama atau setara SD atau MI.
11. Madrasah Tsanawiyah, yang selanjutnya disingkat
MTs, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal dalam binaan Menteri Agama yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan
kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan
dasar sebagai lanjutan dari SD, MI, atau bentuk lain
yang sederajat atau lanjutan dari hasil belajar yang
diakui sama atau setara SD atau MI.
12. Pendidikan menengah adalah jenjang pendidikan
pada jalur pendidikan formal yang merupakan
lanjutan pendidikan dasar, berbentuk Sekolah
Menengah Atas, Madrasah Aliyah, Sekolah
Menengah Kejuruan, dan Madrasah Aliyah Kejuruan
atau bentuk lain yang sederajat.
13. Sekolah Menengah Atas, yang selanjutnya disingkat
SMA, adalah salah satu bentuk satuan pendidikan
formal yang menyelenggarakan pendidikan umum
pada jenjang pendidikan menengah sebagai lanjutan
dari SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau
lanjutan dari hasil belajar yang diakui sama/setara
SMP atau MTs.
14. Madrasah Aliyah, yang selanjutnya disingkat MA,
adalah salah satu bentuk satuan pendidikan formal
dalam binaan Menteri Agama yang
menyelenggarakan pendidikan umum dengan
kekhasan agama Islam pada jenjang pendidikan
menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau
bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
15. Sekolah . . .
DISTRIBUSI II
- 5 -
15. Sekolah Menengah Kejuruan, yang selanjutnya
disingkat SMK, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal yang menyelenggarakan
pendidikan kejuruan pada jenjang pendidikan
menengah sebagai lanjutan dari SMP, MTs, atau
bentuk lain yang sederajat atau lanjutan dari hasil
belajar yang diakui sama atau setara SMP atau MTs.
16. Madrasah Aliyah Kejuruan, yang selanjutnya
disingkat MAK, adalah salah satu bentuk satuan
pendidikan formal dalam binaan Menteri Agama
yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan
dengan kekhasan agama Islam pada jenjang
pendidikan menengah sebagai lanjutan dari SMP,
MTs, atau bentuk lain yang sederajat atau lanjutan
dari hasil belajar yang diakui sama atau setara SMP
atau MTs.
17. Pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan pada
jalur pendidikan formal setelah pendidikan
menengah yang dapat berupa program pendidikan
diploma, sarjana, magister, spesialis, dan doktor,
yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
18. Politeknik adalah perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan vokasi dalam
sejumlah bidang pengetahuan khusus.
19. Sekolah tinggi adalah perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau
vokasi dalam lingkup satu disiplin ilmu tertentu dan
jika memenuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi.
20. Institut adalah perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau
pendidikan vokasi dalam sekelompok disiplin ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika
memenuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi.
21. Universitas . . .
DISTRIBUSI II
- 6 -
21. Universitas adalah perguruan tinggi yang
menyelenggarakan pendidikan akademik dan/atau
pendidikan vokasi dalam sejumlah ilmu
pengetahuan, teknologi, dan/atau seni dan jika
memenuhi syarat dapat menyelenggarakan
pendidikan profesi.
22. Program studi adalah unsur pelaksana akademik
yang menyelenggarakan dan mengelola jenis
pendidikan akademik, vokasi, atau profesi dalam
sebagian atau satu bidang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga tertentu.
23. Jurusan atau nama lain yang sejenis adalah
himpunan sumber daya pendukung program studi
dalam satu rumpun disiplin ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga.
24. Fakultas atau nama lain yang sejenis adalah
himpunan sumber daya pendukung, yang dapat
dikelompokkan menurut jurusan, yang
menyelenggarakan dan mengelola pendidikan
akademik, vokasi, atau profesi dalam satu rumpun
disiplin ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau
olahraga.
25. Standar Nasional Pendidikan adalah kriteria
minimal tentang sistem pendidikan di seluruh
wilayah hukum Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
26. Standar pelayanan minimal adalah kriteria minimal
berupa nilai kumulatif pemenuhan Standar Nasional
Pendidikan yang harus dipenuhi oleh setiap satuan
pendidikan.
27. Kurikulum . . .
DISTRIBUSI II
- 7 -
27. Kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan
pelajaran, serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran
untuk mencapai tujuan pendidikan.
28. Dosen adalah pendidik profesional dan ilmuwan
pada perguruan tinggi dengan tugas utama
mentransformasikan, mengembangkan, dan
menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi, dan
seni melalui pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat.
29. Mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan
belajar pada perguruan tinggi.
30. Sivitas akademika adalah komunitas dosen dan
mahasiswa pada perguruan tinggi.
31. Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di
luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang.
32. Kelompok belajar adalah satuan pendidikan
nonformal yang terdiri atas sekumpulan warga
masyarakat yang saling membelajarkan pengalaman
dan kemampuan dalam rangka meningkatkan mutu
dan taraf kehidupannya.
33. Pusat kegiatan belajar masyarakat adalah satuan
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan
berbagai kegiatan belajar sesuai dengan kebutuhan
masyarakat atas dasar prakarsa dari, oleh, dan
untuk masyarakat.
34. Pendidikan berbasis keunggulan lokal adalah
pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan
keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah.
35. Pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 8 -
35. Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan
yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju.
36. Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan/atau sumber belajar pada
suatu lingkungan belajar.
37. Pendidikan jarak jauh adalah pendidikan yang
peserta didiknya terpisah dari pendidik dan
pembelajarannya menggunakan berbagai sumber
belajar melalui teknologi komunikasi, informasi, dan
media lain.
38. Pendidikan berbasis masyarakat adalah
penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan
agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi
masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari,
oleh, dan untuk masyarakat.
39. Pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan.
40. Organisasi profesi adalah kumpulan anggota
masyarakat yang memiliki keahlian tertentu yang
berbadan hukum dan bersifat nonkomersial.
41. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang
beranggotakan berbagai unsur masyarakat yang
peduli pendidikan.
42. Komite sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri
yang beranggotakan orang tua/wali peserta didik,
komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang
peduli pendidikan.
43. Kementerian adalah kementerian yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendidikan nasional.
44. Pemerintah . . .
DISTRIBUSI II
- 9 -
44. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat.
45. Pemerintah daerah adalah pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten, atau pemerintah kota.
46. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan pemerintahan di bidang pendidikan
nasional.
BAB II
PENGELOLAAN PENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 2
Pengelolaan pendidikan dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. pemerintah provinsi;
c. pemerintah kabupaten/kota;
d. penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat; dan
e. satuan atau program pendidikan.
Pasal 3
Pengelolaan pendidikan ditujukan untuk menjamin:
a. akses masyarakat atas pelayanan pendidikan
yang mencukupi, merata, dan terjangkau;
b. mutu dan daya saing pendidikan serta
relevansinya dengan kebutuhan dan/atau
kondisi masyarakat; dan
c. efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan.
Pasal 4 . . .
DISTRIBUSI II
- 10 -
Pasal 4
Pengelolaan pendidikan didasarkan pada kebijakan
nasional bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kedua
Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah
Pasal 5
Menteri bertanggung jawab mengelola sistem pendidikan
nasional serta merumuskan dan/atau menetapkan
kebijakan nasional pendidikan.
Pasal 6
(1) Kebijakan nasional pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 dituangkan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang;
b. rencana pembangunan jangka menengah;
c. rencana strategis pendidikan nasional;
d. rencana kerja Pemerintah;
e. rencana kerja dan anggaran tahunan; dan
f. ketentuan peraturan perundang-undangan di
bidang pendidikan.
(2) Kebijakan nasional sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mencakup pelaksanaan strategi
pembangunan nasional yang meliputi:
a. pelaksanaan pendidikan agama serta akhlak
mulia;
b. pengembangan dan pelaksanaan kurikulum
berbasis kompetensi;
c. proses . . .
DISTRIBUSI II
- 11 -
c. proses pembelajaran yang mendidik dan
dialogis;
d. evaluasi, akreditasi, dan sertifikasi pendidikan
yang memberdayakan;
e. peningkatan keprofesionalan pendidik dan
tenaga kependidikan;
f. penyediaan sarana belajar yang mendidik;
g. pembiayaan pendidikan yang sesuai dengan
prinsip pemerataan dan berkeadilan;
h. penyelenggaraan pendidikan yang terbuka dan
merata;
i. pelaksanaan wajib belajar;
j. pelaksanaan otonomi manajemen pendidikan;
k. pemberdayaan peran masyarakat;
l. pusat pembudayaan dan pembangunan
masyarakat; dan
m. pelaksanaan pengawasan dalam sistem
pendidikan nasional.
(3) Kebijakan nasional pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
pedoman bagi:
a. Kementerian;
b. Kementerian Agama;
c. kementerian lain atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan
satuan pendidikan;
d. pemerintah provinsi;
e. pemerintah kabupaten/kota;
f. penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat;
g. satuan atau program pendidikan;
h. dewan . . .
DISTRIBUSI II
- 12 -
h. dewan pendidikan;
i. komite sekolah/madrasah atau nama lain yang
sejenis;
j. peserta didik;
k. orang tua/wali peserta didik;
l. pendidik dan tenaga kependidikan;
m. masyarakat; dan
n. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di
Indonesia.
(4) Pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan
agar sistem pendidikan nasional dapat
dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
(5) Pengalokasian anggaran pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dikonsolidasikan oleh
Menteri.
Pasal 7
Pemerintah mengarahkan, membimbing, menyupervisi,
mengawasi, mengoordinasi, memantau, mengevaluasi,
dan mengendalikan penyelenggara, satuan, jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan secara nasional.
Pasal 8
(1) Menteri menetapkan target tingkat partisipasi
pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan yang harus dicapai pada tingkat
nasional.
(2) Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal.
(3) Dalam . . .
DISTRIBUSI II
- 13 -
(3) Dalam memenuhi target tingkat partisipasi
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
Pemerintah mengutamakan perluasan dan
pemerataan akses pendidikan melalui jalur
pendidikan formal.
Pasal 9
(1) Menteri menetapkan target tingkat pemerataan
partisipasi pendidikan pada tingkat nasional yang
meliputi:
a. antarprovinsi;
b. antarkabupaten;
c. antarkota;
d. antara kabupaten dan kota; dan
e. antara laki-laki dan perempuan.
(2) Menteri menetapkan kebijakan untuk menjamin
peserta didik memperoleh akses pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang orang
tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan,
peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta
didik di daerah khusus.
Pasal 10
(1) Menteri menetapkan standar pelayanan minimal
bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Standar pelayanan minimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan masing-masing untuk:
a. pemerintah daerah; atau
b. satuan atau program pendidikan.
(3) Standar . . .
DISTRIBUSI II
- 14 -
(3) Standar pelayanan minimal bidang pendidikan
untuk pemerintah daerah merupakan syarat awal
yang harus dipenuhi untuk:
a. mencapai target tingkat partisipasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 8 secara bertahap; dan
b. menyelenggarakan atau memfasilitasi
penyelenggaraan satuan pendidikan sesuai
Standar Nasional Pendidikan secara bertahap.
(4) Standar pelayanan minimal bidang pendidikan
untuk satuan pendidikan ditetapkan sebagai syarat
awal yang harus dipenuhi dalam mencapai Standar
Nasional Pendidikan secara bertahap dengan
menerapkan otonomi satuan pendidikan atau
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Pasal 11
Menteri menetapkan Standar Nasional Pendidikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 12
(1) Pemerintah melakukan dan/atau memfasilitasi
penjaminan mutu pendidikan dengan berpedoman
pada kebijakan nasional pendidikan dan Standar
Nasional Pendidikan.
(2) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
(3) Akreditasi . . .
DISTRIBUSI II
- 15 -
(3) Akreditasi dan sertifikasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) yang diselenggarakan dan/atau
difasilitasi oleh Pemerintah atau masyarakat
didasarkan pada Standar Nasional Pendidikan.
Pasal 13
(1) Pemerintah mengakui, memfasilitasi, membina, dan
melindungi program dan/atau satuan pendidikan
bertaraf internasional sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah memfasilitasi perintisan program
dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau
hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan
untuk dikembangkan menjadi program dan/atau
satuan pendidikan bertaraf internasional.
(3) Pemerintah memfasilitasi akreditasi internasional
program dan/atau satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Pemerintah memfasilitasi sertifikasi internasional
pada program dan/atau satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 14
(1) Pemerintah melakukan pembinaan berkelanjutan
kepada peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mencapai prestasi puncak di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga
pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, nasional, dan internasional.
(2) Untuk . . .
DISTRIBUSI II
- 16 -
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang
kondusif bagi pencapaian prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah
menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi secara
teratur dan berjenjang kompetisi di bidang:
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Pemerintah memberikan penghargaan kepada
peserta didik yang meraih prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan penyelenggaraan dan fasilitasi
kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 15
Menteri menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan
untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a. Kementerian;
b. Kementerian Agama;
c. kementerian lain atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan program
dan/atau satuan pendidikan;
d. pemerintah provinsi;
e. pemerintah kabupaten/kota;
f. penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat; dan
g. satuan . . .
DISTRIBUSI II
- 17 -
g. satuan atau program pendidikan.
Pasal 16
(1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem
pendidikan nasional, Kementerian mengembangkan
dan melaksanakan sistem informasi pendidikan
nasional berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
(2) Sistem informasi pendidikan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh jejaring
informasi nasional yang terhubung dengan sistem
informasi pendidikan di kementerian lain atau
lembaga pemerintah nonkementerian yang
menyelenggarakan pendidikan, sistem informasi
pendidikan di semua provinsi, dan sistem informasi
pendidikan di semua kabupaten/kota.
(3) Sistem informasi pendidikan nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan
akses informasi administrasi pendidikan dan akses
sumber pembelajaran kepada satuan pendidikan
pada semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan.
Bagian Ketiga
Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah Provinsi
Pasal 17
Gubernur bertanggung jawab mengelola sistem
pendidikan nasional di daerahnya serta merumuskan dan
menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai
kewenangannya.
Pasal 18 . . .
DISTRIBUSI II
- 18 -
Pasal 18
(1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 merupakan penjabaran dari
kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang provinsi;
b. rencana pembangunan jangka menengah
provinsi;
c. rencana strategis pendidikan provinsi;
d. rencana kerja pemerintah provinsi;
e. rencana kerja dan anggaran tahunan provinsi;
f. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan
g. peraturan gubernur di bidang pendidikan.
(3) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
pedoman bagi:
a. semua jajaran pemerintah provinsi;
b. pemerintah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan;
c. penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat di provinsi yang bersangkutan;
d. satuan atau program pendidikan di provinsi
yang bersangkutan;
e. dewan pendidikan di provinsi yang
bersangkutan;
f. komite sekolah atau nama lain yang sejenis di
provinsi yang bersangkutan;
g. peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
h. orang . . .
DISTRIBUSI II
- 19 -
h. orang tua/wali peserta didik di provinsi yang
bersangkutan;
i. pendidik dan tenaga kependidikan di provinsi
yang bersangkutan;
j. masyarakat di provinsi yang bersangkutan; dan
k. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di
provinsi yang bersangkutan.
(4) Pemerintah provinsi mengalokasikan anggaran
pendidikan agar sistem pendidikan nasional di
provinsi yang bersangkutan dapat dilaksanakan
secara efektif, efisien, dan akuntabel sesuai dengan
kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 19
Pemerintah provinsi mengarahkan, membimbing,
menyupervisi, mengawasi, mengoordinasi, memantau,
mengevaluasi, dan mengendalikan penyelenggara,
satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di provinsi
yang bersangkutan sesuai kebijakan daerah bidang
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17.
Pasal 20
(1) Gubernur menetapkan target tingkat partisipasi
pendidikan pada semua jenjang dan jenis
pendidikan yang harus dicapai pada tingkat
provinsi.
(2) Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal.
(3) Dalam . . .
DISTRIBUSI II
- 20 -
(3) Dalam memenuhi target tingkat partisipasi
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah provinsi mengutamakan perluasan dan
pemerataan akses pendidikan melalui jalur
pendidikan formal.
Pasal 21
(1) Gubernur menetapkan target tingkat pemerataan
partisipasi pendidikan pada tingkat provinsi yang
meliputi:
a. antarkabupaten;
b. antarkota;
c. antara kabupaten dan kota; dan
d. antara laki-laki dan perempuan.
(2) Gubernur menetapkan kebijakan untuk menjamin
peserta didik memperoleh akses pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang orang
tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan,
peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta
didik di daerah khusus.
Pasal 22
Gubernur melaksanakan dan mengoordinasikan
pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang
pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 23
(1) Pemerintah provinsi melakukan dan/atau
memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan di
daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan
nasional pendidikan dan Standar Nasional
Pendidikan.
(2) Dalam . . .
DISTRIBUSI II
- 21 -
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintah provinsi
berkoordinasi dengan unit pelaksana teknis
Pemerintah yang melaksanakan tugas penjaminan
mutu pendidikan.
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
provinsi mengoordinasikan dan memfasilitasi:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
Pasal 24
(1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan, mengakui,
memfasilitasi, membina, dan melindungi program
dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Pemerintah provinsi menyelenggarakan, mengakui,
memfasilitasi, membina, dan melindungi program
dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau
hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan
untuk dirintis dan dikembangkan menjadi bertaraf
internasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemerintah provinsi memfasilitasi akreditasi
internasional program dan/atau satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Pemerintah . . .
DISTRIBUSI II
- 22 -
(4) Pemerintah provinsi memfasilitasi sertifikasi
internasional pada program dan/atau satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
Pasal 25
(1) Pemerintah provinsi melakukan pembinaan
berkelanjutan kepada peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mencapai prestasi puncak di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga
pada tingkat satuan pendidikan, kabupaten/kota,
provinsi, nasional, dan internasional.
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang
kondusif bagi pencapaian prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemerintah
provinsi menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi
secara teratur dan berjenjang kompetisi di bidang:
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Pemerintah provinsi memberikan penghargaan
kepada peserta didik yang meraih prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan penyelenggaraan dan fasilitasi
kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Gubernur.
Pasal 26 . . .
DISTRIBUSI II
- 23 -
Pasal 26
Gubernur menetapkan kebijakan tata kelola pendidikan
untuk menjamin efisiensi, efektifitas, dan akuntabilitas
pengelolaan pendidikan yang merupakan pedoman bagi:
a. semua jajaran pemerintah provinsi;
b. pemerintah kabupaten/kota di provinsi yang
bersangkutan;
c. penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat
di provinsi yang bersangkutan;
d. satuan atau program pendidikan di provinsi yang
bersangkutan;
e. dewan pendidikan di provinsi yang bersangkutan;
f. komite sekolah atau nama lain yang sejenis di
provinsi yang bersangkutan;
g. peserta didik di provinsi yang bersangkutan;
h. orang tua/wali peserta didik di provinsi yang
bersangkutan;
i. pendidik dan tenaga kependidikan di provinsi yang
bersangkutan;
j. masyarakat di provinsi yang bersangkutan; dan
k. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di provinsi
yang bersangkutan.
Pasal 27
(1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem
pendidikan nasional di daerah, pemerintah provinsi
mengembangkan dan melaksanakan sistem
informasi pendidikan provinsi berbasis teknologi
informasi dan komunikasi.
(2) Sistem informasi pendidikan provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan subsistem dari
sistem informasi pendidikan nasional.
(3) Sistem . . .
DISTRIBUSI II
- 24 -
(3) Sistem informasi pendidikan provinsi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan
akses informasi administrasi pendidikan dan akses
sumber pembelajaran kepada satuan pendidikan
pada semua jenjang, jenis, dan jalur pendidikan
sesuai kewenangan pemerintah provinsi.
Bagian Keempat
Pengelolaan Pendidikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 28
Bupati/walikota bertanggung jawab mengelola sistem
pendidikan nasional di daerahnya dan merumuskan serta
menetapkan kebijakan daerah bidang pendidikan sesuai
kewenangannya.
Pasal 29
(1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 merupakan penjabaran dari
kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 dan Pasal 17, serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang
kabupaten/kota;
b. rencana pembangunan jangka menengah
kabupaten/kota;
c. rencana strategis pendidikan kabupaten/kota;
d. rencana kerja pemerintah kabupaten/kota;
e. rencana kerja dan anggaran tahunan
kabupaten/kota;
f. peraturan . . .
DISTRIBUSI II
- 25 -
f. peraturan daerah di bidang pendidikan; dan
g. peraturan bupati/walikota di bidang
pendidikan.
(3) Kebijakan daerah bidang pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) merupakan
pedoman bagi:
a. semua jajaran pemerintah kabupaten/kota;
b. penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
c. satuan atau program pendidikan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
d. dewan pendidikan di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
e. komite sekolah atau nama lain yang sejenis di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
f. peserta didik di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
g. orang tua/wali peserta didik di kabupaten/
kota yang bersangkutan;
h. pendidik dan tenaga kependidikan di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
i. masyarakat di kabupaten/kota yang
bersangkutan; dan
j. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di
kabupaten/kota yang bersangkutan.
(4) Pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan
anggaran pendidikan agar sistem pendidikan
nasional di kabupaten/kota yang bersangkutan
dapat dilaksanakan secara efektif, efisien, dan
akuntabel sesuai dengan kebijakan daerah bidang
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3).
Pasal 30 . . .
DISTRIBUSI II
- 26 -
Pasal 30
Pemerintah kabupaten/kota mengarahkan, membimbing,
menyupervisi, mengawasi, mengoordinasi, memantau,
mengevaluasi, dan mengendalikan penyelenggara,
satuan, jalur, jenjang, dan jenis pendidikan di
kabupaten/kota yang bersangkutan sesuai kebijakan
daerah bidang pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 28.
Pasal 31
(1) Bupati/walikota menetapkan target tingkat
partisipasi pendidikan pada semua jenjang dan
jenis pendidikan yang harus dicapai pada tingkat
kabupaten/kota.
(2) Target tingkat partisipasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui jalur
pendidikan formal dan nonformal.
(3) Dalam memenuhi target tingkat partisipasi
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintah kabupaten/kota mengutamakan
perluasan dan pemerataan akses pendidikan
melalui jalur pendidikan formal.
Pasal 32
(1) Bupati/walikota menetapkan target tingkat
pemerataan partisipasi pendidikan pada tingkat
kabupaten/kota yang meliputi:
a. antarkecamatan atau sebutan lain yang
sejenis;
b. antardesa/kelurahan atau sebutan lain yang
sejenis; dan
c. antara laki-laki dan perempuan.
(2) Bupati . . .
DISTRIBUSI II
- 27 -
(2) Bupati/walikota menetapkan kebijakan untuk
menjamin peserta didik memperoleh akses
pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang
tua/walinya tidak mampu membiayai pendidikan,
peserta didik pendidikan khusus, dan/atau peserta
didik di daerah khusus.
Pasal 33
Bupati/walikota melaksanakan dan mengoordinasikan
pelaksanaan standar pelayanan minimal bidang
pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 34
(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan dan/atau
memfasilitasi penjaminan mutu pendidikan di
daerahnya dengan berpedoman pada kebijakan
nasional pendidikan, kebijakan provinsi bidang
pendidikan, dan Standar Nasional Pendidikan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), pemerintah
kabupaten/kota berkoordinasi dengan unit
pelaksana teknis Pemerintah yang melaksanakan
tugas penjaminan mutu pendidikan.
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
kabupaten/kota memfasilitasi:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
Pasal 35 . . .
DISTRIBUSI II
- 28 -
Pasal 35
(1) Pemerintah kabupaten/kota mengakui,
memfasilitasi, membina, dan melindungi program
dan/atau satuan pendidikan bertaraf internasional
dan/atau berbasis keunggulan lokal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan
dan/atau memfasilitasi perintisan program
dan/atau satuan pendidikan yang sudah atau
hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan
untuk dikembangkan menjadi program dan/atau
satuan pendidikan bertaraf internasional dan/atau
berbasis keunggulan lokal.
(3) Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi
akreditasi internasional program dan/atau satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi
sertifikasi internasional pada program dan/atau
satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 36
(1) Pemerintah kabupaten/kota melakukan pembinaan
berkelanjutan kepada peserta didik di daerahnya
yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mencapai prestasi puncak di
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga pada tingkat satuan pendidikan,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional,
dan internasional.
(2) Untuk . . .
DISTRIBUSI II
- 29 -
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang
kondusif bagi pencapaian prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintah
kabupaten/kota menyelenggarakan dan/atau
memfasilitasi secara teratur dan berjenjang
kompetisi di bidang:
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Pemerintah kabupaten/kota memberikan
penghargaan kepada peserta didik yang meraih
prestasi puncak sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitasi
kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Bupati/Walikota.
Pasal 37
Bupati/walikota menetapkan kebijakan tata kelola
pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan
pedoman bagi:
a. semua jajaran pemerintah kabupaten/kota;
b. penyelenggara pendidikan yang didirikan masyarakat
di kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. satuan atau program pendidikan di kabupaten/kota
yang bersangkutan;
d. dewan pendidikan di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
e. komite . . .
DISTRIBUSI II
- 30 -
e. komite sekolah atau nama lain yang sejenis di
kabupaten/kota yang bersangkutan;
f. peserta didik di kabupaten/kota yang bersangkutan;
g. orang tua/wali peserta didik di kabupaten/kota yang
bersangkutan;
h. pendidik dan tenaga kependidikan di kabupaten/
kota yang bersangkutan;
i. masyarakat di kabupaten/kota yang bersangkutan;
dan
j. pihak lain yang terkait dengan pendidikan di
kabupaten/kota yang bersangkutan.
Pasal 38
(1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem
pendidikan nasional di daerah, pemerintah
kabupaten/kota mengembangkan dan
melaksanakan sistem informasi pendidikan
kabupaten/kota berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
(2) Sistem informasi pendidikan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
subsistem dari sistem informasi pendidikan
nasional.
(3) Sistem informasi pendidikan kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
memberikan akses informasi administrasi
pendidikan dan akses sumber pembelajaran
kepada satuan pendidikan pada semua jenjang,
jenis, dan jalur pendidikan sesuai kewenangan
pemerintah kabupaten/kota.
Bagian Kelima . . .
DISTRIBUSI II
- 31 -
Bagian Kelima
Pengelolaan Pendidikan oleh Penyelenggara Satuan Pendidikan
yang didirikan Masyarakat
Pasal 39
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat bertanggung jawab mengelola sistem
pendidikan nasional serta merumuskan dan menetapkan
kebijakan pendidikan pada tingkat penyelenggara satuan.
Pasal 40
(1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39 merupakan penjabaran dari
kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 17, dan Pasal 28, serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dituangkan dalam peraturan penyelenggara
satuan pendidikan yang didirikan masyarakat.
(3) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) merupakan pedoman bagi:
a. penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat yang bersangkutan;
b. satuan atau program pendidikan yang terkait;
c. lembaga representasi pemangku kepentingan
satuan atau program pendidikan yang terkait;
d. peserta didik di satuan atau program
pendidikan yang terkait;
e. orang tua/wali peserta didik di satuan atau
program pendidikan yang terkait;
f. pendidik . . .
DISTRIBUSI II
- 32 -
f. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan
atau program pendidikan yang terkait; dan
g. pihak lain yang terikat dengan satuan atau
program pendidikan yang terkait.
(4) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat mengalokasikan anggaran pendidikan
agar sistem pendidikan nasional pada tingkat
satuan atau program pendidikan yang terkait dapat
dilaksanakan secara efektif, efisien, dan akuntabel.
Pasal 41
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat mengarahkan, membimbing, menyupervisi,
mengawasi, mengoordinasi, memantau, mengevaluasi,
dan mengendalikan satuan atau program pendidikan
yang terkait sesuai dengan kebijakan pendidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 17,
Pasal 28, dan/atau Pasal 39, serta sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat menetapkan kebijakan untuk menjamin
peserta didik memperoleh akses pelayanan pendidikan,
bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak mampu
membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus,
atau peserta didik di daerah khusus.
Pasal 43
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat menjamin pelaksanaan standar pelayanan
minimal pendidikan pada satuan atau program
pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 44 . . .
DISTRIBUSI II
- 33 -
Pasal 44
(1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat melakukan dan/atau memfasilitasi
penjaminan mutu pendidikan di satuan atau
program pendidikan dengan berpedoman pada
kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 17, Pasal 28, dan/atau Pasal
39, serta Standar Nasional Pendidikan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan masyarakat
menyelenggarakan satuan dan/atau program
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar
dan/atau pendidikan menengah bekerja sama
dengan unit pelaksana teknis Pemerintah yang
melaksanakan tugas penjaminan mutu pendidikan.
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat memfasilitasi:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
Pasal 45
(1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat memfasilitasi, membina, dan
melindungi satuan atau program pendidikan yang
bertaraf internasional dan/atau berbasis
keunggulan lokal sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Penyelenggara . . .
DISTRIBUSI II
- 34 -
(2) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat melaksanakan dan/atau memfasilitasi
perintisan satuan atau program pendidikan yang
sudah atau hampir memenuhi Standar Nasional
Pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan
atau program pendidikan bertaraf internasional
dan/atau berbasis keunggulan lokal.
(3) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat memfasilitasi akreditasi internasional
satuan atau program pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat memfasilitasi sertifikasi internasional
pada satuan atau program pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 46
(1) Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat memfasilitasi pembinaan berkelanjutan
kepada peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk
mencapai prestasi puncak di bidang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga
pada tingkat satuan pendidikan, kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi, nasional, dan
internasional.
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang
kondusif bagi pencapaian prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat menyelenggarakan dan/atau
memfasilitasi secara teratur kompetisi di satuan
atau program pendidikan dalam bidang:
a. ilmu . . .
DISTRIBUSI II
- 35 -
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
pembinaan berkelanjutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta penyelenggaraan dan fasilitasi
kompetisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan peraturan penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan masyarakat.
Pasal 47
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat menetapkan kebijakan tata kelola
pendidikan untuk menjamin efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas pengelolaan pendidikan yang merupakan
pedoman bagi:
a. penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat yang bersangkutan;
b. satuan dan/atau program pendidikan;
c. lembaga representasi pemangku kepentingan
pendidikan pada satuan dan/atau program
pendidikan;
d. peserta didik satuan dan/atau program pendidikan;
e. orang tua/wali peserta didik di satuan dan/atau
program pendidikan;
f. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan
dan/atau program pendidikan; dan
g. pihak lain yang terikat dengan satuan atau program
pendidikan.
Pasal 48 . . .
DISTRIBUSI II
- 36 -
Pasal 48
(1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola sistem
pendidikan nasional di satuan atau program
pendidikan, penyelenggara satuan pendidikan yang
didirikan masyarakat mengembangkan dan
melaksanakan sistem informasi pendidikan
penyelenggara atau satuan pendidikan yang
didirikan masyarakat berbasis teknologi informasi
dan komunikasi.
(2) Sistem informasi pendidikan penyelenggara atau
satuan pendidikan yang didirikan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
subsistem dari sistem informasi pendidikan
nasional.
(3) Sistem informasi pendidikan penyelenggara satuan
pendidikan yang didirikan masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
memberikan akses informasi administrasi
pendidikan dan akses sumber pembelajaran kepada
satuan dan/atau program pendidikan.
Bagian Keenam
Pengelolaan Pendidikan oleh Satuan atau Program Pendidikan
Pasal 49
(1) Pengelolaan satuan atau program pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilaksanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen
berbasis sekolah/madrasah.
(2) Pengelolaan . . .
DISTRIBUSI II
- 37 -
(2) Pengelolaan satuan atau program pendidikan tinggi
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi,
akuntabilitas, jaminan mutu, dan evaluasi yang
transparan.
Pasal 50
Satuan atau program pendidikan wajib bertanggung
jawab mengelola sistem pendidikan nasional di satuan
atau program pendidikannya serta merumuskan dan
menetapkan kebijakan pendidikan sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 51
(1) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 50 merupakan penjabaran dari kebijakan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
Pasal 17, Pasal 28, dan/atau Pasal 39, serta sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) oleh satuan pendidikan anak usia dini,
satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan
menengah dituangkan dalam:
a. rencana kerja tahunan satuan pendidikan;
b. anggaran pendapatan dan belanja tahunan
satuan pendidikan; dan
c. peraturan satuan atau program pendidikan.
(3) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), oleh perguruan tinggi dituangkan dalam:
a. rencana pembangunan jangka panjang
perguruan tinggi;
b. rencana strategis perguruan tinggi;
c. rencana kerja tahunan perguruan tinggi;
d. anggaran . . .
DISTRIBUSI II
- 38 -
d. anggaran pendapatan dan belanja tahunan
perguruan tinggi;
e. peraturan pemimpin perguruan tinggi; dan
f. peraturan pimpinan perguruan tinggi lain.
(4) Kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) mengikat bagi:
a. satuan atau program pendidikan yang
bersangkutan;
b. lembaga representasi pemangku kepentingan
satuan atau program pendidikan yang
bersangkutan;
c. peserta didik di satuan atau program
pendidikan yang bersangkutan;
d. orang tua/wali peserta didik di satuan atau
program pendidikan yang bersangkutan;
e. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan
atau program pendidikan yang bersangkutan;
dan
f. pihak lain yang terikat dengan satuan atau
program pendidikan yang bersangkutan.
(5) Kebijakan satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) merupakan penjabaran dan
selaras dengan:
a. kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5;
b. kebijakan pemerintah provinsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17;
c. kebijakan pemerintah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan
d. kebijakan . . .
DISTRIBUSI II
- 39 -
d. kebijakan penyelenggara pendidikan yang
didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39.
(6) Kebijakan perguruan tinggi sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) merupakan penjabaran dan selaras
dengan:
a. kebijakan Pemerintah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5; dan
b. kebijakan penyelenggara pendidikan yang
didirikan masyarakat sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 39.
(7) Satuan atau program pendidikan mengalokasikan
anggaran pendidikan agar sistem pendidikan
nasional di satuan dan/atau program pendidikan
yang bersangkutan dapat dilaksanakan secara
efektif, efisien, dan akuntabel.
Pasal 52
Satuan atau program pendidikan mengelola pendidikan
sesuai dengan kebijakan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 17, Pasal 28, dan/atau
Pasal 39, serta sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 53
Satuan atau program pendidikan sesuai dengan
kewenangannya wajib menetapkan kebijakan untuk
menjamin peserta didik memperoleh akses pelayanan
pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya
tidak mampu membiayai pendidikan, peserta didik
pendidikan khusus, dan/atau peserta didik di daerah
khusus.
Pasal 54 . . .
DISTRIBUSI II
- 40 -
Pasal 54
Satuan atau program pendidikan wajib menjamin
terpenuhinya standar pelayanan minimal bidang
pendidikan.
Pasal 55
(1) Satuan atau program pendidikan wajib melakukan
penjaminan mutu pendidikan dengan berpedoman
pada kebijakan pendidikan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5, Pasal 17, Pasal 28, dan/atau Pasal
39, serta Standar Nasional Pendidikan.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), satuan atau program
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, atau
pendidikan menengah bekerja sama dengan unit
pelaksana teknis Pemerintah yang melaksanakan
tugas penjaminan mutu pendidikan.
(3) Dalam rangka penjaminan mutu pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), satuan atau
program pendidikan, sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, mengikuti:
a. akreditasi program pendidikan;
b. akreditasi satuan pendidikan;
c. sertifikasi kompetensi peserta didik;
d. sertifikasi kompetensi pendidik; dan/atau
e. sertifikasi kompetensi tenaga kependidikan.
Pasal 56
(1) Satuan atau program pendidikan yang telah atau
hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan
dapat merintis dirinya untuk dikembangkan
menjadi satuan atau program pendidikan bertaraf
internasional dan/atau berbasis keunggulan lokal.
(2) Satuan . . .
DISTRIBUSI II
- 41 -
(2) Satuan atau program pendidikan yang telah atau
hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan
dapat mengikuti akreditasi dan/atau sertifikasi
internasional satuan atau program pendidikan.
Pasal 57
(1) Satuan atau program pendidikan wajib melakukan
pembinaan berkelanjutan kepada peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa untuk mencapai prestasi puncak di
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau
olahraga pada tingkat satuan pendidikan,
kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, nasional,
dan internasional.
(2) Untuk menumbuhkan iklim kompetitif yang
kondusif bagi pencapaian prestasi puncak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) satuan
dan/atau program pendidikan melakukan secara
teratur kompetisi di satuan atau program
pendidikan dalam bidang:
a. ilmu pengetahuan;
b. teknologi;
c. seni; dan/atau
d. olahraga.
(3) Satuan atau program pendidikan memberikan
penghargaan kepada peserta didik yang meraih
prestasi puncak sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
peraturan satuan atau program pendidikan.
Pasal 58 . . .
DISTRIBUSI II
- 42 -
Pasal 58
Satuan atau program pendidikan wajib menetapkan
kebijakan tata kelola pendidikan untuk menjamin
efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan
pendidikan yang mengikat:
a. satuan atau program pendidikan yang bersangkutan;
b. lembaga representasi pemangku kepentingan
pendidikan pada satuan atau program pendidikan
yang bersangkutan;
c. peserta didik satuan atau program pendidikan yang
bersangkutan;
d. orang tua/wali peserta didik di satuan atau program
pendidikan yang bersangkutan;
e. pendidik dan tenaga kependidikan di satuan atau
program pendidikan yang bersangkutan; dan
f. pihak lain yang terikat dengan satuan atau program
pendidikan yang bersangkutan.
Pasal 59
(1) Dalam menyelenggarakan dan mengelola
pendidikan, satuan dan/atau program pendidikan
mengembangkan dan melaksanakan sistem
informasi pendidikan berbasis teknologi informasi
dan komunikasi.
(2) Sistem informasi pendidikan satuan atau program
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan subsistem dari sistem informasi
pendidikan nasional.
(3) Sistem informasi pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) memberikan
akses informasi administrasi pendidikan dan akses
sumber pembelajaran kepada pendidik, tenaga
kependidikan, dan peserta didik.
BAB III . . .
DISTRIBUSI II
- 43 -
BAB III
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN FORMAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 60
Penyelenggaraan pendidikan formal meliputi:
a. pendidikan anak usia dini;
b. pendidikan dasar;
c. pendidikan menengah; dan
d. pendidikan tinggi.
Bagian Kedua
Pendidikan Anak Usia Dini
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 61
(1) Pendidikan anak usia dini berfungsi membina,
menumbuhkan, dan mengembangkan seluruh
potensi anak usia dini secara optimal sehingga
terbentuk perilaku dan kemampuan dasar sesuai
dengan tahap perkembangannya agar memiliki
kesiapan untuk memasuki pendidikan selanjutnya.
(2) Pendidikan anak usia dini bertujuan:
a. membangun landasan bagi berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian
luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab; dan
b. mengembangkan . . .
DISTRIBUSI II
- 44 -
b. mengembangkan potensi kecerdasan spiritual,
intelektual, emosional, kinestetis, dan sosial
peserta didik pada masa emas pertumbuhannya
dalam lingkungan bermain yang edukatif dan
menyenangkan.
Paragraf 2
Bentuk dan Jenis Satuan Pendidikan
Pasal 62
(1) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
formal berbentuk TK, RA, atau bentuk lain yang
sederajat.
(2) TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki
program pembelajaran 1 (satu) tahun atau 2 (dua)
tahun.
(3) TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
diselenggarakan menyatu dengan SD, MI, atau
bentuk lain yang sederajat.
Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 63
Peserta didik TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
berusia 4 (empat) tahun sampai dengan 6 (enam) tahun.
Pasal 64
(1) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
anak usia dini dilakukan secara objektif,
transparan, dan akuntabel.
(2) Penerimaan . . .
DISTRIBUSI II
- 45 -
(2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
anak usia dini dilakukan tanpa diskriminasi kecuali
bagi satuan pendidikan yang secara khusus
dirancang untuk melayani peserta didik dari
kelompok gender atau agama tertentu.
(3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi
peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat
dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan
pendidikan.
Pasal 65
(1) Satuan pendidikan anak usia dini dapat menerima
peserta didik pindahan dari satuan pendidikan
anak usia dini lain.
(2) Syarat-syarat dan tatacara penerimaan peserta
didik pindahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan.
Paragraf 4
Program Pembelajaran
Pasal 66
(1) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain
yang sederajat dikembangkan untuk
mempersiapkan peserta didik memasuki SD, MI,
atau bentuk lain yang sederajat.
(2) Program pembelajaran TK, RA, dan bentuk lain
yang sederajat dilaksanakan dalam konteks
bermain yang dapat dikelompokan menjadi:
a. bermain dalam rangka pembelajaran agama dan
akhlak mulia;
b. bermain dalam rangka pembelajaran sosial dan
kepribadian;
c. bermain . . .
DISTRIBUSI II
- 46 -
c. bermain dalam rangka pembelajaran orientasi
dan pengenalan pengetahuan dan teknologi;
d. bermain dalam rangka pembelajaran estetika;
dan
e. bermain dalam rangka pembelajaran jasmani,
olahraga, dan kesehatan.
(3) Semua permainan pembelajaran sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dirancang dan
diselenggarakan:
a. secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dan mendorong kreativitas serta
kemandirian;
b. sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental anak serta kebutuhan
dan kepentingan terbaik anak;
c. dengan memperhatikan perbedaan bakat,
minat, dan kemampuan masing-masing anak;
d. dengan mengintegrasikan kebutuhan anak
terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi
psikososial; dan
e. dengan memperhatikan latar belakang ekonomi,
sosial, dan budaya anak.
Bagian Ketiga
Pendidikan Dasar
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 67
(1) Pendidikan pada SD/MI atau bentuk lain yang
sederajat berfungsi:
a. menanamkan . . .
DISTRIBUSI II
- 47 -
a. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai
keimanan, akhlak mulia, dan kepribadian
luhur;
b. menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai
kebangsaan dan cinta tanah air;
c. memberikan dasar-dasar kemampuan
intelektual dalam bentuk kemampuan dan
kecakapan membaca, menulis, dan berhitung;
d. memberikan pengenalan ilmu pengetahuan dan
teknologi;
e. melatih dan merangsang kepekaan dan
kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan
harmoni;
f. menumbuhkan minat pada olahraga,
kesehatan, dan kebugaran jasmani; dan
g. mengembangkan kesiapan fisik dan mental
untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs
atau bentuk lain yang sederajat.
(2) Pendidikan pada SMP/MTs atau bentuk lain yang
sederajat berfungsi:
a. mengembangkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai keimanan, akhlak
mulia, dan kepribadian luhur yang telah
dikenalinya;
b. mengembangkan, menghayati, dan
mengamalkan nilai-nilai kebangsaan dan cinta
tanah air yang telah dikenalinya;
c. mempelajari dasar-dasar ilmu pengetahuan dan
teknologi;
d. melatih . . .
DISTRIBUSI II
- 48 -
d. melatih dan mengembangkan kepekaan dan
kemampuan mengapresiasi serta
mengekspresikan keindahan, kehalusan, dan
harmoni;
e. mengembangkan bakat dan kemampuan di
bidang olahraga, baik untuk kesehatan dan
kebugaran jasmani maupun prestasi; dan
f. mengembangkan kesiapan fisik dan mental
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
pendidikan menengah dan/atau untuk hidup
mandiri di masyarakat.
(3) Pendidikan dasar bertujuan membangun landasan
bagi berkembangnya potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur;
b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d. toleran, peka sosial, demokratis, dan
bertanggung jawab.
Paragraf 2
Bentuk Satuan Pendidikan
Pasal 68
(1) SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat terdiri
atas 6 (enam) tingkatan kelas, yaitu kelas 1 (satu),
kelas 2 (dua), kelas 3 (tiga), kelas 4 (empat),
kelas 5 (lima), dan kelas 6 (enam).
(2) SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat terdiri
atas 3 (tiga) tingkatan kelas, yaitu kelas 7 (tujuh),
kelas 8 (delapan), dan kelas 9 (sembilan).
Paragraf 3 . . .
DISTRIBUSI II
- 49 -
Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 69
(1) Peserta didik pada SD/MI atau bentuk lain yang
sederajat paling rendah berusia 6 (enam) tahun.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan pada ayat (1)
dapat dilakukan atas dasar rekomendasi tertulis
dari psikolog profesional.
(3) Dalam hal tidak ada psikolog profesional,
rekomendasi dapat dilakukan oleh dewan guru
satuan pendidikan yang bersangkutan, sampai
dengan batas daya tampungnya.
(4) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib
menerima warga negara berusia 7 (tujuh) tahun
sampai dengan 12 (dua belas) tahun sebagai
peserta didik sampai dengan batas daya
tampungnya.
(5) Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau
bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada
hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan
berhitung, atau bentuk tes lain.
(6) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat wajib
menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.
Pasal 70
(1) Dalam hal jumlah calon peserta didik melebihi daya
tampung satuan pendidikan, maka pemilihan
peserta didik pada SD/MI berdasarkan pada usia
calon peserta didik dengan prioritas dari yang
paling tua.
(2) Jika . . .
DISTRIBUSI II
- 50 -
(2) Jika usia calon peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sama, maka penentuan
peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal
calon peserta didik yang paling dekat dengan
satuan pendidikan.
(3) Jika usia dan/atau jarak tempat tinggal calon
peserta didik dengan satuan pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih
awal diprioritaskan.
Pasal 71
(1) Peserta didik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang
sederajat sudah menyelesaikan pendidikannya
pada SD, MI, Paket A, atau bentuk lain yang
sederajat.
(2) SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat wajib
menerima warga negara berusia 13 (tiga belas)
tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun sebagai
peserta didik sampai dengan batas daya
tampungnya.
(3) SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat wajib
menyediakan akses bagi peserta didik berkelainan.
Pasal 72
(1) SD/MI dan SMP/MTs yang memiliki jumlah calon
peserta didik melebihi daya tampung wajib
melaporkan kelebihan calon peserta didik tersebut
kepada pemerintah kabupaten/kota yang
bersangkutan.
(2) Pemerintah kabupaten/kota wajib menyalurkan
kelebihan calon peserta didik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) pada satuan pendidikan
dasar lain.
Pasal 73 . . .
DISTRIBUSI II
- 51 -
Pasal 73
(1) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat
diterima di SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat
tidak pada awal kelas 1 (satu) setelah lulus tes
kelayakan dan penempatan yang diselenggarakan
oleh satuan pendidikan formal yang bersangkutan.
(2) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat
diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang
sederajat sejak awal kelas 7 (tujuh) setelah lulus
ujian kesetaraan Paket A.
(3) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat
diterima di SMP, MTs, atau bentuk lain yang
sederajat tidak pada awal kelas 7 (tujuh) setelah
memenuhi persyaratan:
a. lulus ujian kesetaraan Paket A; dan
b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal
yang bersangkutan.
(4) Peserta didik pendidikan dasar setara SD di negara
lain dapat pindah ke SD, MI, atau bentuk lain yang
sederajat di Indonesia setelah memenuhi
persyaratan lulus tes kelayakan dan penempatan
yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(5) Peserta didik pendidikan dasar setara SMP di
negara lain dapat pindah ke SMP, MTs, atau bentuk
lain yang sederajat di Indonesia setelah memenuhi
persyaratan:
a. menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang
membuktikan bahwa yang bersangkutan telah
menyelesaikan pendidikan dasar setara SD; dan
b. lulus . . .
DISTRIBUSI II
- 52 -
b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan.
(6) Peserta didik pendidikan dasar setara SD yang
mengikuti sistem dan/atau standar pendidikan
negara lain dapat diterima di SMP, MTs, atau
bentuk lain yang sederajat pada awal tahun kelas 7
(tujuh) setelah memenuhi persyaratan:
a. lulus ujian kesetaraan Paket A; atau
b. dapat menunjukkan ijazah atau dokumen lain
yang membuktikan bahwa yang bersangkutan
telah menyelesaikan pendidikan dasar yang
memberikan kompetensi lulusan setara SD.
(7) SD, MI, SMP, MTs, atau bentuk lain yang sederajat
memberikan bantuan penyesuaian akademik,
sosial, dan/atau mental yang diperlukan oleh
peserta didik berkelainan dan peserta didik
pindahan dari satuan pendidikan formal lain atau
jalur pendidikan lain.
(8) Menteri dapat membatalkan keputusan satuan
pendidikan tentang pemenuhan persyaratan pada
pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) sampai dengan ayat (6) apabila setelah
dilakukan pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal
Kementerian atas instruksi Menteri terbukti bahwa
keputusan tersebut melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak benar, dan/atau tidak
jujur.
Pasal 74
(1) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
dasar dilakukan secara objektif, transparan, dan
akuntabel.
(2) Penerimaan . . .
DISTRIBUSI II
- 53 -
(2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
dasar dilakukan tanpa diskriminasi kecuali bagi
satuan pendidikan yang secara khusus dirancang
untuk melayani peserta didik dari kelompok gender
atau agama tertentu.
(3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi
peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat
dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan
pendidikan.
(4) Seleksi penerimaan peserta didik baru di
kelas 7 (tujuh) pada satuan pendidikan dasar
setingkat SMP didasarkan pada hasil ujian akhir
sekolah berstandar nasional, kecuali bagi peserta
didik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73
ayat (2) dan ayat (6).
(5) Di samping memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat
melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi
penerimaan peserta didik baru di kelas 7 (tujuh).
Pasal 75
(1) Satuan pendidikan dasar dapat menerima peserta
didik pindahan dari satuan pendidikan dasar lain.
(2) Satuan pendidikan dapat menetapkan tata cara
dan persyaratan tambahan penerimaan peserta
didik pindahan selain persyaratan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 73 dan Pasal 74 dan tidak
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Keempat . . .
DISTRIBUSI II
- 54 -
Bagian Keempat
Pendidikan Menengah
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 76
(1) Pendidikan menengah umum berfungsi:
a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air;
c. mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan
mengapresiasi serta mengekspresikan
keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang
olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran
jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan
tinggi dan/atau untuk hidup mandiri di
masyarakat.
(2) Pendidikan menengah kejuruan berfungsi:
a. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai keimanan, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur;
b. meningkatkan, menghayati, dan mengamalkan
nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air;
c. membekali . . .
DISTRIBUSI II
- 55 -
c. membekali peserta didik dengan kemampuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta
kecakapan kejuruan para profesi sesuai
dengan kebutuhan masyarakat;
d. meningkatkan kepekaan dan kemampuan
mengapresiasi serta mengekspresikan
keindahan, kehalusan, dan harmoni;
e. menyalurkan bakat dan kemampuan di bidang
olahraga, baik untuk kesehatan dan kebugaran
jasmani maupun prestasi; dan
f. meningkatkan kesiapan fisik dan mental untuk
hidup mandiri di masyarakat dan/atau
melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan
tinggi.
Pasal 77
Pendidikan menengah bertujuan membentuk peserta
didik menjadi insan yang:
a. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, dan berkepribadian luhur;
b. berilmu, cakap, kritis, kreatif, dan inovatif;
c. sehat, mandiri, dan percaya diri; dan
d. toleran, peka sosial, demokratis, dan bertanggung
jawab.
Paragraf 2
Bentuk Satuan Pendidikan
Pasal 78
(1) Pendidikan menengah berbentuk SMA, MA, SMK,
dan MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
(2) SMA . . .
DISTRIBUSI II
- 56 -
(2) SMA dan MA terdiri atas 3 (tiga) tingkatan kelas,
yaitu kelas 10 (sepuluh), kelas 11 (sebelas), dan
kelas 12 (dua belas).
(3) SMK dan MAK dapat terdiri atas 3 (tiga) tingkatan
kelas, yaitu kelas 10 (sepuluh), kelas 11 (sebelas),
dan kelas 12 (dua belas), atau terdiri atas 4 (empat)
tingkatan kelas yaitu kelas 10 (sepuluh),
kelas 11 (sebelas), kelas 12 (dua belas), dan
kelas 13 (tiga belas) sesuai dengan tuntutan dunia
kerja.
Pasal 79
(1) Penjurusan pada SMA, MA, atau bentuk lain yang
sederajat berbentuk program studi yang
memfasilitasi kebutuhan pembelajaran serta
kompetensi yang diperlukan peserta didik untuk
melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan
tinggi.
(2) Program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas:
a. program studi ilmu pengetahuan alam;
b. program studi ilmu pengetahuan sosial;
c. program studi bahasa;
d. program studi keagamaan; dan
e. program studi lain yang diperlukan
masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan dan
program studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 80
(1) Penjurusan pada SMK, MAK, atau bentuk lain yang
sederajat berbentuk bidang studi keahlian.
(2) Setiap . . .
DISTRIBUSI II
- 57 -
(2) Setiap bidang studi keahlian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat terdiri atas 1 (satu)
atau lebih program studi keahlian.
(3) Setiap program studi keahlian sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dapat terdiri atas 1 (satu)
atau lebih kompetensi keahlian.
(4) Bidang studi keahlian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) terdiri atas:
a. bidang studi keahlian teknologi dan rekayasa;
b. bidang studi keahlian kesehatan;
c. bidang studi keahlian seni, kerajinan, dan
pariwisata;
d. bidang studi keahlian teknologi informasi dan
komunikasi;
e. bidang studi keahlian agribisnis dan
agroteknologi;
f. bidang studi keahlian bisnis dan manajemen;
dan
g. bidang studi keahlian lain yang diperlukan
masyarakat.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penjurusan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (4) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 3
Penerimaan Peserta Didik
Pasal 81
(1) Peserta didik pada SMA, MA, SMK, MAK, atau
bentuk lain yang sederajat harus menyelesaikan
pendidikannya pada SMP, MTs, Paket B, atau
bentuk lain yang sederajat.
(2) Peserta . . .
DISTRIBUSI II
- 58 -
(2) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat
diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain
yang sederajat sejak awal kelas 10 (sepuluh) setelah
lulus ujian kesetaraan Paket B.
(3) Peserta didik jalur nonformal dan informal dapat
diterima di SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain
yang sederajat sesudah awal kelas 10 (sepuluh)
setelah:
a. lulus ujian kesetaraan Paket B; dan
b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan formal
yang bersangkutan.
(4) Peserta didik pendidikan dasar setara SMP yang
mengikuti sistem dan/atau standar pendidikan
negara lain dapat diterima di SMA, MA, SMK, MAK,
atau bentuk lain yang sederajat pada awal tahun
kelas 10 (sepuluh) setelah:
a. lulus ujian kesetaraan Paket B; atau
b. dapat menunjukkan ijazah atau dokumen lain
yang membuktikan bahwa yang bersangkutan
telah menyelesaikan pendidikan dasar yang
memberikan kompetensi lulusan setara SMP.
(5) Peserta didik pendidikan menengah setara SMA
atau SMK di negara lain dapat pindah ke SMA, MA,
SMK, MAK, atau bentuk lain yang sederajat di
Indonesia dengan syarat:
a. menunjukkan ijazah atau dokumen lain yang
membuktikan bahwa yang bersangkutan telah
menyelesaikan pendidikan dasar setara SMP;
dan
b. lulus tes kelayakan dan penempatan yang
diselenggarakan oleh satuan pendidikan
bersangkutan.
(6) SMA . . .
DISTRIBUSI II
- 59 -
(6) SMA, MA, SMK, MAK atau bentuk lain yang
sederajat wajib menyediakan akses bagi peserta
didik berkelainan.
(7) Satuan pendidikan SMA, MA, SMK, MAK, atau
bentuk lain yang sederajat memberikan bantuan
penyesuaian akademik, sosial, dan/atau mental
yang diperlukan oleh peserta didik berkelainan dan
peserta didik pindahan dari satuan pendidikan
formal lain atau jalur pendidikan lain.
(8) Menteri dapat membatalkan keputusan satuan
pendidikan tentang pemenuhan persyaratan pada
SMA, MA, SMK, MAK, atau bentuk lain yang
sederajat sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
sampai dengan ayat (6) apabila setelah dilakukan
pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian
atas instruksi Menteri terbukti bahwa keputusan
tersebut melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan, tidak benar, dan/atau tidak
jujur.
Pasal 82
(1) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
menengah dilakukan secara objektif, transparan,
dan akuntabel.
(2) Penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan
menengah dilakukan tanpa diskriminasi kecuali
bagi satuan pendidikan yang secara khusus
dirancang untuk melayani peserta didik dari
kelompok gender atau agama tertentu.
(3) Keputusan penerimaan calon peserta didik menjadi
peserta didik dilakukan secara mandiri oleh rapat
dewan guru yang dipimpin oleh kepala satuan
pendidikan.
(4) Seleksi . . .
DISTRIBUSI II
- 60 -
(4) Seleksi penerimaan peserta didik baru di
kelas 10 (sepuluh) pada satuan pendidikan
menengah didasarkan pada hasil Ujian Nasional,
kecuali bagi peserta didik sebagaimana dimaksud
pada Pasal 81 ayat (2), ayat (4), dan ayat (5).
(5) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), satuan pendidikan dapat
melakukan tes bakat skolastik untuk seleksi
penerimaan peserta didik baru di
kelas 10 (sepuluh).
(6) Penerimaan peserta didik baru dapat dilaksanakan
pada setiap semester bagi satuan pendidikan yang
menyelenggarakan sistem kredit semester.
Pasal 83
(1) Peserta didik satuan pendidikan menengah dapat
pindah ke:
a. jurusan yang sama pada satuan pendidikan
lain;
b. jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan
yang sama; atau
c. jurusan yang berbeda pada satuan pendidikan
lain.
(2) Satuan pendidikan dapat menetapkan tatacara dan
persyaratan tambahan selain persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 dan
Pasal 82 dan tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Bagian Kelima . . .
DISTRIBUSI II
- 61 -
Bagian Kelima
Pendidikan Tinggi
Paragraf 1
Fungsi dan Tujuan
Pasal 84
(1) Pendidikan tinggi berfungsi mengembangkan atau
membentuk kemampuan, watak, dan kepribadian
manusia melalui pelaksanaan:
a. dharma pendidikan untuk menguasai,
menerapkan, dan menyebarluaskan nilai-nilai
luhur, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
olahraga;
b. dharma penelitian untuk menemukan,
mengembangkan, mengadopsi, dan/atau
mengadaptasi nilai-nilai luhur, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan olahraga; dan
c. dharma pengabdian kepada masyarakat untuk
menerapkan nilai-nilai luhur, ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan olahraga
dalam rangka pemberdayaan masyarakat.
(2) Pendidikan tinggi bertujuan
a. membentuk insan yang:
1. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, dan
berkepribadian luhur;
2. sehat, berilmu, dan cakap;
3. kritis, kreatif, inovatif, mandiri, percaya diri
dan berjiwa wirausaha; serta
4. toleran, peka sosial dan lingkungan,
demokratis, dan bertanggung jawab.
b. menghasilkan . . .
DISTRIBUSI II
- 62 -
b. menghasilkan produk-produk ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, atau olahraga
yang memberikan kemaslahatan bagi
masyarakat, bangsa, negara, umat manusia,
dan lingkungan.
Paragraf 2
Jenis, Bentuk, dan Program Pendidikan
Pasal 85
(1) Pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan
pendidikan akademik, pendidikan profesi, dan/atau
pendidikan vokasi.
(2) Pendidikan tinggi dapat berbentuk akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut, atau universitas.
(3) Pendidikan tinggi dapat menyelenggarakan
program:
a. diploma pada pendidikan vokasi;
b. sarjana, sarjana dan magister, atau sarjana,
magister, dan doktor pada pendidikan
akademik; dan/atau
c. spesialis dan/atau profesi pada pendidikan
profesi.
Paragraf 3
Penerimaan Mahasiswa
Pasal 86
(1) Persyaratan untuk menjadi mahasiswa pada
program sarjana atau magister:
a. memiliki . . .
DISTRIBUSI II
- 63 -
a. memiliki ijazah atau surat keterangan lulus
pendidikan 1 (satu) jenjang atau tingkat
pendidikan di bawahnya atau memperoleh
pengakuan setingkat atas hasil prestasi belajar
melalui pengalaman; dan
b. memenuhi persyaratan masuk yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
(2) Persyaratan untuk menjadi mahasiswa pada
program doktor:
a. memiliki ijazah atau surat keterangan lulus
pendidikan 1 (satu) jenjang atau tingkat
pendidikan di bawahnya atau memperoleh
pengakuan setingkat atas hasil prestasi belajar
melalui pengalaman atau lulusan program
sarjana atau diploma empat yang memiliki
potensi kecerdasan dan bakat istimewa; dan
b. memenuhi persyaratan masuk yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
(3) Persyaratan untuk menjadi mahasiswa pada
program diploma:
a. memiliki ijazah atau surat keterangan lulus
pendidikan 1 (satu) jenjang atau tingkat
pendidikan di bawahnya atau memperoleh
pengakuan setingkat atas hasil prestasi belajar
melalui pengalaman; dan
b. memenuhi persyaratan masuk yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
(4) Persyaratan untuk menjadi mahasiswa pada
program spesialis dan profesi:
a. memiliki . . .
DISTRIBUSI II
- 64 -
a. memiliki ijazah atau surat keterangan lulus
program pendidikan sarjana atau diploma
empat atau memperoleh pengakuan setingkat
atas hasil prestasi belajar melalui pengalaman;
dan
b. memenuhi persyaratan masuk yang ditetapkan
oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.
Paragraf 4
Sistem Kredit Semester
Pasal 87
(1) Pendidikan tinggi diselenggarakan dengan
menerapkan sistem kredit semester yang bobot
belajarnya dinyatakan dalam satuan kredit
semester.
(2) Tahun akademik dibagi dalam 2 (dua) semester
yaitu semester gasal dan semester genap yang
masing-masing terdiri atas 14 (empat belas) sampai
dengan 16 (enam belas) minggu.
(3) Di antara semester genap dan semester gasal,
perguruan tinggi dapat menyelenggarakan semester
antara untuk remediasi, pengayaan, atau
percepatan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai semester antara
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 88
(1) Perguruan tinggi dapat melakukan pengalihan
kredit dengan cara mengakui hasil belajar yang
diperoleh mahasiswa pada perguruan tinggi lain
atau satuan/program pendidikan nonformal untuk
memenuhi persyaratan kelulusan program studi.
(2) Perguruan . . .
DISTRIBUSI II
- 65 -
(2) Perguruan tinggi dapat mengalihkan kredit dari
suatu program studi dengan cara mengakui hasil
belajar yang diperoleh pada program studi lain dari
perguruan tinggi yang sama.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kredit
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 5
Pengelolaan Pembelajaran di luar
Domisili Perguruan Tinggi
Pasal 89
(1) Pengelolaan pembelajaran pada perguruan tinggi
dapat diselenggarakan melalui program studi di
luar domisili perguruan tinggi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan
pembelajaran sebagaimana diatur pada ayat (1),
diatur dalam Peraturan Menteri.
Paragraf 6
Kerja Sama
Pasal 90
(1) Perguruan tinggi dapat melakukan kerja sama
akademik dan/atau non-akademik dengan
perguruan tinggi lain, dunia usaha, atau pihak
lain, baik dalam negeri maupun luar negeri.
(2) Kerja sama perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) bertujuan meningkatkan
efisiensi, efektivitas, produktivitas, kreativitas,
inovasi, mutu, dan relevansi pelaksanaan tri
dharma perguruan tinggi.
(3) Kerja . . .
DISTRIBUSI II
- 66 -
(3) Kerja sama perguruan tinggi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
prinsip:
a. mengutamakan kepentingan pembangunan
nasional;
b. menghargai kesetaran mutu;
c. saling menghormati;
d. menghasilkan peningkatan mutu pendidikan;
e. berkelanjutan; dan
f. mempertimbangkan keberagaman kultur yang
bersifat lintas daerah, nasional, dan/atau
internasional.
(4) Kerja sama akademik sebagaimana yang dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. pendidikan, penelitian, dan pengabdian
kepada masyarakat;
b. program kembaran;
c. pengalihan dan/atau pemerolehan kredit;
d. penugasan dosen senior sebagai pembina pada
perguruan tinggi yang membutuhkan
pembinaan;
e. pertukaran dosen dan/atau mahasiswa;
f. pemanfaatan bersama berbagai sumber daya;
g. pemagangan;
h. penerbitan terbitan berkala ilmiah;
i. penyelenggaraan seminar bersama; dan/atau
j. bentuk-bentuk lain yang dianggap perlu.
(5) Kerja sama non-akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berbentuk:
a. pendayagunaan aset;
b. usaha penggalangan dana;
c. jasa . . .
DISTRIBUSI II
- 67 -
c. jasa dan royalti hak kekayaan intelektual;
dan/atau
d. bentuk lain yang dianggap perlu.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Menteri.
Paragraf 7
Kebebasan Akademik dan Otonomi Keilmuan
Pasal 91
(1) Pimpinan perguruan tinggi wajib mengupayakan
dan menjamin agar setiap anggota sivitas
akademika melaksanakan kebebasan akademik
dan kebebasan mimbar akademik secara
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan, dan dilandasi
oleh etika dan norma/kaidah keilmuan.
(2) Dalam melaksanakan kebebasan akademik dan
kebebasan mimbar akademik, setiap anggota
sivitas akademika:
a. mengupayakan agar kegiatan dan hasilnya
dapat meningkatkan mutu akademik
perguruan tinggi yang bersangkutan;
b. mengupayakan agar kegiatan dan hasilnya
bermanfaat bagi masyarakat, bangsa, negara,
dan kemanusiaan;
c. bertanggung jawab secara pribadi atas
pelaksanaan dan hasilnya, serta akibatnya
pada diri sendiri atau orang lain;
d. melakukannya dengan cara yang tidak
bertentangan dengan nilai agama, nilai etika,
dan kaidah akademik; dan
e. tidak . . .
DISTRIBUSI II
- 68 -
e. tidak melanggar hukum dan tidak
mengganggu kepentingan umum.
(3) Kebebasan akademik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan dalam upaya mendalami,
menerapkan, dan mengembangkan ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga
melalui kegiatan pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat secara berkualitas
dan bertanggung jawab.
(4) Kebebasan mimbar akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan kebebasan
setiap anggota sivitas akademika dalam
menyebarluaskan hasil penelitian dan
menyampaikan pandangan akademik melalui
kegiatan perkuliahan, ujian sidang, seminar,
diskusi, simposium, ceramah, publikasi ilmiah, dan
pertemuan ilmiah lain yang sesuai dengan kaidah
keilmuan.
(5) Pelaksanaan kebebasan mimbar akademik
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan
ayat (4):
a. merupakan tanggung jawab setiap anggota
sivitas akademika yang terlibat;
b. menjadi tanggung jawab perguruan tinggi, atau
unit organisasi di dalam perguruan tinggi,
apabila perguruan tinggi atau unit organisasi
tersebut secara resmi terlibat dalam
pelaksanaannya; dan
c. sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, dan dilandasi etika dan
norma/kaidah keilmuan.
(6) Kebebasan . . .
DISTRIBUSI II
- 69 -
(6) Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik dimanfaatkan oleh perguruan tinggi
untuk:
a. melindungi dan mempertahankan hak
kekayaan intelektual;
b. melindungi dan mempertahankan kekayaan
dan keragaman alami, hayati, sosial, dan
budaya bangsa dan negara Indonesia;
c. menambah dan/atau meningkatkan mutu
kekayaan intelektual bangsa dan negara
Indonesia; dan
d. memperkuat daya saing bangsa dan negara
Indonesia.
(7) Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar
akademik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sampai dengan ayat (6) dilaksanakan sesuai
dengan otonomi perguruan tinggi.
Pasal 92
(1) Pimpinan perguruan tinggi wajib mengupayakan
dan menjamin agar setiap anggota sivitas
akademika melaksanakan otonomi keilmuan secara
bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan dan dilandasi
etika dan norma/kaidah keilmuan.
(2) Otonomi keilmuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kemandirian dan kebebasan
sivitas akademika suatu cabang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga yang melekat
pada kekhasan/keunikan cabang ilmu
pengetahuan, teknologi, seni, dan/atau olahraga
yang bersangkutan, dalam menemukan,
mengembangkan, mengungkapkan, dan/atau
mempertahankan kebenaran menurut kaidah
keilmuannya untuk menjamin keberlanjutan
perkembangan cabang ilmu pengetahuan,
teknologi, seni, dan/atau olahraga.
Paragraf 8 . . .
DISTRIBUSI II
- 70 -
Paragraf 8
Penelitian
Pasal 93
(1) Universitas, institut, dan sekolah tinggi wajib
melaksanakan penelitian dasar, penelitian terapan,
penelitian pengembangan, dan/atau penelitian
industri.
(2) Akademi dan politeknik wajib melaksanakan
penelitian terapan, penelitian pengembangan,
dan/atau penelitian industri.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dilaksanakan untuk:
a. mencari dan/atau menemukan kebaruan
kandungan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga; dan/atau
b. menguji ulang teori, konsep, prinsip, prosedur,
metode, dan/atau model yang sudah menjadi
kandungan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga.
(4) Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan oleh dosen
dan/atau mahasiswa dengan mematuhi
kaidah/norma dan etika akademik sesuai dengan
prinsip otonomi keilmuan.
(5) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
harus dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah
dalam negeri terakreditasi atau terbitan berkala
ilmiah internasional yang diakui Kementerian.
(6) Hasil penelitian dilakukan oleh dosen untuk
memenuhi dharma penelitian wajib diseminarkan
dan dipublikasikan pada terbitan berkala ilmiah
terakreditasi atau yang diakui Kementerian.
(7) Hasil . . .
DISTRIBUSI II
- 71 -
(7) Hasil penelitian perguruan tinggi diakui sebagai
penemuan baru setelah dimuat dalam terbitan
berkala ilmiah terakreditasi yang diakui
Kementerian dan/atau mendapatkan hak kekayaan
intelektual.
(8) Hasil penelitian perguruan tinggi yang
dilaksanakan oleh dosen dimanfaatkan untuk
memperkaya materi pembelajaran mata kuliah
yang relevan.
Pasal 94
(1) Perguruan tinggi, fakultas, lembaga penelitian,
program studi, pusat studi, atau lembaga sejenis
dapat menerbitkan terbitan berkala ilmiah.
(2) Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memuat artikel hasil penelitian.
(3) Penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat berupa hasil penelitian empirik atau hasil
penelitian teoretis.
(4) Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditulis dalam bahasa Indonesia
dan/atau bahasa resmi Perserikatan Bangsa-
Bangsa.
(5) Terbitan berkala ilmiah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diterbitkan secara tercetak dan secara
elektronik melalui jejaring teknologi informasi dan
komunikasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai terbitan berkala
ilmiah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 9 . . .
DISTRIBUSI II
- 72 -
Paragraf 9
Pengabdian kepada Masyarakat
Pasal 95
(1) Perguruan tinggi melaksanakan pengabdian kepada
masyarakat.
(2) Pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
oleh sivitas akademika secara individu dan
berkelompok untuk menerapkan hasil pendidikan
dan/atau hasil penelitian dalam upaya
pemberdayaan masyarakat, pengembangan
industri, jasa, dan wilayah serta menuju
pendidikan untuk perkembangan, pengembangan
dan/atau pembangunan berkelanjutan.
(3) Hasil pengabdian kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dimanfaatkan
untuk pengayaan pembelajaran dan penelitian.
(4) Pengabdian kepada masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3)
dilaksanakan sesuai dengan otonomi perguruan
tinggi.
Paragraf 10
Penjaminan Mutu Hasil Belajar
Pasal 96
(1) Perguruan tinggi melakukan penjaminan mutu
pendidikan sebagai pertanggungjawaban kepada
pemangku kepentingan.
(2) Pelaksanaan penjaminan mutu oleh perguruan
tinggi bertujuan untuk memenuhi dan/atau
melampaui Standar Nasional Pendidikan agar
mampu mengembangkan mutu pendidikan yang
berkelanjutan.
(3) Penjaminan . . .
DISTRIBUSI II
- 73 -
(3) Penjaminan mutu dilakukan secara internal oleh
perguruan tinggi dan secara eksternal berkala oleh
Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi atau
lembaga mandiri lain yang diberi kewenangan oleh
Menteri.
(4) Hasil evaluasi eksternal program studi secara
berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
digunakan sebagai bahan pembinaan program
studi oleh Menteri.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
penjaminan mutu internal dan eksternal
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 11
Kurikulum
Pasal 97
(1) Kurikulum perguruan tinggi dikembangkan dan
dilaksanakan berbasis kompetensi.
(2) Kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk setiap
program studi di perguruan tinggi dikembangkan
dan ditetapkan oleh tiap-tiap perguruan tinggi
dengan mengacu Standar Nasional Pendidikan.
(3) Kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
paling sedikit memenuhi elemen kurikulum
sebagai berikut:
a. landasan kepribadian;
b. penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga;
c. kemampuan dan keterampilan berkarya;
d. sikap . . .
DISTRIBUSI II
- 74 -
d. sikap dan perilaku dalam berkarya menurut
tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan
keterampilan yang dikuasai;
e. penguasaan kaidah berkehidupan
bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian
dalam berkarya.
Paragraf 12
Gelar Lulusan Pendidikan Tinggi
Pasal 98
(1) Lulusan pendidikan akademik, vokasi, profesi,
atau spesialis, berhak untuk menggunakan gelar
akademik, gelar vokasi, gelar profesi, atau gelar
spesialis.
(2) Gelar untuk lulusan pendidikan akademik terdiri
atas:
a. sarjana, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan huruf S. dan
diikuti dengan inisial program studi atau
bidang ilmu;
b. magister, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan huruf M. dan
diikuti dengan inisial program studi atau
bidang ilmu; dan
c. doktor, yang ditulis di depan nama yang
berhak dengan mencantumkan singkatan Dr.
(3) Gelar untuk pendidikan vokasi terdiri atas:
a. ahli pratama untuk lulusan program diploma
satu, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan singkatan A.P.
dan diikuti dengan inisial program studi atau
bidang keahlian;
b. ahli . . .
DISTRIBUSI II
- 75 -
b. ahli muda untuk lulusan program diploma
dua, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan singkatan
A.Ma. dan diikuti dengan inisial program studi
atau bidang keahlian;
c. ahli madya untuk lulusan program diploma
tiga, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan singkatan
A.Md. dan diikuti dengan inisial program studi
atau bidang keahlian; dan
d. sarjana sains terapan untuk program diploma
empat, yang ditulis di belakang nama yang
berhak dengan mencantumkan singkatan
S.S.T. dan diikuti dengan inisial program studi
atau bidang keahlian.
(4) Gelar untuk lulusan pendidikan profesi ditulis di
depan atau di belakang nama yang berhak dengan
mencantumkan singkatan bidang profesinya.
(5) Gelar untuk lulusan pendidikan spesialis ditulis di
belakang nama yang berhak dengan
mencantumkan singkatan Sp. dan diikuti dengan
singkatan bidang spesialisasinya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai gelar sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (5)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 99
(1) Pencantuman gelar lulusan perguruan tinggi luar
negeri tetap menggunakan gelar sesuai singkatan
dan penempatan yang berlaku di negara asal.
(2) Menteri menetapkan kesetaraan ijazah perguruan
tinggi luar negeri dengan ijazah dan gelar
perguruan tinggi Indonesia.
BAB IV . . .
DISTRIBUSI II
- 76 -
BAB IV
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN NONFORMAL
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 100
(1) Penyelenggaraan pendidikan nonformal meliputi
penyelenggaraan satuan pendidikan dan program
pendidikan nonformal.
(2) Penyelenggaraan satuan pendidikan nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
satuan pendidikan:
a. lembaga kursus dan lembaga pelatihan;
b. kelompok belajar;
c. pusat kegiatan belajar masyarakat;
d. majelis taklim; dan
e. pendidikan anak usia dini jalur nonformal.
(3) Penyelenggaraan program pendidikan nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pendidikan kecakapan hidup;
b. pendidikan anak usia dini;
c. pendidikan kepemudaan;
d. pendidikan pemberdayaan perempuan;
e. pendidikan keaksaraan;
f. pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja;
dan
g. pendidikan kesetaraan.
Pasal 101
Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan
hasil program pendidikan formal.
Bagian Kedua . . .
DISTRIBUSI II
- 77 -
Bagian Kedua
Fungsi dan Tujuan
Pasal 102
(1) Pendidikan nonformal berfungsi:
a. sebagai pengganti, penambah, dan/atau
pelengkap pendidikan formal atau sebagai
alternatif pendidikan; dan
b. mengembangkan potensi peserta didik dengan
penekanan pada penguasaan pengetahuan dan
keterampilan fungsional, serta pengembangan
sikap dan kepribadian profesional dalam
rangka mendukung pendidikan sepanjang
hayat.
(2) Pendidikan nonformal bertujuan membentuk
manusia yang memiliki kecakapan hidup,
keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian
profesional, dan mengembangkan jiwa wirausaha
yang mandiri, serta kompetensi untuk bekerja
dalam bidang tertentu, dan/atau melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dalam
rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
(3) Pendidikan nonformal diselenggarakan berdasarkan
prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Bagian Ketiga
Satuan Pendidikan
Paragraf 1
Lembaga Kursus dan Lembaga Pelatihan
Pasal 103
(1) Lembaga kursus dan lembaga pelatihan serta
bentuk lain yang sejenis menyelenggarakan
pendidikan bagi warga masyarakat untuk:
a. memperoleh . . .
DISTRIBUSI II
- 78 -
a. memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
b. mengembangkan sikap dan kepribadian
profesional;
c. mempersiapkan diri untuk bekerja;
d. meningkatkan kompetensi vokasional;
e. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri;
dan/atau
f. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.
(2) Lembaga kursus dapat menyelenggarakan program:
a. pendidikan kecakapan hidup;
b. pendidikan kepemudaan;
c. pendidikan pemberdayaan perempuan;
d. pendidikan keaksaraan;
e. pendidikan keterampilan kerja;
f. pendidikan kesetaraan; dan/atau
g. pendidikan nonformal lain yang diperlukan
masyarakat.
(3) Lembaga pelatihan menyelenggarakan program
pelatihan kerja dan pelatihan lain untuk
meningkatkan kompetensi kerja bagi pencari kerja
dan pekerja.
(4) Lembaga kursus dan lembaga pelatihan yang
terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional
Pendidikan Nonformal dan/atau lembaga akreditasi
lain dapat menyelenggarakan uji kompetensi
kepada peserta didik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Lembaga kursus dan lembaga pelatihan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) memberikan
sertifikat kompetensi kepada peserta didik yang
lulus uji kompetensi.
(6) Peserta . . .
DISTRIBUSI II
- 79 -
(6) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan
pembelajaran di lembaga kursus dan lembaga
pelatihan dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil
belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau
lulus dalam ujian kesetaraan sebagaimana
dimaksud pada ayat (6) memperoleh ijazah sesuai
dengan program yang diikutinya.
Paragraf 2
Kelompok Belajar
Pasal 104
(1) Kelompok belajar dan bentuk lain yang sejenis
dapat menyelenggarakan pendidikan bagi warga
masyarakat untuk:
a. memperoleh pengetahuan dan keterampilan
dasar;
b. memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
c. mengembangkan sikap dan kepribadian
profesional;
d. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri;
dan/atau
e. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.
(2) Kelompok belajar dapat menyelenggarakan
program:
a. pendidikan keaksaraan;
b. pendidikan kesetaraan;
c. pendidikan kecakapan hidup;
d. pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 80 -
d. pendidikan pemberdayaan perempuan;
dan/atau
e. pendidikan nonformal lain yang diperlukan
masyarakat.
(3) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan
pembelajaran di kelompok belajar dapat mengikuti
ujian kesetaraan hasil belajar dengan pendidikan
formal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan
pembelajaran di kelompok belajar dan/atau lulus
dalam ujian kesetaraan hasil belajar sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) memperoleh ijazah sesuai
dengan program yang diikutinya.
Paragraf 3
Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat
Pasal 105
(1) Pusat kegiatan belajar masyarakat serta bentuk
lain yang sejenis dapat menyelenggarakan
pendidikan bagi warga masyarakat untuk:
a. memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
b. memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
c. mengembangkan sikap dan kepribadian
profesional;
d. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri;
dan/atau
e. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.
(2) Pusat kegiatan belajar masyarakat dapat
menyelenggarakan program:
a. pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 81 -
a. pendidikan anak usia dini;
b. pendidikan keaksaraan;
c. pendidikan kesetaraan;
d. pendidikan pemberdayaan perempuan;
e. pendidikan kecakapan hidup;
f. pendidikan kepemudaan;
g. pendidikan keterampilan kerja; dan/atau
h. pendidikan nonformal lain yang diperlukan
masyarakat.
(3) Pusat kegiatan belajar masyarakat yang
terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional
Pendidikan Nonformal dapat menyelenggarakan uji
kompetensi kepada peserta didik sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pusat kegiatan belajar masyarakat yang
terakreditasi oleh Badan Akreditasi Nasional
Pendidikan Nonformal memberikan sertifikat
kompetensi kepada peserta didik yang lulus uji
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan
pembelajaran di pusat kegiatan belajar masyarakat
dapat mengikuti ujian untuk mendapatkan
pengakuan kesetaraan hasil belajar dengan
pendidikan formal sesuai dengan Standar Nasional
Pendidikan.
(6) Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau
lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan
pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada
ayat (5) memperoleh ijazah sesuai dengan program
yang diikutinya.
Paragraf 4 . . .
DISTRIBUSI II
- 82 -
Paragraf 4
Majelis Taklim
Pasal 106
(1) Majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat
menyelenggarakan pendidikan bagi warga
masyarakat untuk:
a. memperoleh pengetahuan dan keterampilan;
b. memperoleh keterampilan kecakapan hidup;
c. mengembangkan sikap dan kepribadian
profesional;
d. mempersiapkan diri untuk berusaha mandiri;
dan/atau
e. melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih
tinggi.
(2) Majelis taklim atau bentuk lain yang sejenis dapat
menyelenggarakan program:
a. pendidikan keagamaan Islam;
b. pendidikan anak usia dini;
c. pendidikan keaksaraan;
d. pendidikan kesetaraan;
e. pendidikan kecakapan hidup;
f. pendidikan pemberdayaan perempuan;
g. pendidikan kepemudaan; dan/atau
h. pendidikan nonformal lain yang diperlukan
masyarakat.
(3) Peserta didik yang telah menyelesaikan kegiatan
pembelajaran di majelis taklim atau bentuk lain
yang sejenis dapat mengikuti ujian kesetaraan hasil
belajar dengan pendidikan formal sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Peserta . . .
DISTRIBUSI II
- 83 -
(4) Peserta didik yang telah memenuhi syarat dan/atau
lulus dalam ujian kesetaraan hasil belajar dengan
pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) memperoleh ijazah sesuai dengan program
yang diikutinya.
Paragraf 5
Pendidikan Anak Usia Dini Jalur Nonformal
Pasal 107
(1) Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan
nonformal berbentuk kelompok bermain, taman
penitipan anak, dan satuan pendidikan anak usia
dini yang sejenis.
(2) Kelompok bermain, taman penitipan anak, dan
satuan pendidikan anak usia dini yang sejenis
menyelenggarakan pendidikan dalam konteks:
a. bermain sambil belajar dalam rangka
pembelajaran agama dan ahlak mulia;
b. bermain sambil belajar dalam rangka
pembelajaran sosial dan kepribadian;
c. bermain sambil belajar dalam rangka
pembelajaran estetika;
d. bermain sambil belajar dalam rangka
pembelajaran jasmani, olahraga, dan
kesehatan; dan
e. bermain sambil belajar dalam rangka
merangsang minat kepada ilmu pengetahuan
dan teknologi.
(3) Peserta didik kelompok bermain, taman penitipan
anak, dan satuan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal yang sejenis dapat dievaluasi
perkembangannya tanpa melalui proses yang
bersifat menguji kompetensi.
Bagian Keempat . . .
DISTRIBUSI II
- 84 -
Bagian Keempat
Program Pendidikan
Paragraf 1
Pendidikan Kecakapan Hidup
Pasal 108
(1) Pendidikan kecakapan hidup merupakan program
pendidikan yang mempersiapkan peserta didik
pendidikan nonformal dengan kecakapan personal,
kecakapan sosial, kecakapan estetis, kecakapan
kinestetis, kecakapan intelektual, dan kecakapan
vokasional yang diperlukan untuk bekerja,
berusaha, dan/atau hidup mandiri di tengah
masyarakat.
(2) Pendidikan kecakapan hidup bertujuan
meningkatkan kecakapan personal, kecakapan
sosial, kecakapan estetis, kecakapan kinestetis,
kecakapan intelektual dan kecakapan vokasional
untuk menyiapkan peserta didik agar mampu
bekerja, berusaha, dan/atau hidup mandiri di
tengah masyarakat.
(3) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan
secara terintegrasi dengan program pendidikan
nonformal lain atau tersendiri.
(4) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan
oleh lembaga pendidikan nonformal bekerja sama
dengan lembaga pendidikan formal.
(5) Pendidikan kecakapan hidup dapat dilaksanakan
secara terintegrasi dengan program penempatan
lulusan di dunia kerja, baik di dalam maupun di
luar negeri.
Paragraf 2 . . .
DISTRIBUSI II
- 85 -
Paragraf 2
Pendidikan Anak Usia Dini
Pasal 109
(1) Pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
nonformal merupakan program yang
diselenggarakan secara fleksibel berdasarkan tahap
pertumbuhan dan perkembangan anak.
(2) Program pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), berfungsi menumbuhkembangkan dan
membina seluruh potensi anak sejak lahir sampai
dengan usia anak 6 (enam) tahun sehingga
terbentuk prilaku dan kemampuan dasar sesuai
dengan tahap perkembangannya dalam rangka
kesiapan anak memasuki pendidikan lebih lanjut.
(3) Program pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), memprioritaskan pelayanan pendidikan
kepada anak sejak lahir sampai dengan usia 4
(empat) tahun.
(4) Program pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal bertujuan:
a. membangun landasan bagi berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, berkepribadian
luhur, sehat, berilmu, cakap, kritis, kreatif,
inovatif, mandiri, percaya diri, dan menjadi
warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab; dan
b. mengembangkan . . .
DISTRIBUSI II
- 86 -
b. mengembangkan potensi kecerdasan spiritual,
intelektual, emosional, estetis, kinestetis, dan
sosial peserta didik pada masa emas
pertumbuhannya dalam lingkungan bermain
yang edukatif dan menyenangkan.
(5) Program pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal dirancang dan
diselenggarakan:
a. secara interaktif, inspiratif, menyenangkan,
menantang, dan mendorong kreativitas serta
kemandirian;
b. sesuai dengan tahap pertumbuhan fisik dan
perkembangan mental anak serta kebutuhan
dan kepentingan terbaik anak;
c. dengan memperhatikan perbedaan bakat,
minat, dan kemampuan tiap-tiap anak; dan
d. dengan mengintegrasikan kebutuhan anak
terhadap kesehatan, gizi, dan stimulasi
psikososial.
(6) Pengembangan program pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan nonformal sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) didasarkan pada:
a. prinsip bermain sambil belajar dan belajar
seraya bermain;
b. memperhatikan perbedaan bakat, minat, dan
kemampuan masing-masing peserta didik;
c. memperhatikan latar belakang sosial,
ekonomi, dan budaya peserta didik; dan
d. memperhatikan kondisi dan kebutuhan
masyarakat setempat.
(7) Pengelompokan . . .
DISTRIBUSI II
- 87 -
(7) Pengelompokan peserta didik untuk program
pendidikan pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal disesuaikan dengan
kebutuhan, usia, dan perkembangan anak.
(8) Penyelenggaraan program pendidikan anak usia
dini jalur pendidikan nonformal dapat
diintegrasikan dengan program lain yang sudah
berkembang di masyarakat sebagai upaya untuk
memperluas pelayanan pendidikan anak usia dini
kepada seluruh lapisan masyarakat.
Paragraf 3
Pendidikan Kepemudaan
Pasal 110
(1) Pendidikan kepemudaan merupakan pendidikan
yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader
pemimpin bangsa.
(2) Program Pendidikan kepemudaan berfungsi
mengembangkan potensi pemuda dengan
penekanan pada:
a. penguatan nilai keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia;
b. penguatan wawasan kebangsaan dan cinta
tanah air;
c. penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan
estetika;
d. peningkatan wawasan dan kemampuan di
bidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga;
e. penumbuhan sikap kewirausahaan,
kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan;
dan
f. peningkatan . . .
DISTRIBUSI II
- 88 -
f. peningkatan keterampilan vokasional.
(3) Program pendidikan kepemudaan memberikan
pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat
yang berusia antara 16 (enam belas) tahun sampai
dengan 30 (tiga puluh) tahun.
(4) Pendidikan kepemudaan dapat berbentuk pelatihan
dan bimbingan atau sejenisnya yang
diselenggarakan oleh:
a. organisasi keagamaan;
b. organisasi pemuda;
c. organisasi kepanduan/kepramukaan;
d. organisasi palang merah;
e. organisasi pecinta alam dan lingkungan hidup;
f. organisasi kewirausahaan;
g. organisasi masyarakat;
h. organisasi seni dan olahraga; dan
i. organisasi lain yang sejenis.
Paragraf 4
Pendidikan Pemberdayaan Perempuan
Pasal 111
(1) Pendidikan pemberdayaan perempuan merupakan
pendidikan untuk meningkatkan harkat dan
martabat perempuan.
(2) Program pendidikan pemberdayaan perempuan
berfungsi untuk meningkatan kesetaraan dan
keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara melalui:
a. peningkatan keimanan, ketakwaan, dan
akhlak mulia;
b. penguatan wawasan kebangsaan dan cinta
tanah air;
c. penumbuhkembangan . . .
DISTRIBUSI II
- 89 -
c. penumbuhkembangan etika, kepribadian, dan
estetika;
d. peningkatan wawasan dan kemampuan
dibidang ilmu pengetahuan, teknologi, seni,
dan/atau olahraga;
e. penumbuhan sikap kewirausahaan,
kepemimpinan, keteladanan, dan kepeloporan;
dan
f. peningkatan keterampilan vokasional.
(3) Pendidikan pemberdayaan perempuan bertujuan:
a. meningkatkan kedudukan, harkat, dan
martabat perempuan hingga setara dengan
laki-laki;
b. meningkatkan akses dan partisipasi
perempuan dalam pendidikan, pekerjaan,
usaha, peran sosial, peran politik, dan bentuk
amal lain dalam kehidupan;
c. mencegah terjadinya pelanggaran terhadap
hak asasi manusia yang melekat pada
perempuan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendidikan
pemberdayaan perempuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Paragraf 5
Pendidikan Keaksaraan
Pasal 112
(1) Pendidikan keaksaraan merupakan pendidikan
bagi warga masyarakat yang buta aksara Latin
agar mereka dapat membaca, menulis, berhitung,
berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar,
yang memberikan peluang untuk aktualisasi
potensi diri.
(2) Pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 90 -
(2) Pendidikan keaksaraan berfungsi memberikan
kemampuan dasar membaca, menulis, berhitung,
dan berkomunikasi dalam bahasa Indonesia, serta
pengetahuan dasar kepada peserta didik yang
dapat dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.
(3) Program pendidikan keaksaraan memberikan
pelayanan pendidikan kepada warga masyarakat
usia 15 (lima belas) tahun ke atas yang belum
dapat membaca, menulis, berhitung dan/atau
berkomunikasi dalam bahasa Indonesia.
(4) Pendidikan keaksaraan meliputi pendidikan
keaksaraan dasar, pendidikan keaksaraan
lanjutan, dan pendidikan keaksaraan mandiri.
(5) Penjaminan mutu akhir pendidikan keaksaraan
dilakukan melalui uji kompetensi keaksaraan.
(6) Peserta didik yang telah lulus uji kompetensi
keaksaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
diberi surat keterangan melek aksara.
(7) Pendidikan keaksaraan dapat dilaksanakan
terintegrasi dengan pendidikan kecakapan hidup.
Paragraf 6
Pendidikan Keterampilan dan Pelatihan Kerja
Pasal 113
(1) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja
ditujukan bagi peserta didik pencari kerja atau
yang sudah bekerja.
(2) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
untuk:
a. meningkatkan . . .
DISTRIBUSI II
- 91 -
a. meningkatkan motivasi dan etos kerja;
b. mengembangkan kepribadian yang cocok
dengan jenis pekerjaan peserta didik;
c. meningkatkan wawasan tentang aspek
lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan
pekerjaan;
d. meningkatkan kemampuan keterampilan
fungsional sesuai dengan tuntutan dan
kebutuhan pekerjaan;
e. meningkatkan kemampuan membangun
jejaring pergaulan sesuai dengan tuntutan
pekerjaan; dan
f. meningkatkan kemampuan lain sesuai dengan
tuntutan pekerjaan.
(3) Kemampuan keterampilan fungsional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
keterampilan vokasional, keterampilan manajerial,
keterampilan komunikasi, dan/atau keterampilan
sosial.
(4) Pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja dapat
dilaksanakan secara terintegrasi dengan:
a. program pendidikan kecakapan hidup;
b. program pendidikan kesetaraan Paket B dan
Paket C;
c. program pendidikan pemberdayaan
perempuan; dan/atau
d. program pendidikan kepemudaan.
Paragraf 7 . . .
DISTRIBUSI II
- 92 -
Paragraf 7
Pendidikan Kesetaraan
Pasal 114
(1) Pendidikan kesetaraan merupakan program
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan
pendidikan umum setara SD/MI, SMP/MTs, dan
SMA/MA yang mencakupi program Paket A,
Paket B, dan Paket C serta pendidikan kejuruan
setara SMK/MAK yang berbentuk Paket C
Kejuruan.
(2) Pendidikan kesetaraan berfungsi sebagai
pelayanan pendidikan nonformal pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah.
(3) Peserta didik program Paket A adalah anggota
masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib
belajar setara SD/MI melalui jalur pendidikan
nonformal.
(4) Peserta didik program Paket B adalah anggota
masyarakat yang memenuhi ketentuan wajib
belajar setara SMP/MTs melalui jalur pendidikan
nonformal.
(5) Program Paket B sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) membekali peserta didik dengan
keterampilan fungsional, sikap dan kepribadian
profesional yang memfasilitasi proses adaptasi
dengan lingkungan kerja.
(6) Persyaratan mengikuti program Paket B adalah
lulus SD/MI, program Paket A, atau yang
sederajat.
(7) Peserta didik program Paket C adalah anggota
masyarakat yang menempuh pendidikan
menengah umum melalui jalur pendidikan
nonformal.
(8) Peserta . . .
DISTRIBUSI II
- 93 -
(8) Peserta didik program Paket C Kejuruan adalah
anggota masyarakat yang menempuh pendidikan
menengah kejuruan melalui jalur pendidikan
nonformal.
(9) Program Paket C sebagaimana dimaksud pada
ayat (7) membekali peserta didik dengan
kemampuan akademik dan keterampilan
fungsional, serta sikap dan kepribadian
profesional.
(10) Program Paket C Kejuruan sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) membekali peserta didik dengan
kemampuan akademik, keterampilan fungsional,
dan kecakapan kejuruan paraprofesi, serta sikap
dan kepribadian profesional.
(11) Persyaratan mengikuti program Paket C dan
Paket C Kejuruan adalah lulus SMP/MTs,
Paket B, atau yang sederajat.
(12) Program pendidikan kesetaraan dapat
dilaksanakan terintegrasi dengan:
a. program pendidikan kecakapan hidup;
b. program pendidikan pemberdayaan
perempuan; dan/atau
c. program pendidikan kepemudaan.
Bagian Kelima
Penyetaraan Hasil Pendidikan
Pasal 115
(1) Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara
dengan hasil pendidikan formal setelah melalui uji
kesetaraan yang memenuhi Standar Nasional
Pendidikan oleh lembaga yang ditunjuk oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
kewenangan masing-masing, dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Uji . . .
DISTRIBUSI II
- 94 -
(2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk Program Paket A, Program Paket B,
Program Paket C, dan Program Paket C Kejuruan
dilaksanakan oleh Badan Standar Nasional
Pendidikan.
(3) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk program kecakapan hidup dapat
dilaksanakan untuk:
a. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan
kompetensi mata pelajaran vokasi pada jenjang
pendidikan menengah; atau
b. memperoleh pengakuan kesetaraan dengan
kompetensi mata kuliah vokasi pada jenjang
pendidikan tinggi.
(4) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf a dapat dilaksanakan oleh SMK atau
MAK yang paling rendah berakreditasi B dari Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah.
(5) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dapat dilaksanakan oleh suatu
perguruan tinggi melalui program studi vokasinya
paling rendah berakreditasi B dari Badan Akreditasi
Nasional Perguruan Tinggi.
(6) Peserta didik yang lulus uji kesetaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5)
diberi sertifikat kompetensi.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kesetaraan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB V . . .
DISTRIBUSI II
- 95 -
BAB V
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INFORMAL
Pasal 116
Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan
lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara
mandiri.
Pasal 117
(1) Hasil pendidikan informal dapat dihargai setara
dengan hasil pendidikan nonformal dan formal
setelah melalui uji kesetaraan yang memenuhi
Standar Nasional Pendidikan oleh lembaga yang
ditunjuk oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai kewenangan masing-masing, dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Uji kesetaraan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan melalui:
a. Uji kesetaraan yang berlaku bagi peserta didik
pendidikan nonformal sebagaimana diatur
dalam Pasal 115; dan
b. Uji kesetaraan yang diatur dengan Peraturan
Menteri untuk hasil pendidikan informal lain
yang berada di luar lingkup ketentuan dalam
Pasal 115.
BAB VI
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN JARAK JAUH
Pasal 118
(1) Pendidikan jarak jauh bertujuan meningkatkan
perluasan dan pemerataan akses pendidikan, serta
meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan.
(2) Pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 96 -
(2) Pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) mempunyai karakteristik terbuka, belajar
mandiri, belajar tuntas, menggunakan teknologi
informasi dan komunikasi pendidikan, dan/atau
menggunakan teknologi pendidikan lainnya.
Pasal 119
(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan pada
semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
(2) Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
sesuai Standar Nasional Pendidikan dengan:
a. menggunakan moda pembelajaran yang
peserta didik dengan pendidiknya terpisah;
b. menekankan prinsip belajar secara mandiri,
terstruktur, dan terbimbing dengan
menggunakan berbagai sumber belajar;
c. menjadikan media pembelajaran sebagai
sumber belajar yang lebih dominan daripada
pendidik;
d. menggantikan pembelajaran tatap muka
dengan interaksi pembelajaran berbasis
teknologi informasi dan komunikasi, meskipun
tetap memungkinkan adanya pembelajaran
tatap muka secara terbatas.
(3) Pendidikan jarak jauh memberikan pelayanan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi untuk
kegiatan:
a. penyusunan bahan ajar;
b. penggandaan dan distribusi bahan ajar;
c. proses pembelajaran melalui kegiatan tutorial,
praktik, praktikum, dan ujian; dan
d. administrasi . . .
DISTRIBUSI II
- 97 -
d. administrasi serta registrasi.
(4) Pendidikan jarak jauh yang memberikan pelayanan
berbasis teknologi informasi dan komunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan
tanpa mengesampingkan pelayanan tatap muka.
Pasal 120
(1) Pengorganisasian pendidikan jarak jauh dapat
diselenggarakan dalam modus tunggal, ganda,
atau konsorsium.
(2) Pengorganisasian pendidikan jarak jauh modus
tunggal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk satuan pendidikan yang
menyelenggarakan program pendidikan hanya
dengan moda jarak jauh.
(3) Pengorganisasian modus ganda sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbentuk satuan
pendidikan yang menyelenggarakan program
pendidikan baik secara tatap muka maupun jarak
jauh.
(4) Pengorganisasian modus konsorsium sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) berbentuk jejaring kerja
sama penyelenggaraan pendidikan jarak jauh
lintas satuan pendidikan dengan lingkup wilayah
nasional dan/atau internasional.
(5) Struktur organisasi satuan pendidikan jarak jauh
ditentukan berdasarkan modus, cakupan, dan
sistem pengelolaan yang diterapkan.
Pasal 121
(1) Pendidikan jarak jauh dapat diselenggarakan
dengan lingkup mata pelajaran atau mata kuliah,
program studi, atau satuan pendidikan.
(2) Pendidikan . . .
DISTRIBUSI II
- 98 -
(2) Pendidikan jarak jauh dengan lingkup mata
pelajaran atau mata kuliah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilaksanakan pada 1 (satu) atau lebih
mata pelajaran atau mata kuliah dalam 1 (satu)
program studi.
(3) Pendidikan jarak jauh dengan lingkup program
studi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan dalam 1 (satu) atau lebih program
studi secara utuh dalam 1 (satu) satuan
pendidikan.
(4) Pendidikan jarak jauh dengan lingkup satuan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan penyelenggaraan pendidikan jarak
jauh secara utuh pada 1 (satu) satuan pendidikan.
Pasal 122
(1) Penyelenggara satuan pendidikan jarak jauh wajib
mengembangkan sistem pengelolaan dan sistem
pembelajaran berbasis teknologi informasi dan
komunikasi.
(2) Basis teknologi informasi dan komunikasi pada
sistem pengelolaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) paling sedikit mencakup:
a. perencanaan program dan anggaran;
b. administrasi keuangan;
c. administasi akademik;
d. administrasi peserta didik; dan
e. administrasi personalia.
(3) Basis teknologi informasi dan komunikasi pada
sistem pembelajaran jarak jauh jenjang pendidikan
dasar dan menengah paling sedikit mencakup:
a. sarana pembelajaran;
b. kompetensi pendidik;
c. sumber . . .
DISTRIBUSI II
- 99 -
c. sumber belajar;
d. proses pembelajaran; dan
e. evaluasi hasil belajar;
(4) Basis teknologi informasi dan komunikasi pada
sistem pembelajaran jarak jauh jenjang pendidikan
tinggi paling sedikit mencakup:
a. sarana pembelajaran;
b. kompetensi dosen;
c. kompetensi tenaga kependidikan;
d. kompetensi mahasiswa;
e. sumber belajar;
f. proses pembelajaran;
g. proses penelitian;
h. proses pengabdian kepada masyarakat; dan
i. evaluasi hasil belajar.
Pasal 123
(1) Penjaminan mutu pendidikan jarak jauh pada
satuan pendidikan dasar dan menengah dilakukan
dengan berpedoman pada:
a. Standar Nasional Pendidikan;
b. ketentuan tentang Ujian Nasional;
c. ketentuan tentang akreditasi; dan
d. sistem pembelajaran berbasis teknologi
informasi dan komunikasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3).
(2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan karakteristik
pendidikan jarak jauh.
Pasal 124 . . .
DISTRIBUSI II
- 100 -
Pasal 124
(1) Penjaminan mutu pendidikan jarak jauh pada
perguruan tinggi meliputi:
a. penjaminan mutu sebagaimana diatur dalam
Pasal 96; dan
b. penjaminan mutu untuk memastikan bahwa
pembelajaran berbasis teknologi informasi
dan komunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 122 ayat (4) dipenuhi.
(2) Penjaminan mutu sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan karakteristik
pendidikan jarak jauh.
Pasal 125
(1) Pendidikan jarak jauh pada jalur pendidikan
informal bagi warga masyarakat dapat dilakukan
melalui:
a. penyiaran televisi dan radio;
b. penayangan film dan video;
c. pemasangan situs internet;
d. publikasi media cetak;
e. pengiriman informasi melalui telepon seluler;
dan
f. bentuk-bentuk lain dari penyebarluasan
informasi kepada masyarakat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pendidikan jarak jauh pada jalur pendidikan
informal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diselenggarakan dengan penuh tanggung jawab
dan mempertimbangkan kemungkinan dampak
negatif terhadap moralitas masyarakat.
Pasal 126 . . .
DISTRIBUSI II
- 101 -
Pasal 126
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 118 sampai dengan Pasal 124 diatur dengan
Peraturan Menteri.
BAB VII
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN KHUSUS DAN
PENDIDIKAN LAYANAN KHUSUS
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 127
Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta
didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti
proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan
dan bakat istimewa.
Pasal 128
Pendidikan layanan khusus merupakan pendidikan
bagi peserta didik di daerah terpencil atau terbelakang,
masyarakat adat yang terpencil, dan/atau mengalami
bencana alam, bencana sosial, dan tidak mampu dari
segi ekonomi.
Bagian Kedua . . .
DISTRIBUSI II
- 102 -
Bagian Kedua
Pendidikan Khusus
Paragraf 1
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik Berkelainan
Pasal 129
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan
berfungsi memberikan pelayanan pendidikan bagi
peserta didik yang memiliki kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan
fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau
sosial.
(2) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta
didik secara optimal sesuai kemampuannya.
(3) Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik
yang:
a. tunanetra;
b. tunarungu;
c. tunawicara;
d. tunagrahita;
e. tunadaksa;
f. tunalaras;
g. berkesulitan belajar;
h. lamban belajar;
i. autis;
j. memiliki gangguan motorik;
k. menjadi korban penyalahgunaan narkotika,
obat terlarang, dan zat adiktif lain; dan
l. memiliki kelainan lain.
(4) Kelainan . . .
DISTRIBUSI II
- 103 -
(4) Kelainan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dapat juga berwujud gabungan dari 2 (dua) atau
lebih jenis kelainan, yang disebut tunaganda.
Pasal 130
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan
dapat diselenggarakan pada semua jalur dan jenis
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah.
(2) Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat
dilakukan melalui satuan pendidikan khusus,
satuan pendidikan umum, satuan pendidikan
kejuruan, dan/atau satuan pendidikan
keagamaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai program
pendidikan khusus pada satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan
pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan
keagamaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 131
(1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling
sedikit 1 (satu) satuan pendidikan khusus untuk
setiap jenis kelainan dan jenjang pendidikan
sebagai model sesuai dengan kebutuhan peserta
didik.
(2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan
pendidikan umum dan satuan pendidikan
kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
(3) Penjaminan . . .
DISTRIBUSI II
- 104 -
(3) Penjaminan terselenggaranya pendidikan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu) satuan
pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan
kejuruan yang memberikan pendidikan khusus.
(4) Dalam menjamin terselenggaranya pendidikan
khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
pemerintah kabupaten/kota menyediakan
sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan
kebutuhan peserta didik berkelainan.
(5) Perguruan tinggi wajib menyediakan akses bagi
mahasiswa berkelainan.
(6) Pemerintah provinsi membantu tersedianya
sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan
kebutuhan peserta didik berkelainan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4).
(7) Pemerintah membantu tersedianya sumberdaya
pendidikan yang berkaitan dengan kebutuhan
peserta didik berkelainan pada pendidikan khusus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (4), ayat
(5), dan ayat (6) pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan.
Pasal 132
Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada
jalur formal diselenggarakan melalui satuan pendidikan
anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan
pendidikan menengah.
Pasal 133 . . .
DISTRIBUSI II
- 105 -
Pasal 133
(1) Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta
didik berkelainan untuk pendidikan anak usia dini
berbentuk taman kanak-kanak luar biasa atau
sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis
dan sederajat.
(2) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan pada jenjang pendidikan dasar terdiri
atas:
a. sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain
untuk satuan pendidikan yang sejenis dan
sederajat; dan
b. sekolah menengah pertama luar biasa atau
sebutan lain untuk satuan pendidikan yang
sejenis dan sederajat.
(3) Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan pada jenjang pendidikan menengah
adalah sekolah menengah atas luar biasa, sekolah
menengah kejuruan luar biasa, atau sebutan lain
untuk satuan pendidikan yang sejenis dan
sederajat.
(4) Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat
dilaksanakan secara terintegrasi antarjenjang
pendidikan dan/atau antarjenis kelainan.
(5) Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan
dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan
pada jalur pendidikan nonformal.
Paragraf 2 . . .
DISTRIBUSI II
- 106 -
Paragraf 2
Pendidikan Khusus bagi Peserta Didik yang Memiliki
Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa
Pasal 134
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa berfungsi mengembangkan potensi
keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata
sesuai dengan karakteristik keistimewaannya.
(2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh
potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan
keseimbangan perkembangan kecerdasan
spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik,
kinestetik, dan kecerdasan lain.
Pasal 135
(1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa dapat diselenggarakan pada satuan
pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs,
SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang
sederajat.
(2) Program pendidikan khusus bagi peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa dapat berupa:
a. program percepatan; dan/atau
b. program pengayaan.
(3) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan persyaratan:
a. peserta . . .
DISTRIBUSI II
- 107 -
a. peserta didik memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan
tes psikologi;
b. peserta didik memiliki prestasi akademik
tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni
dan/atau olahraga; dan
c. satuan pendidikan penyelenggara telah atau
hampir memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
(4) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan
sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(5) Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi
peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kelas biasa;
b. kelas khusus; atau
c. satuan pendidikan khusus.
Pasal 136
Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1
(satu) satuan pendidikan khusus bagi peserta didik
yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa.
Pasal 137
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat
diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur
pendidikan nonformal.
Pasal 138 . . .
DISTRIBUSI II
- 108 -
Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan
pendidikan khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 129 sampai dengan Pasal 137 diatur dengan
Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pendidikan Layanan Khusus
Pasal 139
(1) Pendidikan layanan khusus berfungsi memberikan
pelayanan pendidikan bagi peserta didik di daerah:
a. terpencil atau terbelakang;
b. masyarakat adat yang terpencil;
c. yang mengalami bencana alam;
d. yang mengalami bencana sosial; dan/atau
e. yang tidak mampu dari segi ekonomi.
(2) Pendidikan layanan khusus bertujuan
menyediakan akses pendidikan bagi peserta didik
agar haknya untuk memperoleh pendidikan
terpenuhi.
Pasal 140
(1) Pendidikan layanan khusus dapat diselenggarakan
pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan
informal.
(2) Pendidikan layanan khusus pada jalur pendidikan
formal diselenggarakan dengan cara menyesuaikan
waktu, tempat, sarana dan prasarana
pembelajaran, pendidik, tenaga kependidikan,
dan/atau sumber daya pembelajaran lainnya
dengan kondisi kesulitan peserta didik.
Pasal 141 . . .
DISTRIBUSI II
- 109 -
Pasal 141
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangan masing-masing menyelenggarakan
pendidikan layanan khusus.
Pasal 142
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan
pendidikan layanan khusus sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 139 sampai dengan Pasal 141 diatur
dengan Peraturan Menteri.
BAB VIII
SATUAN PENDIDIKAN BERTARAF INTERNASIONAL
Pasal 143
Satuan pendidikan bertaraf internasional merupakan
satuan pendidikan yang telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar
pendidikan negara maju.
Pasal 144
(1) Pemerintah kabupaten/kota menyelenggarakan
paling sedikit 1 (satu) SD bertaraf internasional
dan/atau memfasilitasi penyelenggaraan paling
sedikit 1 (satu) SD bertaraf internasional yang
diselenggarakan masyarakat.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) tidak dapat dipenuhi, maka pemerintah
kabupaten/kota menyelenggarakan paling sedikit
1 (satu) SD yang dikembangkan menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional.
(3) Penyelenggaraan . . .
DISTRIBUSI II
- 110 -
(3) Penyelenggaraan pendidikan pada SD yang
dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat dilaksanakan secara parsial
menurut rombongan belajar atau mata pelajaran.
(4) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) memenuhi penjaminan
mutu SD bertaraf internasional yang diatur oleh
Menteri.
(5) Pengembangan SD menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional dilaksanakan paling lama 7
(tujuh) tahun.
(6) Pemerintah kabupaten/kota membantu dan
memfasilitasi penyelenggaraan SD bertaraf
internasional atau rintisan bertaraf internasional
yang diselenggarakan oleh masyarakat
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 145
(1) Pemerintah provinsi memfasilitasi dan membantu
penyelenggaraan SD bertaraf internasional di
kabupaten/kota di wilayahnya.
(2) Fasilitasi dan bantuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. pendanaan investasi sarana dan prasarana;
b. pendanaan biaya operasional;
c. penyediaan pendidik dan tenaga
kependidikan; dan
d. penyelenggaraan supervisi dan penjaminan
mutu
SD bertaraf internasional atau yang dikembangkan
menjadi bertaraf internasional yang
diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
Pasal 146 . . .
DISTRIBUSI II
- 111 -
Pasal 146
(1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling
sedikit 1 (satu) SMP, 1 (satu) SMA, dan 1 (satu)
SMK bertaraf internasional dan/atau memfasilitasi
penyelenggaraan paling sedikit 1 (satu) SMP, 1
(satu) SMA, dan 1 (satu) SMK bertaraf
internasional yang diselenggarakan masyarakat di
setiap kabupaten/kota di wilayahnya.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) belum dapat dipenuhi, pemerintah
provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu)
SMP, 1 (satu) SMA, dan 1 (satu) SMK yang
dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional.
(3) Penyelenggaraan rintisan pendidikan bertaraf
internasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dilaksanakan secara parsial menurut
rombongan belajar atau mata pelajaran.
(4) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) memenuhi pedoman
penjaminan mutu SMP, SMA, dan SMK bertaraf
internasional yang diatur oleh Menteri.
(5) Pengembangan SMP, SMA, dan SMK menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional
dilaksanakan paling lama 6 (enam) tahun.
(6) Pemerintah kabupaten/kota dapat membantu
penyelenggaraan SMP, SMA, dan SMK bertaraf
internasional atau yang dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pasal 147 . . .
DISTRIBUSI II
- 112 -
Pasal 147
(1) Pemerintah provinsi merencanakan kebutuhan,
mengangkat, menempatkan, memutasikan,
memberikan kesejahteraan, memberikan
penghargaan, memberikan perlindungan,
melakukan pembinaan dan pengembangan, dan
memberhentikan pendidik dan tenaga
kependidikan pegawai negeri sipil pada SD, SMP,
SMA, dan SMK bertaraf internasional atau yang
dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional yang diselenggarakan oleh
pemerintah provinsi.
(2) Mutasi pendidik dan tenaga kependidikan
pegawai negeri sipil pada SD bertaraf
internasional atau yang dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional menjadi
kewenangan pemerintah provinsi .
(3) Pengangkatan, pemberhentian, dan/atau
pemindahan guru pegawai negeri sipil pada
satuan pendidikan SMP, SMA, dan SMK yang
sedang dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional atau yang sudah bertaraf
internasional menjadi kewenangan pemerintah
provinsi.
(4) Mutasi kepala satuan pendidikan pegawai negeri
sipil pada satuan pendidikan bertaraf
internasional atau yang dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional harus
seizin Kementerian.
(5) Pemerintah provinsi dapat menugaskan pendidik
pegawai negeri sipil pada satuan pendidikan
bertaraf internasional atau yang dikembangkan
menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional
yang diselenggarakan masyarakat.
Pasal 148 . . .
DISTRIBUSI II
- 113 -
Pasal 148
(1) Pemerintah dapat membantu penyelenggaraan
satuan pendidikan bertaraf internasional atau
yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional.
(2) Pemerintah dapat menghentikan bantuan kepada
satuan pendidikan bertaraf internasional atau
yang dikembangkan menjadi satuan pendidikan
bertaraf internasional yang gagal menjadi satuan
pendidikan bertaraf internasional dalam batas
waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144
ayat (5) dan Pasal 146 ayat (5).
Pasal 149
Pemerintah dapat menyelenggarakan sekolah/madrasah
bertaraf internasional atau yang dikembangkan menjadi
satuan pendidikan bertaraf internasional.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengembangan dan
penyelenggaraan satuan pendidikan bertaraf
internasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 144
sampai dengan Pasal 148 diatur dalam Peraturan
Menteri.
Pasal 151
Pemerintah menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu)
program studi dan/atau 1 (satu) perguruan tinggi
dan/atau memfasilitasi paling sedikit 1 (satu) program
studi dan/atau 1 (satu) perguruan tinggi yang
diselenggarakan masyarakat untuk dikembangkan
menjadi program studi dan/atau perguruan tinggi
bertaraf internasional.
Pasal 152 . . .
DISTRIBUSI II
- 114 -
Pasal 152
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang
dikembangkan menjadi bertaraf internasional
melakukan penjaminan mutu pendidikan sesuai
dengan penjaminan mutu sekolah/madrasah
bertaraf internasional yang diatur oleh Menteri.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, atau masyarakat dapat
mendirikan sekolah/madrasah baru yang bertaraf
internasional dengan persyaratan harus
memenuhi:
a. Standar Nasional Pendidikan sejak
sekolah/madrasah berdiri; dan
b. Pedoman penjaminan mutu sekolah/
madrasah bertaraf internasional yang
ditetapkan oleh Menteri sejak sekolah/
madrasah berdiri.
Pasal 153
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat
dapat menyelenggarakan satuan pendidikan
khusus dan satuan atau program pendidikan
nonformal bertaraf internasional.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan
pendidikan khusus dan satuan atau program
pendidikan nonformal bertaraf internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Menteri.
Pasal 154
Penyelenggara dan satuan pendidikan dilarang
menggunakan kata internasional untuk nama satuan
pendidikan, program, kelas, dan/atau mata pelajaran
kecuali mendapatkan penetapan atau izin dari pejabat
yang berwenang mengeluarkan penetapan atau izin
penyelenggaraan satuan pendidikan yang bertaraf
internasional.
BAB IX . . .
DISTRIBUSI II
- 115 -
BAB IX
SATUAN PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL
Pasal 155
Satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal
merupakan satuan pendidikan yang telah memenuhi
Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan
keunggulan kompetitif dan/atau komparatif daerah.
Pasal 156
(1) Pemerintah kabupaten/kota mengelola dan
menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan
pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah yang berbasis keunggulan lokal.
(2) Pemerintah kabupaten/kota memfasilitasi
penyelenggaraan satuan pendidikan berbasis
keunggulan lokal pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah yang diselenggarakan masyarakat.
Pasal 157
(1) Keunggulan lokal sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 156 dikembangkan berdasarkan
keunggulan kompetitif dan/atau komparatif
daerah di bidang seni, pariwisata, pertanian,
kelautan, perindustrian, dan bidang lain.
(2) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang
dikembangkan menjadi berbasis keunggulan lokal
harus diperkaya dengan muatan pendidikan
kejuruan yang terkait dengan potensi ekonomi,
sosial, dan/atau budaya setempat yang
merupakan keunggulan kompetitif dan/atau
komparatif daerah.
Pasal 158 . . .
DISTRIBUSI II
- 116 -
Pasal 158
(1) Satuan pendidikan dasar dan menengah yang
dikembangkan menjadi satuan pendidikan
berbasis keunggulan lokal melakukan penjaminan
mutu pendidikan sesuai dengan penjaminan
mutu sekolah atau madrasah berbasis
keunggulan lokal yang diatur oleh Menteri.
(2) Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, atau masyarakat dapat
mendirikan sekolah/madrasah baru yang
berbasis keunggulan lokal dengan persyaratan
memenuhi:
a. Standar Nasional Pendidikan sejak
sekolah/madrasah berdiri; dan
b. Pedoman penjaminan mutu
sekolah/madrasah berbasis keunggulan lokal
yang ditetapkan oleh Menteri sejak
sekolah/madrasah berdiri.
Pasal 159
(1) Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat
dapat menyelenggarakan satuan atau program
pendidikan nonformal berbasis keunggulan lokal.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai satuan atau
program pendidikan nonformal berbasis
keunggulan lokal sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB X . . .
DISTRIBUSI II
- 117 -
BAB X
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
OLEH PERWAKILAN NEGARA ASING
DAN KERJA SAMA SATUAN PENDIDIKAN ASING
DENGAN SATUAN PENDIDIKAN NEGARA INDONESIA
Bagian Kesatu
Penyelenggaraan Pendidikan oleh Perwakilan Negara Asing
Pasal 160
(1) Perwakilan negara asing di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dapat
menyelenggarakan satuan pendidikan bagi warga
negaranya sesuai dengan sistem pendidikan di
negaranya atas persetujuan Pemerintah Republik
Indonesia.
(2) Satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilarang menerima peserta didik warga
negara Indonesia.
Bagian Kedua
Kerja Sama Lembaga Pendidikan Asing dengan
Satuan Pendidikan di Indonesia
Paragraf 1
Kerja Sama Penyelenggaraan Pendidikan
Pasal 161
(1) Lembaga pendidikan asing yang terakreditasi atau
yang diakui di negaranya dapat
menyelenggarakan pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Penyelenggaraan . . .
DISTRIBUSI II
- 118 -
(2) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan
bekerja sama dengan lembaga pendidikan di
Indonesia pada tingkat program studi atau
satuan pendidikan.
(3) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus dilaksanakan
dengan syarat:
a. memperoleh izin Menteri;
b. mengikuti Standar Nasional Pendidikan;
c. mengikuti ujian nasional bagi peserta didik
pendidikan dasar dan menengah warga
negara Indonesia;
d. mengikuti akreditasi oleh badan akreditasi
nasional; dan
e. mematuhi ketentuan peraturan perundangundangan.
(4) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada
pendidikan anak usia dini dan jenjang
pendidikan dasar dan menengah bekerja sama
dengan satuan pendidikan di Indonesia yang
berakreditasi A atau yang setara dari Badan
Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah atau dari
Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Nonformal
sesuai kewenangannya.
(5) Penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pada jenjang
pendidikan tinggi bekerja sama dengan
perguruan tinggi di Indonesia yang memiliki
program studi terkait berakreditasi A atau yang
setara dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan
Tinggi atau dari Badan Akreditasi Nasional
Pendidikan Nonformal sesuai kewenangannya.
(6) Kepemilikan . . .
DISTRIBUSI II
- 119 -
(6) Kepemilikan lembaga asing dalam program atau
satuan pendidikan yang diselenggarakan bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (5) dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(7) Program atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) wajib
mengikutsertakan paling sedikit 30% (tiga puluh
persen) pendidik warga negara Indonesia.
(8) Program atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) wajib
mengikutsertakan paling sedikit 80% (delapan
puluh persen) tenaga kependidikan warga negara
Indonesia.
(9) Program atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan bersama di daerah tertentu
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 162
(1) Program atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 161 ayat (2) merupakan program
atau satuan pendidikan bertaraf internasional
atau satuan pendidikan berbasis keunggulan
lokal.
(2) Program atau satuan pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib menerapkan sistem
remunerasi yang berkeadilan bagi semua pendidik
dan tenaga kependidikan.
Pasal 163 . . .
DISTRIBUSI II
- 120 -
Pasal 163
(1) Program atau satuan pendidikan yang
diselenggarakan bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 161 dapat menggunakan sistem
pendidikan yang berlaku di negara lain.
(2) Penggunaan sistem pendidikan negara lain
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
memperoleh izin dari Menteri.
(3) Dalam hal penggunaan sistem pendidikan negara
lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terkait
dengan disiplin ilmu agama, Menteri memberikan
izin setelah memperoleh pertimbangan dari
Menteri Agama.
Paragraf 2
Kerja Sama Pengelolaan Pendidikan
Pasal 164
(1) Satuan pendidikan anak usia dini dan satuan
pendidikan dasar dan menengah Indonesia dapat
bekerja sama dalam bidang akademik dengan
satuan pendidikan asing dalam pengelolaan
pendidikan.
(2) Program studi, pusat studi, lembaga penelitian,
lembaga pengabdian kepada masyarakat,
fakultas, atau unit kerja lain pada perguruan
tinggi Indonesia dapat bekerja sama dalam
bidang akademik dan/atau non-akademik dengan
unit kerja sejenis dari perguruan tinggi asing
dalam pengelolaan pendidikan.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) bertujuan:
a. meningkatkan . . .
DISTRIBUSI II
- 121 -
a. meningkatkan mutu pendidikan;
b. memperluas jaringan kemitraan; dan/atau
c. menyelenggarakan satuan pendidikan atau
program studi bertaraf internasional atau
berbasis keunggulan lokal.
(4) Kerja sama akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berbentuk:
a. pertukaran pendidik dan/atau tenaga
kependidikan;
b. pertukaran peserta didik;
c. pemanfaatan sumber daya;
d. penyelenggaraan program kembaran;
e. penyelenggaraan kegiatan ekstrakurikuler;
dan/atau
f. kerja sama lain yang dianggap perlu.
(5) Kerja sama akademik sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) berbentuk:
a. pertukaran pendidik dan/atau tenaga
kependidikan;
b. pertukaran peserta didik;
c. pemanfaatan sumber daya;
d. penyelenggaraan pertemuan ilmiah;
e. penyelenggaraan program kegiatan
perolehan kredit;
f. penyelenggaraan program transfer kredit;
g. penyelenggaraan program studi kembaran;
h. penyelenggaraan program studi gelar ganda;
i. penyelenggaraan program studi tumpang
lapis;
j. penyelenggaraan program penelitian;
k. penyelenggaraan . . .
DISTRIBUSI II
- 122 -
k. penyelenggaraan program pengabdian
kepada masyarakat; dan/atau;
l. kerja sama lain yang dianggap perlu.
Pasal 165
(1) Kerja sama dengan perguruan tinggi luar negeri
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 ayat (5)
huruf g dan huruf h dilaksanakan oleh program
studi perguruan tinggi Indonesia yang
berakreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional
Perguruan Tinggi.
(2) Program studi perguruan tinggi luar negeri yang
bekerja sama dengan program studi di Indonesia
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
terakreditasi atau diakui di negaranya.
Pasal 166
(1) Kerja sama non-akademik sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 164 ayat (2) dapat berbentuk:
a. kontrak manajemen;
b. pendayagunaan aset;
c. penggalangan dana;
d. pembagian jasa dan royalti atas hak
kekayaan intelektual; dan/atau
e. kerja sama lain sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Kerja sama non-akademik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan
oleh perguruan tinggi yang sudah memiliki izin
pendirian dari Kementerian.
Pasal 167 . . .
DISTRIBUSI II
- 123 -
Pasal 167
(1) Satuan pendidikan nonformal Indonesia dapat
menjalin kerja sama akademik dan/atau nonakademik
dengan lembaga pendidikan negara
lain.
(2) Kerja sama satuan pendidikan nonformal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan
untuk meningkatkan mutu pendidikan dan/atau
memperluas jaringan kemitraan untuk
kepentingan satuan pendidikan nonformal.
(3) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat dilakukan oleh satuan pendidikan
nonformal terakreditasi oleh Badan Akreditasi
Nasional Pendidikan Nonformal yang memiliki izin
pendirian sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan
bentuk kerja sama pendidikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 168
Menteri dapat membatalkan kerja sama pengelolaan
dan penyelenggaraan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 161 sampai dengan Pasal 167
ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila setelah dilakukan
pemeriksaan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian
atas instruksi Menteri, terbukti melanggar ketentuan
peraturan perundang-undangan.
BAB XI . . .
DISTRIBUSI II
- 124 -
BAB XI
KEWAJIBAN PESERTA DIDIK
Pasal 169
(1) Peserta didik berkewajiban:
a. mengikuti proses pembelajaran sesuai
peraturan satuan pendidikan dengan
menjunjung tinggi norma dan etika
akademik;
b. menjalankan ibadah sesuai dengan agama
yang dianutnya dan menghormati
pelaksanaan ibadah peserta didik lain;
c. menghormati pendidik dan tenaga
kependidikan;
d. memelihara kerukunan dan kedamaian
untuk mewujudkan harmoni sosial;
e. mencintai keluarga, masyarakat, bangsa,
dan negara, serta menyayangi sesama
peserta didik;
f. mencintai dan melestarikan lingkungan;
g. ikut menjaga dan memelihara sarana dan
prasarana, kebersihan, keamanan, dan
ketertiban satuan pendidikan;
h. ikut menjaga dan memelihara sarana dan
prasarana, kebersihan, keamanan, dan
ketertiban umum;
i. menanggung biaya pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan, kecuali yang
dibebaskan dari kewajiban;
j. menjaga kewibawaan dan nama baik satuan
pendidikan yang bersangkutan; dan
k. mematuhi . . .
DISTRIBUSI II
- 125 -
k. mematuhi semua peraturan yang berlaku.
(2) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan di bawah bimbingan dan
keteladanan pendidik dan tenaga kependidikan,
serta pembiasaan terhadap peserta didik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewajiban
peserta didik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur oleh satuan pendidikan yang
bersangkutan.
BAB XII
PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 170
Pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan dan
program pendidikan merupakan pelaksana dan
penunjang penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Kedua
Jenis, Tugas, dan Tanggung Jawab
Pasal 171
(1) Pendidik merupakan tenaga kependidikan yang
berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor,
pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur,
fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan
kekhususannya, serta berpartisipasi dalam
menyelenggarakan pendidikan.
(2) Pendidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mempunyai tugas dan tanggung jawab sebagai
berikut:
a. guru . . .
DISTRIBUSI II
- 126 -
a. guru sebagai pendidik profesional mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah;
b. dosen sebagai pendidik profesional dan
ilmuwan mentransformasikan,
mengembangkan, dan menyebarluaskan
ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
melalui pendidikan, penelitian, dan
pengabdian kepada masyarakat, pada
jenjang pendidikan tinggi;
c. konselor sebagai pendidik profesional
memberikan pelayanan konseling kepada
peserta didik di satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi;
d. pamong belajar sebagai pendidik profesional
mendidik, membimbing, mengajar, melatih,
menilai, dan mengevaluasi peserta didik,
dan mengembangkan model program
pembelajaran, alat pembelajaran, dan
pengelolaan pembelajaran pada jalur
pendidikan nonformal;
e. widyaiswara sebagai pendidik profesional
mendidik, mengajar, dan melatih peserta
didik pada program pendidikan dan
pelatihan prajabatan dan/atau dalam
jabatan yang diselenggarakan oleh
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah;
f. tutor . . .
DISTRIBUSI II
- 127 -
f. tutor sebagai pendidik profesional
memberikan bantuan belajar kepada peserta
didik dalam proses pembelajaran jarak jauh
dan/atau pembelajaran tatap muka pada
satuan pendidikan jalur formal dan
nonformal;
g. instruktur sebagai pendidik profesional
memberikan pelatihan teknis kepada peserta
didik pada kursus dan/atau pelatihan;
h. fasilitator sebagai pendidik profesional
melatih dan menilai pada lembaga
pendidikan dan pelatihan;
i. pamong pendidikan anak usia dini sebagai
pendidik profesional mengasuh,
membimbing, melatih, menilai
perkembangan anak usia dini pada
kelompok bermain, penitipan anak dan
bentuk lain yang sejenis pada jalur
pendidikan nonformal;
j. guru pembimbing khusus sebagai pendidik
profesional membimbing, mengajar, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik berkelainan
pada satuan pendidikan umum, satuan
pendidikan kejuruan, dan/atau satuan
pendidikan keagamaan; dan
k. nara sumber teknis sebagai pendidik
profesional melatih keterampilan tertentu
bagi peserta didik pada pendidikan
kesetaraan.
Pasal 172
(1) Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan
kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Kualifikasi . . .
DISTRIBUSI II
- 128 -
(2) Kualifikasi akademik dan kompetensi guru dan
dosen pada satuan pendidikan formal harus
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(3) Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik
selain guru dan dosen diatur dengan Peraturan
Menteri.
(4) Kualifikasi akademik dan kompetensi pendidik
pada jalur pendidikan nonformal diatur dengan
Peraturan Menteri.
Pasal 173
(1) Tenaga kependidikan selain pendidik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171
mencakup pengelola satuan pendidikan, penilik,
pengawas, peneliti, pengembang, tenaga
perpustakaan, tenaga laboratorium, teknisi
sumber belajar, tenaga administrasi, psikolog,
pekerja sosial, terapis, tenaga kebersihan dan
keamanan, serta tenaga dengan sebutan lain
yang bekerja pada satuan pendidikan.
(2) Tenaga kependidikan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) mempunyai tugas dan tanggung
jawab sebagai berikut:
a. pengelola satuan pendidikan mengelola
satuan pendidikan pada pendidikan formal
atau nonformal;
b. penilik melakukan pemantauan, penilaian,
dan pembinaan pada satuan pendidikan
nonformal;
c. pengawas melakukan pemantauan,
penilaian, dan pembinaan pada satuan
pendidikan formal anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah;
d. peneliti . . .
DISTRIBUSI II
- 129 -
d. peneliti melakukan penelitian di bidang
pendidikan pada satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi, serta
pendidikan nonformal;
e. pengembang atau perekayasa melakukan
pengembangan atau perekayasaan di bidang
pendidikan pada satuan pendidikan anak
usia dini, pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi, serta
pendidikan nonformal;
f. tenaga perpustakaan melaksanakan
pengelolaan perpustakaan pada satuan
pendidikan;
g. tenaga laboratorium membantu pendidik
mengelola kegiatan praktikum di
laboratorium satuan pendidikan;
h. teknisi sumber belajar mempersiapkan,
merawat, memperbaiki sarana dan
prasarana pembelajaran pada satuan
pendidikan;
i. tenaga administrasi menyelenggarakan
pelayanan administratif pada satuan
pendidikan;
j. psikolog memberikan pelayanan bantuan
psikologis-pedagogis kepada peserta didik
dan pendidik pada pendidikan khusus dan
pendidikan anak usia dini;
k. pekerja sosial pendidikan memberikan
layanan bantuan sosiologis-pedagogis
kepada peserta didik dan pendidik pada
pendidikan khusus atau pendidikan layanan
khusus;
l. terapis . . .
DISTRIBUSI II
- 130 -
l. terapis memberikan pelayanan bantuan
fisiologis-kinesiologis kepada peserta didik
pada pendidikan khusus; dan
m. tenaga kebersihan dan keamanan
memberikan pelayanan kebersihan
lingkungan dan keamanan satuan
pendidikan.
Bagian Ketiga
Pengangkatan, Penempatan, Pemindahan,
dan Pemberhentian
Pasal 174
(1) Pemerintah merencanakan kebutuhan pendidik
dan tenaga kependidikan yang memenuhi
Standar Nasional Pendidikan pada satuan
pendidikan secara nasional.
(2) Pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya merencanakan kebutuhan
pendidik dan tenaga kependidikan yang
memenuhi Standar Nasional Pendidikan
berdasarkan perencanaan kebutuhan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 175
(1) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pengangkatan . . .
DISTRIBUSI II
- 131 -
(2) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah
dilaksanakan dalam rangka perluasan dan
pemerataan akses pendidikan serta peningkatan
mutu, daya saing, dan relevansi pendidikan.
(3) Pengangkatan, penempatan, pemindahan, dan
pemberhentian pendidik dan tenaga kependidikan
pada satuan pendidikan yang diselenggarakan
oleh masyarakat dilakukan oleh penyelenggara
pendidikan yang didirikan masyarakat
berdasarkan perjanjian kerja dan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Keempat
Pembinaan Karier, Promosi, dan Penghargaan
Paragraf 1
Pembinaan Karier
Pasal 176
(1) Pemerintah mengembangkan dan menetapkan
pola pembinaan karier pendidik dan tenaga
kependidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah wajib
melakukan pembinaan karier pendidik dan
tenaga kependidikan sesuai dengan pola
pembinaan karier sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Penyelenggara . . .
DISTRIBUSI II
- 132 -
(3) Penyelenggara pendidikan yang didirikan
masyarakat wajib melakukan pembinaan karier
pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan yang diselenggarakannya sesuai
dengan pola pembinaan karier sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(4) Pembinaan karier pendidik dilaksanakan dalam
bentuk peningkatan kualifikasi akademik
dan/atau kompetensi sebagai agen pembelajaran
dengan mengacu pada Standar Nasional
Pendidikan.
(5) Pembinaan karier tenaga kependidikan
dilaksanakan dalam bentuk peningkatan
kualifikasi akademik dan/atau kompetensi
manajerial dan/atau teknis sebagai tenaga
kependidikan dengan mengacu pada Standar
Nasional Pendidikan.
Paragraf 2
Promosi dan Penghargaan
Pasal 177
Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga
kependidikan dilakukan berdasarkan latar belakang
pendidikan, pengalaman, kemampuan, dan prestasi
kerja dalam bidang pendidikan.
Pasal 178
(1) Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 177
diberikan dalam bentuk kenaikan
pangkat/golongan, kenaikan jabatan, dan/atau
bentuk promosi lain yang dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Promosi . . .
DISTRIBUSI II
- 133 -
(2) Promosi bagi pendidik dan tenaga kependidikan
bukan pegawai negeri sipil pada satuan
pendidikan yang diselenggarakan oleh
masyarakat dilaksanakan sesuai dengan
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga
penyelenggara pendidikan serta ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 179
(1) Penghargaan bagi pendidik dan tenaga
kependidikan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 177 diberikan oleh:
a. Presiden atau Menteri pada tingkat nasional
dan/atau internasional;
b. gubernur pada tingkat provinsi;
c. bupati/walikota pada tingkat kabupaten/
kota;
d. camat pada tingkat kecamatan;
e. kepala desa/kelurahan pada tingkat desa/
kelurahan; dan
f. pemimpin satuan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
(2) Penghargaan bagi pendidik dan tenaga
kependidikan dapat diberikan oleh masyarakat
dan organisasi profesi pada tingkat internasional,
nasional, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan,
desa/kelurahan, dan/atau tingkat satuan
pendidikan.
(3) Penghargaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diberikan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan,
dalam bentuk:
a. tanda . . .
DISTRIBUSI II
- 134 -
a. tanda jasa;
b. promosi;
c. piagam;
d. uang; dan/atau
e. bentuk penghargaan lainnya.
Pasal 180
(1) Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan
penghargaan kepada pendidik dan/atau tenaga
kependidikan berdedikasi yang bertugas di
daerah terpencil atau terbelakang, daerah
dengan kondisi masyarakat adat terpencil,
daerah perbatasan dengan negara lain, daerah
yang mengalami bencana alam, bencana sosial,
daerah tertinggal, atau daerah yang berada
dalam keadaan darurat lain.
(2) Pemerintah memberikan penghargaan kepada
pendidik dan/atau tenaga kependidikan yang
berhasil menulis buku teks pelajaran dan/atau
menemukan teknologi pembelajaran baru yang
bermutu menurut penilaian Kementerian.
(3) Pemerintah memberikan penghargaan kepada
pendidik dan/atau tenaga kependidikan yang
menghasilkan penelitian yang bermutu menurut
penilaian Kementerian.
(4) Pendidik atau tenaga kependidikan yang gugur
dalam melaksanakan tugas memperoleh
penghargaan dari Pemerintah, pemerintah
daerah, dan/atau penyelenggara satuan
pendidikan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kelima . . .
DISTRIBUSI II
- 135 -
Bagian Kelima
Larangan
Pasal 181
Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan
maupun kolektif, dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar,
perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau
bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya dalam memberikan bimbingan
belajar atau les kepada peserta didik di satuan
pendidikan;
c. melakukan segala sesuatu baik secara langsung
maupun tidak langsung yang menciderai
integritas evaluasi hasil belajar peserta didik;
dan/atau
d. melakukan pungutan kepada peserta didik baik
secara langsung maupun tidak langsung yang
bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB XIII
PENDIRIAN SATUAN PENDIDIKAN
Pasal 182
(1) Pendirian program atau satuan pendidikan
pendidikan anak usia dini formal, pendidikan
dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan
tinggi wajib memperoleh izin Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
(2) Izin . . .
DISTRIBUSI II
- 136 -
(2) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk TK, SD, SMP, SMA, dan SMK,
yang memenuhi standar pelayanan minimum
sampai dengan Standar Nasional Pendidikan,
diberikan oleh bupati/walikota.
(3) Izin pengembangan SD, SMP, SMA, dan SMK,
yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan
menjadi satuan dan/atau program pendidikan
bertaraf internasional diberikan oleh Menteri.
(4) Izin pengembangan SD, SMP, SMA, dan SMK,
yang memenuhi Standar Nasional Pendidikan
menjadi satuan dan/atau program pendidikan
berbasis keunggulan lokal, diberikan oleh
bupati/walikota.
(5) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk satuan pendidikan khusus pada
jenjang pendidikan dasar dan menengah
diberikan oleh gubernur.
(6) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk RA, MI, MTs, MA, MAK, dan
pendidikan keagamaan dikeluarkan oleh Menteri
Agama.
(7) Izin pengembangan RA, MI, MTs, MA, MAK, dan
pendidikan keagamaan menjadi satuan
dan/atau program pendidikan bertaraf
internasional atau berbasis keunggulan lokal
dikeluarkan oleh Menteri Agama.
(8) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk program studi pada perguruan
tinggi umum diberikan oleh Menteri.
(9) Izin . . .
DISTRIBUSI II
- 137 -
(9) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk program studi pada perguruan
tinggi keagamaan diberikan oleh Menteri Agama.
(10) Izin pendirian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) untuk satuan pendidikan Indonesia di
luar negeri diberikan oleh Menteri.
(11) Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara
pemberian izin satuan pendidikan formal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai
dengan ayat (10) diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 183
(1) Pemerintah dapat menyelenggarakan satuan
dan/atau program pendidikan yang bertaraf
internasional sesuai dengan kebutuhan.
(2) Izin pendirian satuan dan/atau program
pendidikan yang bertaraf internasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
oleh Menteri.
Pasal 184
(1) Syarat-syarat pendirian satuan pendidikan
formal meliputi isi pendidikan, jumlah dan
kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan,
sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan
pendidikan, sistem evaluasi dan sertifikasi, serta
manajemen dan proses pendidikan.
(2) Syarat-syarat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berpedoman pada ketentuan dalam
Standar Nasional Pendidikan.
(3) Selain . . .
DISTRIBUSI II
- 138 -
(3) Selain syarat-syarat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) pendirian satuan pendidikan harus
melampirkan:
a. hasil studi kelayakan tentang prospek
pendirian satuan pendidikan formal dari
segi tata ruang, geografis, dan ekologis;
b. hasil studi kelayakan tentang prospek
pendirian satuan pendidikan formal dari
segi prospek pendaftar, keuangan, sosial,
dan budaya;
c. data mengenai perimbangan antara jumlah
satuan pendidikan formal dengan penduduk
usia sekolah di wilayah tersebut;
d. data mengenai perkiraan jarak satuan
pendidikan yang diusulkan di antara gugus
satuan pendidikan formal sejenis;
e. data mengenai kapasitas daya tampung dan
lingkup jangkauan satuan pendidikan
formal sejenis yang ada; dan
f. data mengenai perkiraan pembiayaan untuk
kelangsungan pendidikan paling sedikit
untuk 1 (satu) tahun akademik berikutnya.
(4) Satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan
oleh kementerian lain atau lembaga pemerintah
nonkementerian, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dan ayat (3) harus pula memenuhi
persyaratan:
a. memiliki program-program studi yang
diselenggarakan secara khas terkait dengan
tugas dan fungsi kementerian atau lembaga
pemerintah nonkementerian yang
bersangkutan; dan
b. adanya . . .
DISTRIBUSI II
- 139 -
b. adanya undang-undang sektor terkait yang
menyatakan perlu diadakannnya
pendidikan yang diselenggarakan secara
khas terkait dengan tugas dan fungsi
kementerian atau lembaga pemerintah
nonkementerian yang bersangkutan.
(5) Persyaratan dan tata cara pendirian program
studi pada perguruan tinggi negeri dan
perguruan tinggi swasta dilakukan berdasarkan
ketentuan yang diatur dengan Peraturan
Menteri.
Pasal 185
(1) Pendirian satuan pendidikan nonformal wajib
memperoleh izin dari pemerintah kabupaten/
kota.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat
pendirian dan tata cara pemberian izin satuan
pendidikan nonformal diatur dengan Peraturan
Menteri.
BAB XIV
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 186
Masyarakat dapat berperan serta dalam
penyelenggaraan pendidikan melalui berbagai
komponen masyarakat, pendidikan berbasis
masyarakat, dewan pedidikan, dan komite
sekolah/madrasah.
Bagian Kedua . . .
DISTRIBUSI II
- 140 -
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 187
Peran serta masyarakat dalam pendidikan berfungsi
memperbaiki akses, mutu, daya saing, relevansi, tata
kelola, dan akuntabilitas pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan.
Bagian Ketiga
Komponen Peran Serta Masyarakat
Pasal 188
(1) Peran serta masyarakat meliputi peran serta
perseorangan, kelompok, keluarga, organisasi
profesi, pengusaha, dan organisasi
kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan
pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat menjadi sumber, pelaksana,
dan pengguna hasil pendidikan dalam bentuk:
a. penyediaan sumber daya pendidikan;
b. penyelenggaraan satuan pendidikan;
c. penggunaan hasil pendidikan;
d. pengawasan penyelenggaraan pendidikan;
e. pengawasan pengelolaan pendidikan;
f. pemberian pertimbangan dalam
pengambilan keputusan yang berdampak
pada pemangku kepentingan pendidikan
pada umumnya; dan/atau
g. pemberian . . .
DISTRIBUSI II
- 141 -
g. pemberian bantuan atau fasilitas kepada
satuan pendidikan dan/atau penyelenggara
satuan pendidikan dalam menjalankan
fungsinya.
(3) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf d dan huruf e tidak termasuk
pemeriksaan yang menjadi kewenangan otoritas
pengawasan fungsional.
(4) Peran serta masyarakat secara khusus dalam
pendidikan dapat disalurkan melalui:
a. dewan pendidikan tingkat nasional;
b. dewan pendidikan tingkat provinsi;
c. dewan pendidikan tingkat kabupaten/kota;
d. komite sekolah/madrasah; dan/atau
e. organ representasi pemangku kepentingan
satuan pendidikan.
(5) Organisasi profesi dapat berperan serta dalam
pendidikan melalui:
a. pengendalian mutu pendidikan profesi;
b. pemberian pertimbangan kurikulum
program studi sarjana atau diploma empat
yang lulusannya berpotensi melanjutkan
pada pendidikan profesi;
c. pemberian pertimbangan kurikulum
program studi kejuruan atau vokasi yang
relevan;
d. uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi
yang dilaksanakan oleh satuan pendidikan;
e. akreditasi program studi atau satuan
pendidikan; dan/atau
f. peran lain yang relevan dengan
keprofesiannya.
Bagian Keempat . . .
DISTRIBUSI II
- 142 -
Bagian Keempat
Pendidikan Berbasis Masyarakat
Pasal 189
(1) Pendidikan berbasis masyarakat dapat
dilaksanakan pada satuan pendidikan formal
dan/atau nonformal pada semua jenjang dan
jenis pendidikan.
(2) Masyarakat dapat menyelenggarakan satuan
pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan/atau nonformal sesuai
dengan kekhasan agama, lingkungan sosial, dan
budaya untuk kepentingan masyarakat.
Pasal 190
(1) Kurikulum satuan pendidikan berbasis
masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 189 memenuhi Standar Nasional
Pendidikan.
(2) Satuan pendidikan berbasis masyarakat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189 dapat
mengembangkan kurikulum sesuai dengan
kekhasan agama atau lingkungan sosial dan
budaya masing-masing.
Pasal 191
(1) Pengelolaan dan penyelenggaraan satuan
pendidikan berbasis masyarakat pada
pendidikan formal dan nonformal dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Penyelenggara . . .
DISTRIBUSI II
- 143 -
(2) Penyelenggara satuan pendidikan berbasis
masyarakat dapat mengembangkan pola
penyelenggaraan satuan pendidikan sesuai
dengan kekhasan agama atau sosial budaya
masing-masing.
(3) Penyelenggara satuan pendidikan berbasis
masyarakat dapat mengembangkan pola
pengelolaan satuan pendidikan sesuai dengan
kekhasan agama atau sosial budaya masingmasing.
Bagian Kelima
Dewan Pendidikan
Pasal 192
(1) Dewan pendidikan terdiri atas Dewan
Pendidikan Nasional, Dewan Pendidikan
Provinsi, dan Dewan Pendidikan Kabupaten/
Kota.
(2) Dewan pendidikan berfungsi dalam peningkatan
mutu pelayanan pendidikan dengan
memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat nasional,
provinsi, dan kabupaten/kota.
(3) Dewan pendidikan menjalankan fungsinya
secara mandiri dan profesional.
(4) Dewan pendidikan bertugas menghimpun,
menganalisis, dan memberikan rekomondasi
kepada Menteri, gubernur, bupati/walikota
terhadap keluhan, saran, kritik, dan aspirasi
masyarakat terhadap pendidikan.
(5) Dewan . . .
DISTRIBUSI II
- 144 -
(5) Dewan pendidikan melaporkan pelaksanaan
tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4)
kepada masyarakat melalui media cetak,
elektronik, laman, pertemuan, dan/atau bentuk
lain sejenis sebagai pertanggungjawaban publik.
(6) Anggota dewan pendidikan terdiri atas tokoh
yang berasal dari:
a. pakar pendidikan;
b. penyelenggara pendidikan;
c. pengusaha;
d. organisasi profesi;
e. pendidikan berbasis kekhasan agama atau
sosial-budaya; dan
f. pendidikan bertaraf internasional;
g. pendidikan berbasis keunggulan lokal;
dan/atau
h. organisasi sosial kemasyarakatan.
(7) Rekrutmen calon anggota dewan pendidikan
dilaksanakan melalui pengumuman di media
cetak, elektronik, dan laman.
(8) Masa jabatan keanggotaan dewan pendidikan
adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali
untuk 1 (satu) kali masa jabatan.
(9) Anggota dewan pendidikan dapat diberhentikan
apabila:
a. mengundurkan diri;
b. meninggal dunia;
c. tidak dapat melaksanakan tugas karena
berhalangan tetap; atau
d. dijatuhi . . .
DISTRIBUSI II
- 145 -
d. dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(10) Susunan kepengurusan dewan pendidikan
sekurang-kurangnya terdiri atas ketua dewan
dan sekretaris.
(11) Anggota dewan pendidikan berjumlah gasal.
(12) Ketua dan sekretaris sebagaimana dimaksud
pada ayat (7) dipilih dari dan oleh para anggota
secara musyawarah mufakat atau melalui
pemungutan suara.
(13) Pendanaan dewan pendidikan dapat bersumber
dari:
a. Pemerintah;
b. pemerintah daerah;
c. masyarakat;
d. bantuan pihak asing yang tidak mengikat;
dan/atau
e. sumber lain yang sah.
Pasal 193
(1) Dewan Pendidikan Nasional berkedudukan di
ibukota negara.
(2) Anggota Dewan Pendidikan Nasional ditetapkan
oleh Menteri.
(3) Anggota Dewan Pendidikan Nasional paling
banyak berjumlah 15 (lima belas) orang.
(4) Menteri . . .
DISTRIBUSI II
- 146 -
(4) Menteri memilih dan menetapkan anggota
Dewan Pendidikan Nasional atas dasar usulan
dari panitia pemilihan anggota Dewan
Pendidikan Nasional yang dibentuk oleh
Menteri.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengusulkan kepada Menteri paling
banyak 30 (tiga puluh) orang calon anggota
Dewan Pendidikan Nasional setelah
mendapatkan usulan dari:
a. organisasi profesi pendidik;
b. organisasi profesi lain; atau
c. organisasi kemasyarakatan.
Pasal 194
(1) Dewan Pendidikan Provinsi berkedudukan di
ibukota provinsi.
(2) Anggota Dewan Pendidikan Provinsi ditetapkan
oleh gubernur.
(3) Anggota Dewan Pendidikan Provinsi berjumlah
paling banyak 13 (tiga belas) orang.
(4) Gubernur memilih dan menetapkan anggota
Dewan Pendidikan Provinsi atas dasar usulan
dari panitia pemilihan anggota Dewan
Pendidikan Provinsi yang dibentuk oleh
gubernur.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengusulkan kepada gubernur paling
banyak 26 (dua puluh enam) orang calon
anggota Dewan Pendidikan Provinsi setelah
mendapatkan usulan dari:
a. organisasi profesi pendidik;
b. organisasi profesi lain; atau
c. organisasi kemasyarakatan.
Pasal 195 . . .
DISTRIBUSI II
- 147 -
Pasal 195
(1) Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
berkedudukan di ibukota kabupaten/kota.
(2) Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
ditetapkan oleh bupati/walikota.
(3) Anggota Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
berjumlah paling banyak 11 (sebelas) orang.
(4) Bupati/walikota memilih dan menetapkan
anggota Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
atas dasar usulan dari panitia pemilihan
anggota Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
yang dibentuk oleh bupati/walikota.
(5) Panitia pemilihan sebagaimana dimaksud pada
ayat (4) mengusulkan kepada bupati/walikota
paling banyak 22 (dua puluh dua) orang calon
anggota Dewan Pendidikan Kabupaten/Kota
setelah mendapatkan usulan dari:
a. organisasi profesi pendidik;
b. organisasi profesi lain; atau
c. organisasi kemasyarakatan.
Bagian Keenam
Komite Sekolah/Madrasah
Pasal 196
(1) Komite sekolah/madrasah berfungsi dalam
peningkatan mutu pelayanan pendidikan
dengan memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta
pengawasan pendidikan pada tingkat satuan
pendidikan.
(2) Komite . . .
DISTRIBUSI II
- 148 -
(2) Komite sekolah/madrasah menjalankan
fungsinya secara mandiri dan profesional.
(3) Komite sekolah/madrasah memperhatikan dan
menindaklanjuti terhadap keluhan, saran,
kritik, dan aspirasi masyarakat terhadap satuan
pendidikan.
(4) Komite sekolah/madrasah dibentuk untuk 1
(satu) satuan pendidikan atau gabungan satuan
pendidikan formal pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah.
(5) Satuan pendidikan yang memiliki peserta didik
kurang dari 200 (dua ratus) orang dapat
membentuk komite sekolah/madrasah
gabungan dengan satuan pendidikan lain yang
sejenis.
(6) Komite sekolah/madrasah berkedudukan di
satuan pendidikan.
(7) Pendanaan komite sekolah/madrasah dapat
bersumber dari:
a. Pemerintah;
b. pemerintah daerah;
c. masyarakat;
d. bantuan pihak asing yang tidak mengikat;
dan/atau
e. sumber lain yang sah.
Pasal 197
(1) Anggota komite sekolah/madrasah berjumlah
paling banyak 15 (lima belas) orang, terdiri atas
unsur:
a. orang tua/wali peserta didik paling banyak
50% (lima puluh persen);
b. tokoh . . .
DISTRIBUSI II
- 149 -
b. tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga
puluh persen); dan
c. pakar pendidikan yang relevan paling
banyak 30% (tiga puluh persen).
(2) Masa jabatan keanggotaan komite
sekolah/madrasah adalah 3 (tiga) tahun dan
dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa
jabatan.
(3) Anggota komite sekolah/madrasah dapat
diberhentikan apabila:
a. mengundurkan diri;
b. meninggal dunia; atau
c. tidak dapat melaksanakan tugas karena
berhalangan tetap;
d. dijatuhi pidana karena melakukan tindak
pidana kejahatan berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap.
(4) Susunan kepengurusan komite sekolah/
madrasah terdiri atas ketua komite dan
sekretaris.
(5) Anggota komite sekolah/madrasah dipilih oleh
rapat orangtua/wali peserta didik satuan
pendidikan.
(6) Ketua komite dan sekretaris sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dipilih dari dan oleh
anggota secara musyawarah mufakat atau
melalui pemungutan suara.
(7) Anggota . . .
DISTRIBUSI II
- 150 -
(7) Anggota, sekretaris, dan ketua komite sekolah/
madrasah ditetapkan oleh kepala sekolah.
Bagian Ketujuh
Larangan
Pasal 198
Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/
madrasah, baik perseorangan maupun kolektif,
dilarang:
a. menjual buku pelajaran, bahan ajar,
perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau
bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
b. memungut biaya bimbingan belajar atau les dari
peserta didik atau orang tua/walinya di satuan
pendidikan;
c. mencederai integritas evaluasi hasil belajar
peserta didik secara langsung atau tidak
langsung;
d. mencederai integritas seleksi penerimaan peserta
didik baru secara langsung atau tidak langsung;
dan/atau
e. melaksanakan kegiatan lain yang mencederai
integritas satuan pendidikan secara langsung
atau tidak langsung.
BAB XV
PENGAWASAN
Pasal 199
(1) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan dilakukan oleh Pemerintah,
pemerintah daerah, dewan pendidikan dan
komite sekolah/madrasah.
(2) Pengawasan . . .
DISTRIBUSI II
- 151 -
(2) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 200
(1) Pengawasan pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan mencakup pengawasan
administratif dan teknis edukatif yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Pemerintah melaksanakan:
a. pengawasan secara nasional terhadap
pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan tinggi;
b. pengawasan secara nasional terhadap
pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah yang
menjadi kewenangannya;
c. pengawasan terhadap pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan Indonesia di
luar negeri;
d. koordinasi pengawasan secara nasional
terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan yang menjadi kewenangan
pemerintah daerah; dan
e. pengawasan terhadap penggunaan dana
Anggaran Pendapatan Belanja Negara oleh
pemerintah daerah untuk pendidikan.
(3) Pemerintah provinsi melaksanakan:
a. pengawasan . . .
DISTRIBUSI II
- 152 -
a. pengawasan terhadap pengelolaan dan
penyelenggaraan satuan pendidikan
bertaraf internasional atau yang dirintis
untuk menjadi bertaraf internasional;
b. pengawasan terhadap pengelolaan dan
penyelenggaraan satuan pendidikan
khusus dan layanan khusus; dan
c. koordinasi pengawasan terhadap
pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini, pendidikan
dasar, dan pendidikan menengah yang
menjadi kewenangan pemerintah
kabupaten/kota;
(4) Pemerintah provinsi melakukan pembinaan
terhadap pengawas sekolah dalam
melaksanakan tugas koordinasi pengawasan
terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah yang menjadi
kewenangan pemerintah kabupaten atau kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c.
(5) Pemerintah kabupaten/kota melaksanakan
pengawasan terhadap pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan
pendidikan nonformal di wilayah yang menjadi
kewenangannya.
Pasal 201
(1) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota, sesuai dengan
kewenangan masing-masing, menindaklanjuti
pengaduan masyarakat tentang penyimpangan
di bidang pendidikan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tindak . . .
DISTRIBUSI II
- 153 -
(2) Tindak lanjut sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dalam bentuk klarifikasi,
verifikasi, atau investigasi apabila:
a. pengaduan disertai dengan identitas
pengadu yang jelas; dan
b. pengadu memberi bukti adanya
penyimpangan.
Pasal 202
(1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 199 dapat dilakukan dalam bentuk
pemeriksaan umum, pemeriksaan kinerja,
pemeriksaan khusus, pemeriksaan tematik,
pemeriksaan investigatif, dan/atau pemeriksaan
terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(2) Hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaporkan kepada instansi atau
lembaga sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) hanya dilakukan oleh lembaga
pengawasan fungsional yang memiliki
kewenangan dan kompetensi pemeriksaan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pasal 203
Dalam melaksanakan klarifikasi, verifikasi, atau
investigasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 201
ayat (2) Pemerintah, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota dapat menunjuk
lembaga pemeriksaan independen.
Pasal 204 . . .
DISTRIBUSI II
- 154 -
Pasal 204
(1) Dewan pendidikan melaksanakan pengawasan
terhadap pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan pada tingkat nasional, provinsi, dan
kabupaten/kota.
(2) Hasil pengawasan oleh Dewan Pendidikan
Nasional dilaporkan kepada Menteri.
(3) Hasil pengawasan oleh Dewan Pendidikan
Provinsi dilaporkan kepada gubernur.
(4) Hasil pengawasan oleh Dewan Pendidikan
Kabupaten/Kota dilaporkan kepada bupati/
walikota.
Pasal 205
(1) Komite sekolah/madrasah melaksanakan
pengawasan terhadap pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan pada tingkat
satuan pendidikan.
(2) Hasil pengawasan oleh komite sekolah/
madrasah dilaporkan kepada rapat orang tua/
wali peserta didik yang diselenggarakan dan
dihadiri kepala sekolah/madrasah dan dewan
guru.
BAB XVI
SANKSI
Pasal 206
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya dapat menutup satuan
pendidikan dan/atau program pendidikan yang
menyelenggarakan pendidikan tanpa izin
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 dan
Pasal 185 ayat (1).
Pasal 207 . . .
DISTRIBUSI II
- 155 -
Pasal 207
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya dapat memberikan sanksi
administratif berupa peringatan, penggabungan,
penundaan atau pembatalan pemberian sumber daya
pendidikan kepada satuan pendidikan, pembekuan,
penutupan satuan pendidikan dan/atau program
pendidikan yang melaksanakan pendidikan yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 51, Pasal 53, Pasal 54, Pasal
55, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 69 ayat (4), Pasal 71
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 72, Pasal 81 ayat (6), Pasal
95 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 122 ayat (1), Pasal 131
ayat (5), Pasal 162 ayat (2), dan Pasal 184.
Pasal 208
(1) Perseorangan atau kelompok anggota civitas
akademika perguruan tinggi yang
melaksanakan kebebasan akademik dan/atau
otonomi keilmuan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 dan
Pasal 92, dikenai sanksi administratif oleh
pemimpin perguruan tinggi yang bersangkutan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Dalam hal pemimpin perguruan tinggi tidak
mengenakan sanksi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Menteri dapat mengenakan sanksi
kepada pelanggar dan kepada pejabat yang
tidak mengenakan sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Perguruan . . .
DISTRIBUSI II
- 156 -
(3) Perguruan tinggi atau unit dari perguruan tinggi
yang melaksanakan kebebasan akademik
dan/atau otonomi keilmuan, baik disengaja
maupun tidak disengaja, yang melanggar
ketentuan yang diatur dalam Pasal 91 dan Pasal
92, dikenai sanksi administratif oleh Pemerintah
berupa teguran tertulis, penggabungan,
pembekuan, penutupan, dan/atau dicabut izin
penyelenggaraannya.
(4) Pemerintah dapat memberikan sanksi
administratif berupa teguran tertulis,
penggabungan, pembekuan, dan/atau
penutupan perguruan tinggi yang
melaksanakan dharma perguruan tinggi yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 209
Peserta didik yang tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 ayat (1)
dikenai sanksi administratif berupa peringatan,
skorsing, dan/atau dikeluarkan dari satuan
pendidikan oleh satuan pendidikan.
Pasal 210
Perseorangan, kelompok, atau organisasi, yang
menyelenggarakan pendidikan nonformal baik
disengaja maupun tidak disengaja yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103
sampai dengan Pasal 115 dapat dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis, penggabungan,
pembekuan, dan/atau penutupan dari Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 211 . . .
DISTRIBUSI II
- 157 -
Pasal 211
Satuan pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
ayat (2), Pasal 122, dan Pasal 123 dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis, penggabungan,
pembekuan, dan/atau penutupan oleh Menteri.
Pasal 212
(1) Pendidik yang melalaikan tugas dan tanggung
jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171
ayat (2) tanpa alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(2) Tenaga kependidikan yang melalaikan tugas
dan/atau kewajibannya sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 173 ayat (2) tanpa alasan yang
dapat dipertanggungjawabkan dikenai sanksi
administratif sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3) Pendidik atau tenaga kependidikan pegawai
negeri sipil yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181
dikenai sanksi administratif sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Pendidik atau tenaga kependidikan bukan
pegawai negeri sipil yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175
ayat (3) dikenai sanksi sesuai dengan perjanjian
kerja atau kesepakatan kerja bersama dan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyelenggara . . .
DISTRIBUSI II
- 158 -
(5) Penyelenggara pendidikan yang diselenggarakan
masyarakat yang melalaikan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3),
Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44 ayat (1),
Pasal 45 ayat (1), Pasal 46 ayat (1), Pasal 47,
dan Pasal 48 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa peringatan tertulis
pertama, kedua, dan ketiga, apabila tidak
diindahkan dilakukan pembekuan oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Seseorang yang mengangkat, menempatkan,
memindahkan, atau memberhentikan pendidik
atau tenaga kependidikan yang bertentangan
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 175 tanpa alasan yang sah, dikenai
sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penundaan kenaikan gaji berkala, penundaan
kenaikan pangkat, pembebasan dari jabatan,
pemberhentian dengan hormat, dan/atau
pemberhentian dengan tidak hormat dari
jabatannya.
Pasal 213
(1) Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan
tentang penyelenggaraan pendidikan:
a. bertaraf internasional sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 152 ayat (1) dan
Pasal 154; atau
b. berbasis keunggulan lokal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 157 ayat (2) dan
Pasal 158 ayat (1);
dikenai . . .
DISTRIBUSI II
- 159 -
dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis pertama, kedua, dan ketiga, penundaan
atau penghentian subsidi hingga pencabutan
izin oleh Pemerintah atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilakukan setelah diadakan pembinaan
paling lama 3 (tiga) tahun oleh Pemerintah atau
pemerintah daerah sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 214
(1) Penyelenggaraan pendidikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia oleh perwakilan
negara asing atau lembaga pendidikan asing
yang tidak sesuai dengan ketentuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 160 dan Pasal
161 ayat (2) sampai dengan ayat (8) dikenai
sanksi oleh Menteri berupa teguran tertulis
dan/atau penutupan satuan pendidikan.
(2) Satuan pendidikan negara lain yang
menyelenggarakan pendidikan bekerja sama
dengan satuan pendidikan di Indonesia yang
tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 162 ayat (2) dan Pasal
163 ayat (2) dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis, pembekuan, dan/atau
penutupan satuan pendidikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
(3) Satuan . . .
DISTRIBUSI II
- 160 -
(3) Satuan pendidikan Indonesia yang
melaksanakan kerja sama pengelolaan dengan
satuan pendidikan negara lain yang tidak sesuai
dengan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 165 ayat (2), Pasal 166 ayat (2), dan
Pasal 167 ayat (3) dikenai sanksi administratif
berupa teguran tertulis, pembekuan, dan/atau
penutupan satuan pendidikan oleh Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan
kewenangannya.
Pasal 215
Satuan pendidikan yang melanggar ketentuan
tentang pengelolaan pendidikan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 53, Pasal
54, Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (1), dan Pasal 58
dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis,
penggabungan, pembekuan, dan/atau penutupan
satuan pendidikan oleh Pemerintah atau pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
Pasal 216
(1) Anggota dewan pendidikan atau komite
sekolah/madrasah yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 198
dikenai sanksi administratif berupa teguran
tertulis oleh Pemerintah atau oleh pemerintah
daerah sesuai dengan kewenangannya.
(2) Anggota dewan pendidikan atau komite
sekolah/madrasah yang dalam menjalankan
tugasnya melampaui fungsi dan tugas dewan
pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
192 ayat (2) dan ayat (4) serta fungsi komite
sekolah/madrasah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 196 ayat (1) dikenai sanksi
administratif berupa teguran tertulis oleh
Pemerintah atau pemerintah daerah sesuai
dengan kewenangannya.
BAB XVII . . .
DISTRIBUSI II
- 161 -
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 217
Satuan pendidikan yang dinyatakan oleh pendirinya
sebagai sekolah internasional sebelum berlakunya
Peraturan Pemerintah ini, paling lambat 3 (tiga)
tahun sejak Peraturan Pemerintah ini berlaku, wajib
menyesuaikan menjadi:
a. satuan pendidikan kategori standar atau
katagori mandiri sesuai dengan peraturan yang
mengatur tentang standar nasional pendidikan;
b. satuan pendidikan berbasis keunggulan lokal;
c. satuan pendidikan bertaraf internasional; atau
d. satuan pendidikan yang diselenggarakan atas
dasar kerja sama satuan pendidikan asing
dengan satuan pendidikan negara Indonesia.
Pasal 218
(1) Satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh
lembaga pendidikan asing atau badan hukum
asing yang ada sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini wajib menyesuaikan menjadi
satuan pendidikan yang diselenggarakan atas
dasar kerja sama satuan pendidikan asing
dengan satuan pendidikan negara Indonesia
sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini, paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
Pemerintah ini berlaku.
(2) Satuan . . .
DISTRIBUSI II
- 162 -
(2) Satuan pendidikan yang diselenggarakan atas
dasar kerja sama lembaga pendidikan asing
atau badan hukum asing dengan lembaga
pendidikan atau badan hukum di Indonesia
yang ada sebelum berlakunya Peraturan
Pemerintah ini, wajib menyesuaikan menjadi
satuan pendidikan yang diselenggarakan atas
dasar kerja sama satuan pendidikan asing
dengan satuan pendidikan negara Indonesia
sesuai dengan Peraturan Pemerintah ini, paling
lambat 3 (tiga) tahun sejak Peraturan
Pemerintah ini berlaku.
Pasal 219
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku,
semua peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan pengelolaan dan penyelenggaraan
pendidikan dinyatakan masih tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasal 220
Pada saat Peraturan Pemerintah ini diundangkan,
peraturan pelaksanaan:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990
tentang Pendidikan Prasekolah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3411);
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3412); sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
90, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3763);
c. Peraturan . . .
DISTRIBUSI II
- 163 -
c. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990
tentang Pendidikan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3413); sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor
91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3764);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Biasa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor
94, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3460);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Sekolah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor
95, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3461);
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992
tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3484) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3974);
g. Peraturan . . .
DISTRIBUSI II
- 164 -
g. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992
tentang Peranserta Masyarakat dalam
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3485);
h. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3859);
i. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri
sebagai Badan Hukum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3860);
masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 221
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku:
a. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1990
tentang Pendidikan Prasekolah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
35, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3411);
b. Peraturan . . .
DISTRIBUSI II
- 165 -
b. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990
tentang Pendidikan Dasar (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 36,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3412); sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1990 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 90, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3763);
c. Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990
tentang Pendidikan Menengah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor
37, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3413); sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 56
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1998
Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3764);
d. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Biasa (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 94, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3460);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 1991
tentang Pendidikan Luar Sekolah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor
95, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3461);
f. Peraturan . . .
DISTRIBUSI II
- 166 -
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992
tentang Tenaga Kependidikan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3484) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39
Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 1992 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor
91, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3974);
g. Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1992
tentang Peranserta Masyarakat dalam
Pendidikan Nasional (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 69,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3485);
h. Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 1999
tentang Pendidikan Tinggi (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 115,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3859);
i. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999
tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri
sebagai Badan Hukum (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 116,
Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3860);
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 222
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada
tanggal diundangkan.
Agar . . .
DISTRIBUSI II
- 167 -
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 Januari 2010
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
PATRIALIS AKBAR
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2010 NOMOR 23
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
DISTRIBUSI II
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2010
TENTANG
PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN
I. UMUM
Visi sistem pendidikan nasional sebagai pranata sosial yang kuat
dan berwibawa mengisyaratkan bahwa pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan pada semua jalur, jenjang, dan jenis
pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat
harus berlangsung sinergis. Visi sistem pendidikan nasional
dimaksudkan untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia
agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu
dan proaktif menjawab tantangan zaman yang selalu berubah.
Dalam era globalisasi dan informasi saat ini, keterbukaan telah
menjadi karakteristik kehidupan yang demokratis, dan hal ini
membawa dampak pada cepat usangnya kebijakan maupun praksis
pendidikan. Parameter kualitas pendidikan, baik dilihat dari segi
pasokan, proses, dan hasil pendidikan selalu berubah. Tanggung
jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama Pemerintah,
masyarakat dan orang tua. Oleh sebab itu, pendidikan harus secara
terus-menerus perlu ditingkatkan kualitasnya, melalui sebuah
pembaruan yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pemangku
kepentingan (stakeholders) agar mampu mempersiapkan generasi
penerus bangsa sejak dini sehingga memiliki unggulan kompetitif
dalam tatanan kehidupan nasional dan global.
Dunia . . .
DISTRIBUSI II
- 2 -
Dunia pendidikan khususnya dan tantangan masa depan
umumnya telah berubah dan berkembang sedemikian cepatnya.
Untuk mengantisipasi serta merespon perubahan dan perkembangan
tersebut, perlu ditetapkan peraturan perundang-undangan tentang
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan yang responsif untuk
memaksimalkan terselenggaranya sistem pendidikan nasional.
Untuk melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berkaitan dengan
pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan perlu ditetapkan
peraturan perundang-undangan yang mencakupi:
a. pengelolaan pendidikan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi,
pemerintah kabupaten/kota, penyelenggara pendidikan yang
didirikan masyarakat, dan satuan pendidikan;
b. penyelenggaraan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar dan
menengah, pendidikan tinggi, pendidikan nonformal, pendidikan
jarak jauh, pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus,
pendidikan bertaraf internasional dan pendidikan berbasis
keunggulan lokal, pendidikan oleh perwakilan negara asing dan
kerjasama lembaga pendidikan asing dengan lembaga pendidikan
Indonesia;
c. penyetaraan pendidikan informal;
d. kewajiban peserta didik;
e. pendidik dan tenaga kependidikan;
f. pendirian satuan pendidikan;
g. peran serta masyarakat;
h. pengawasan; dan
i. sanksi.
II. PASAL . . .
DISTRIBUSI II
- 3 -
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10 . . .
DISTRIBUSI II
- 4 -
Pasal 10
Ayat (1)
Standar pelayanan minimal merupakan batas minimal
pemenuhan standar isi, proses, kompetensi lulusan,
pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang
harus dipenuhi oleh setiap satuan pendidikan dasar dan
menengah, serta pencapaian target pembangunan
pendidikan nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “manajemen berbasis
sekolah/madrasah” adalah bentuk otonomi satuan
pendidikan. Dalam hal ini, kepala sekolah/madrasah dan
guru dibantu komite sekolah/madrasah dalam mengelola
pendidikan.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Akreditasi program pendidikan dapat dinyatakan
dalam bentuk sertifikasi program pendidikan.
Huruf b . . .
DISTRIBUSI II
- 5 -
Huruf b
Akreditasi satuan pendidikan dapat dinyatakan
dalam bentuk sertifikasi satuan atau unit pelaksana
satuan pendidikan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa meliputi
bidang intelektual umum, akademik khusus, kreatif
produktif, seni kinestetik, psikososial/kepemimpinan, dan
psikomotorik/olahraga.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15 . . .
DISTRIBUSI II
- 6 -
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penetapan target tingkat partisipasi pendidikan pada
tingkat provinsi dilakukan berdasarkan target tingkat
partisipasi nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24 . . .
DISTRIBUSI II
- 7 -
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Penetapan target tingkat partisipasi pendidikan pada
tingkat kabupaten/kota dilakukan berdasarkan target
tingkat partisipasi provinsi dan target tingkat partisipasi
nasional.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 32 . . .
DISTRIBUSI II
- 8 -
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43 . . .
DISTRIBUSI II
- 9 -
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54 . . .
DISTRIBUSI II
- 10 -
Pasal 54
Cukup jelas.
Pasal 55
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Cukup jelas.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “bentuk lain yang sederajat” dalam
ketentuan ini antara lain Bustanul Athfal (BA), Tarbiyatul
Athfal (TA), Taman Kanak-kanak Al-Qur’an (TKQ), Taman
Pendidikan Al-Qur’an (TPQ), Adi Sekha, dan Pratama
Widyalaya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
DISTRIBUSI II
- 11 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Bentuk diskriminasi, antara lain, pembedaan atas dasar
pertimbangan gender, agama, etnis, status sosial,
kemampuan ekonomi, dan kondisi fisik atau mental anak.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Program pembelajaran agama dan akhlak mulia
pada TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
dimaksudkan untuk peningkatan potensi spiritual
peserta didik melalui contoh pengamalan dari
pendidik agar menjadi kebiasaan sehari-hari, baik
di dalam maupun di luar sekolah sehingga menjadi
bagian dari budaya sekolah.
Huruf b . . .
DISTRIBUSI II
- 12 -
Huruf b
Program pembelajaran sosial dan kepribadian pada
TK, RA, atau bentuk lain yang sederajat
dimaksudkan untuk pembentukan kesadaran dan
wawasan peserta didik atas hak dan kewajibannya
sebagai warga masyarakat dan dalam interaksi
sosial serta pemahaman terhadap diri dan
peningkatan kualitas diri sebagai manusia sehingga
memiliki rasa percaya diri.
Huruf c
Program pembelajaran orientasi dan pengenalan
pengetahuan dan teknologi pada TK, RA, atau
bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk
mempersiapkan peserta didik secara akademik
memasuki SD, MI, atau bentuk lain yang sederajat
dengan menekankan pada penyiapan kemampuan
berkomunikasi dan berlogika melalui berbicara,
mendengarkan, pramembaca, pramenulis dan
praberhitung yang harus dilaksanakan secara hatihati,
tidak memaksa, dan menyenangkan sehingga
anak menyukai belajar.
Huruf d
Program pembelajaran estetika pada TK, RA, atau
bentuk lain yang sederajat dimaksudkan untuk
meningkatkan sensitivitas, kemampuan
mengekspresikan diri dan kemampuan
mengapresiasi keindahan dan harmoni yang
terwujud dalam tingkah laku keseharian.
Huruf e . . .
DISTRIBUSI II
- 13 -
Huruf e
Program pembelajaran jasmani, olahraga dan
kesehatan pada TK, RA, atau bentuk lain yang
sederajat dimaksudkan untuk meningkatkan
potensi fisik dan menanamkan sportivitas serta
kesadaran hidup sehat dan bersih.
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan “stimulasi psikososial”
dalam ketentuan ini adalah rangsangan pendidikan
yang menumbuhkan kepekaan memahami dan
bersikap terhadap lingkungan sosial sekitarnya.
Misalnya memahami dan bersikap sopan kepada
orang tua, saudara, dan teman.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
Pasal 68 . . .
DISTRIBUSI II
- 14 -
Pasal 68
Ayat (1)
Bentuk lain yang sederajat dengan SD dan MI antara lain
Paket A, pendidikan diniyah dasar, sekolah dasar teologi
Kristen (SDTK), adi widyalaya, dan culla sekha.
Ayat (2)
Bentuk lain yang sederajat dengan SMP dan MTs antara
lain Paket B, pendidikan diniyah menengah pertama,
sekolah menengah pertama teologi Kristen (SMPTK),
madyama vidyalaya (MV), dan majjhima sekha.
Pasal 69
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal 71
Cukup jelas.
Pasal 72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
DISTRIBUSI II
- 15 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Yang dimaksud “tes bakat skolastik (scholastic aptitude
test)” merupakan tes kemampuan umum anak.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Tujuan pendidikan menengah dalam ketentuan pasal ini
dimaksudkan dalam rangka mengantarkan peserta didik agar
mampu hidup produktif dan beretika dalam masyarakat
majemuk, serta menjadi warga negara yang taat hukum dalam
konteks kehidupan global yang senantiasa berubah.
Pasal 78
Ayat (1)
Bentuk lain yang sederajat dengan SMA dan MA antara
lain Paket C, pendidikan diniyah menengah atas, sekolah
menengah teologi Kristen (SMTK), sekolah menengah
agama Kristen (SMAK), utama vidyalaya (UV), dan
mahasekha.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
DISTRIBUSI II
- 16 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Ayat (1)
Penjurusan pada SMK, MAK, atau bentuk lain yang
sederajat akan menentukan cakupan mata pelajaran pada
setiap jenis bidang studi keahlian. Bentuk bidang studi
keahlian merupakan unit akademik terkecil dalam
pendidikan kejuruan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Cukup jelas.
Pasal 84 . . .
DISTRIBUSI II
- 17 -
Pasal 84
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Termasuk produk ilmu pengetahuan, teknologi,
seni, atau olahraga, antara lain, dalam bentuk
artikel, desain, paten, atau bahan ajar.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “satuan kredit semester” dalam
ketentuan ini adalah beban belajar mahasiswa dan beban
kerja dosen dalam sistem kredit semester (SKS).
Banyaknya SKS yang diberikan untuk mata kuliah atau
proses pembelajaran lainnya merupakan pengakuan atas
keberhasilan usaha untuk menyelesaikan kegiatan
akademik bersangkutan. Dalam setiap semester, 1 (satu)
sks sama atau setara dengan 3 (tiga) jam beban belajar
yang mencakup kegiatan tatap muka, kegiatan
terstruktur, dan kegiatan mandiri untuk kurun waktu
16 (enam belas) minggu efektif.
Ayat (2) . . .
DISTRIBUSI II
- 18 -
Ayat (2)
Dalam setiap semester, 1 (satu) satuan kredit semester
sama dengan beban studi setiap minggu berupa 1 (satu)
jam tatap muka, 1 (satu) jam kegiatan terstruktur, dan 1
(satu) jam kegiatan mandiri untuk kurun waktu 16 (enam
belas) minggu efektif dengan 16 (enam belas) kali
pertemuan. Satu mata kuliah berbobot 3 (tiga) satuan
kredit semester berarti sama dengan kegiatan studi 3 (tiga)
jam tatap muka, 3 (tiga) jam kegiatan terstruktur, dan 3
(tiga) jam kegiatan mandiri selama 16 (enam belas)
minggu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 88
Cukup jelas.
Pasal 89
Cukup jelas.
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
DISTRIBUSI II
- 19 -
Ayat (4)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “program kembaran” dalam
ketentuan ini adalah program yang dilaksanakan
secara bersama oleh dua perguruan tinggi atau
lebih untuk melaksanakan suatu program studi.
Ijazah dan gelar yang diberikan dilakukan
berdasarkan kesepakatan dari kedua belah pihak
dengan memperhatikan berbagai persyaratan
pemberian ijazah maupun gelar akademik dari tiaptiap
perguruan tinggi dalam rangka pengendalian
mutu.
Persetujuan senat akademik dalam hal ini
diperlukan untuk menjamin bahwa kerjasama ini
telah dikaji dengan baik sebelumnya.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Pertukaran dosen dapat dilakukan antara lain
melalui program cuti sabatikal (sabatical leave), cuti
panjang untuk mengadakan penelitian atau
mengikuti kursus untuk menyegarkan ilmu, yang
tata caranya dapat diatur oleh tiap-tiap perguruan
tinggi.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g . . .
DISTRIBUSI II
- 20 -
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.
Pasal 93
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penelitian dasar” dalam
ketentuan ini adalah penelitian yang berorientasi tentang
penjelasan fenomena alam (penelitian untuk ilmu) yang
melandasi penelitian terapan dan penelitian
pengembangan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
DISTRIBUSI II
- 21 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Pasal 94
Cukup jelas.
Pasal 95
Cukup jelas.
Pasal 96
Cukup jelas.
Pasal 97
Cukup jelas.
Pasal 98
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3) . . .
DISTRIBUSI II
- 22 -
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Contoh gelar lulusan pendidikan profesi antara lain Ak.
untuk akuntansi, Apt. untuk apoteker yang ditulis di
belakang nama yang berhak, dan dr. untuk dokter yang
ditulis di depan nama yang berhak.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 99
Cukup jelas.
Pasal 100
Cukup jelas.
Pasal 101
Cukup jelas.
Pasal 102
Ayat (1)
Pendidikan nonformal berfungsi sebagai pengganti,
penambah, dan pelengkap pendidikan formal bagi peserta
didik yang karena berbagai hal tidak dapat mengikuti
kegiatan pembelajaran pada satuan pendidikan formal
atau peserta didik memilih jalur pendidikan nonformal
untuk memenuhi kebutuhan belajarnya.
Jenis . . .
DISTRIBUSI II
- 23 -
Jenis-jenis pendidikan nonformal yang mempunyai fungsi
pengganti pendidikan formal, adalah: Program Paket A
setara SD, Program Paket B setara SMP, dan Program
Paket C setara SMA serta kursus dan pelatihan.
Pendidikan nonformal berfungsi sebagai penambah pada
pendidikan formal apabila pengetahuan, keterampilan,
dan sikap yang diperoleh peserta didik pada satuan
pendidikan formal dirasa belum memadai. Pendidikan
nonformal berfungsi sebagai pelengkap apabila peserta
didik pada satuan pendidikan formal merasa perlu untuk
menambah pengetahuan, keterampilan, dan sikap melalui
jalur pendidikan nonformal.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 103
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “lembaga akreditasi lain” seperti
Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja dan Lembaga
Sertifikasi Profesi
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6). . .
DISTRIBUSI II
- 24 -
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Yang dimaksud dengan “ujian kesetaraan” adalah ujian
kesetaraan dengan hasil belajar pada akhir pendidikan
formal.
Pasal 104
Cukup jelas.
Pasal 105
Cukup jelas.
Pasal 106
Cukup jelas.
Pasal 107
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “kelompok bermain” adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program
pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagi
anak usia 2 (dua) sampai 6 (enam) tahun dengan prioritas
2 (dua) sampai 4 (empat) tahun yang memperhatikan
aspek kesejahteraan sosial anak.
Yang dimaksud dengan “taman penitipan anak” adalah
salah satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program
pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagi
anak usia nol sampai enam tahun dengan prioritas nol
sampai empat tahun yang memperhatikan aspek
pengasuhan dan kesejahteraan sosial anak.
Ayat (2). . .
DISTRIBUSI II
- 25 -
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “satuan pendidikan anak usia dini
jalur pendidikan nonformal yang sejenis” adalah salah
satu bentuk satuan pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program
pendidikan dalam bentuk bermain sambil belajar bagi
anak usia nol sampai 6 (enam) tahun yang dapat
diselenggarakan dalam bentuk program secara mandiri
atau terintegrasi dengan berbagai layanan anak usia dini
dan di lembaga keagamaan yang ada di masyarakat.
Pasal 108
Ayat (1)
Kecakapan personal mencakupi kecakapan dalam
melakukan ibadah sesuai dengan agama yang dianutnya,
kecakapan dalam pengenalan terhadap kondisi dan
potensi diri, kecakapan dalam melakukan koreksi diri,
kecakapan dalam memilih dan menentukan jalan hidup
pribadi, percaya diri, kecakapan dalam menghadapi
tantangan dan problema serta kecakapan dalam mengatur
diri.
Kecakapan sosial mencakupi kecakapan dalam hidup
berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
kecakapan bekerja sama dengan sesama, kecakapan
dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan, empati atau
tenggang rasa, kepemimpinan dan tanggung jawab sosial.
Kecakapan estetis mencakupi kecakapan dalam
meningkatkan sensitifitas, kemampuan mengekspresikan,
dan kemampuan mengapresiasi keindahan dan harmoni.
Kecakapan . . .
DISTRIBUSI II
- 26 -
Kecakapan kinestetis mencakupi kecakapan dalam
meningkatkan potensi fisik untuk mempertajam kesiapan,
gerakan terbimbing, gerakan refleks, gerakan yang
kompleks, dan gerakan improvisasi individu.
Kecakapan intelektual mencakupi kecakapan terhadap
penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau seni
sesuai dengan bidang yang dipelajari, berpikir kritis dan
kreatif, kecakapan melakukan penelitian dan percobaanpercobaan
dengan pendekatan ilmiah.
Kecakapan vokasional mencakupi kecakapan dalam
memilih bidang pekerjaan, mengelola pekerjaan,
mengembang profesionalitas dan produktivitas kerja dan
kode etik bersaing dalam melakukan pekerjaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 109
Cukup jelas.
Pasal 110
Cukup jelas.
Pasal 111
Cukup jelas.
Pasal 112 . . .
DISTRIBUSI II
- 27 -
Pasal 112
Cukup jelas.
Pasal 113
Cukup jelas.
Pasal 114
Ayat (1)
Program Paket C Kejuruan merupakan program
pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan
kejuruan setara SMK atau MAK.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Ayat (8)
Cukup jelas.
Ayat (9)
Cukup jelas.
Ayat (10) . . .
DISTRIBUSI II
- 28 -
Ayat (10)
Cukup jelas.
Ayat (11)
Cukup jelas.
Ayat (12)
Cukup jelas.
Pasal 115
Cukup jelas.
Pasal 116
Cukup jelas.
Pasal 117
Cukup jelas.
Pasal 118
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “karakteristik terbuka” adalah
sistem pendidikan yang diselenggarakan dengan
fleksibilitas pilihan dan waktu penyelesaian program.
Peserta didik dapat belajar sambil bekerja, atau
mengambil program pendidikan yang berbeda secara
terpadu dan berkelanjutan melalui pembelajaran tatap
muka atau jarak jauh.
Yang dimaksud dengan “belajar mandiri” adalah proses
belajar yang dilakukan peserta didik secara peseorangan
atau kelompok dengan memanfaatkan berbagai sumber
belajar dan mendapat bantuan atau bimbingan belajar
atau tutorial sesuai kebutuhan.
Yang . . .
DISTRIBUSI II
- 29 -
Yang dimaksud dengan “belajar tuntas” adalah proses
pembelajaraan untuk mencapai taraf penguasaan
kompetensi (mastery level) sesuai dengan tuntutan
kurikulum. Peserta didik dapat mencapai tingkat
penguasaan kompetensi yang dipersyarakan dengan
kecepatan yang berbeda-beda. Proses belajar berlangsung
secara bertahap dan berkelanjutan. Misalnya, seorang
peserta didik baru dapat menempuh kegiatan belajar
(learning tasks) berikutnya apabila telah menguasai
kompetensi yang telah disyaratkan dalam kegiatab belajar
sebelumnya.
Pasal 119
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “moda pembelajaran”
adalah kerangka konseptual dan operasional yang
digunakan untuk mengorganisasikan belajar dan
pembelajaran.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 120 . . .
DISTRIBUSI II
- 30 -
Pasal 120
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pengorganisasian pendidikan
jarak jauh modus tunggal” adalah penyelenggaraan
pendidikan jarak jauh dalam satu satuan pendidikan
formal pada berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.
Pada tingkat pendidikan tinggi pengorganisasian modus
tunggal adalah seperti yang diselenggarakan oleh
Universitas Terbuka di Indonesia, Shukothai Thammathirat
Open University di Thailand, dan University on the Air di
China.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pengorganisasian modus ganda”
adalah penyelenggaraan pendidikan jarak jauh bersamaan
dengan pendidikan tatap muka pada berbagai jalur,
jenjang, dan jenis pendidikan. Pendidikan tatap muka
tersebut terikat dengan jadwal waktu dan tempat seperti
yang berlangsung pada lembaga pendidikan umumnya.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan “pengorganisasian modus
konsorsium” adalah penyelenggaraan pendidikan jarak
jauh pada berbagai jalur, jenjang, dan jenis pendidikan
oleh beberapa satuan pendidikan secara bersama
(kolaboratif). Misalnya, suatu perguruan tinggi
bekerjasama dengan perguruan tinggi lain atau lembaga
lain dalam bentuk program pendidikan tumpang lapis
(sandwich) atau kembaran (twinning) jarak jauh, dan
universitas maya (cyber university).
Ayat (5). . .
DISTRIBUSI II
- 31 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 121
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pendidikan jarak jauh dengan
lingkup mata pelajaran atau mata kuliah” adalah suatu
satuan pendidikan yang menyelenggarakan
pendidikan jarak jauh hanya untuk satu mata
pelajaran, misalnya SMA menyelenggarakan pembelajaran
jarak jauh untuk mata pelajaran bahasa Inggris.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Pendidikan jarak jauh dengan lingkup satuan pendidikan
antara lain pendidikan yang diselenggarakan oleh SMP
Terbuka dan SMA Terbuka yang menyelenggarakan
pendidikan SMP dan SMA, dan Universitas Terbuka yang
menyelenggarakan program pendidikan tinggi.
Pasal 122
Cukup jelas.
Pasal 123
Cukup jelas.
Pasal 124
Cukup jelas.
Pasal 125 . . .
DISTRIBUSI II
- 32 -
Pasal 125
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan “peraturan perundangundangan”
dalam ketentuan ini, misalnya, Undangundang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran,
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang
Kebebasan Memperoleh Informasi Publik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 126
Cukup jelas.
Pasal 127
Cukup jelas.
Pasal 128
Cukup jelas.
Pasal 129 . . .
DISTRIBUSI II
- 33 -
Pasal 129
Cukup jelas.
Pasal 130
Cukup jelas.
Pasal 131
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “menjamin” adalah:
a. membantu tersedianya sarana dan prasarana serta
pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan oleh
peserta didik berkelainan; atau
b. memberi sanksi administratif kepada satuan
pendidikan yang memiliki sumber daya yang tidak
menerima peserta didik berkelainan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 132
Cukup jelas.
Pasal 133 . . .
DISTRIBUSI II
- 34 -
Pasal 133
Ayat (1)
Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk taman
kanak-kanak luar biasa, antara lain, taman kanak-kanak
khusus, atau taman kanak-kanak istimewa.
Ayat (2)
Huruf a
Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk
sekolah dasar luar biasa, antara lain, sekolah dasar
khusus atau sekolah dasar istimewa.
Huruf b
Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk
sekolah menengah pertama luar biasa, antara lain,
sekolah menengah pertama khusus atau sekolah
menengah pertama istimewa.
Ayat (3)
Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah
menengah atas luar biasa, antara lain, sekolah menengah
atas khusus atau sekolah menengah atas istimewa.
Sebutan lain yang sejenis dan sederajat untuk sekolah
menengah kejuruan luar biasa, antara lain, sekolah
menengah kejuruan khusus atau sekolah menengah
kejuruan istimewa.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 134 . . .
DISTRIBUSI II
- 35 -
Pasal 134
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan manusia
untuk memahami dan melaksanakan ajaran agama.
Kecerdasan intelektual merupakan kecerdasan manusia
yang terutama digunakan manusia untuk berhubungan
dengan mengelola alam.
Keceredasan emosional merupakan kecerdasan manusia
yang terutama digunakan untuk mengelola emosi diri
sendiri dan hubungan dengan orang lain dan masyarakat
dengan sikap empati.
Kecerdasan sosial merupakan kecerdasan manusia yang
terutama digunakan untuk berhubungan dan bekerja
sama dengan orang lain dan masyarakat serta hubungan
antarmanusia.
Kecerdasan estetik merupakan kecerdasan manusia yang
berhubungan dengan rasa keindahan, keserasian, dan
keharmonisan.
Kecerdasan kinestetik merupakan kecerdasan manusia
yang berhubungan dengan koordinasi gerak tubuh seperti
yang dilakukan penari dan atlet.
Pasal 135
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2). . .
DISTRIBUSI II
- 36 -
Ayat (2)
Huruf a
Program percepatan adalah program pembelajaran
yang dirancang untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik mencapai standar isi dan
standar kompetensi lulusan dalam waktu yang
lebih singkat dari waktu belajar yang ditetapkan.
Misalnya, lama belajar 3 (tiga) tahun pada SMA
dapat diselesaikan kurang dari 3 (tiga) tahun.
Huruf b
Program pengayaan adalah program pembelajaran
yang dirancang untuk memberikan kesempatan
kepada peserta didik guna mencapai kompetensi
lebih luas dan/atau lebih dalam dari pada standar
isi dan standar kompetensi lulusan. Misalnya,
cakupan dan urutan mata pelajaran tertentu
diperluas atau diperdalam dengan menambahkan
aspek lain seperti moral, etika, aplikasi, dan saling
keterkaitan dengan materi lain yang memperluas
dan/atau memperdalam bidang ilmu yang
menaungi mata pelajaran tersebut.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 136
Cukup jelas.
Pasal 137 . . .
DISTRIBUSI II
- 37 -
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Cukup jelas.
Pasal 139
Cukup jelas.
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Penyelenggaraan pendidikan layanan khusus pada jalur
pendidikan formal, antara lain, dalam bentuk:
a. sekolah atau madrasah kecil;
b. sekolah atau madrasah terbuka;
c. pendidikan jarak jauh;
d. sekolah atau madrasah darurat;
e. pemindahan peserta didik ke daerah lain; dan/atau
f. bentuk lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundangan-undangan.
Pasal 141
Cukup jelas.
Pasal 142
Cukup jelas.
Pasal 143
Yang dimaksud dengan “negara maju” adalah negara yang
mempunyai keunggulan di bidang ilmu pengetahuan, teknologi,
dan seni tertentu.
Pasal 144 . . .
DISTRIBUSI II
- 38 -
Pasal 144
Cukup jelas.
Pasal 145
Cukup jelas.
Pasal 146
Cukup jelas.
Pasal 147
Cukup jelas.
Pasal 148
Cukup jelas.
Pasal 149
Cukup jelas.
Pasal 150
Cukup jelas.
Pasal 151
Cukup jelas.
Pasal 152
Cukup jelas.
Pasal 153
Cukup jelas.
Pasal 154
Cukup jelas.
Pasal 155 . . .
DISTRIBUSI II
- 39 -
Pasal 155
Cukup jelas.
Pasal 156
Cukup jelas.
Pasal 157
Cukup jelas.
Pasal 158
Cukup jelas.
Pasal 159
Cukup jelas.
Pasal 160
Cukup jelas.
Pasal 161
Cukup jelas.
Pasal 162
Cukup jelas.
Pasal 163
Ayat (1)
Sistem pendidikan negara lain meliputi kurikulum,
pembelajaran, penilaian, dan/atau penjenjangan
pendidikan yang secara resmi berlaku di negaranya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 164 . . .
DISTRIBUSI II
- 40 -
Pasal 164
Cukup jelas.
Pasal 165
Cukup jelas.
Pasal 166
Cukup jelas.
Pasal 167
Cukup jelas.
Pasal 168
Cukup jelas.
Pasal 169
Cukup jelas.
Pasal 170
Cukup jelas.
Pasal 171
Ayat (1)
Sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya antara
lain pamong pendidikan anak usia dini, guru pembimbing
khusus, dan narasumber teknis.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c . . .
DISTRIBUSI II
- 41 -
Huruf c
Konselor dalam ketentuan ini termasuk guru
bimbingan dan konseling.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Cukup jelas.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 172
Cukup jelas
Pasal 173
Cukup jelas.
Pasal 174
Cukup jelas.
Pasal 175 . . .
DISTRIBUSI II
- 42 -
Pasal 175
Cukup jelas.
Pasal 176
Cukup jelas.
Pasal 177
Cukup jelas.
Pasal 178
Cukup jelas
Pasal 179
Cukup jelas.
Pasal 180
Cukup jelas.
Pasal 181
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Apabila pendidik merasa bahwa peserta didik memerlukan
pembelajaran tambahan, dengan kebutuhan itu dipenuhi
melalui program remedial sesuai ketentuan kurikulum
yang berlaku.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 182 . . .
DISTRIBUSI II
- 43 -
Pasal 182
Cukup jelas.
Pasal 183
Cukup jelas.
Pasal 184
Cukup jelas.
Pasal 185
Cukup jelas.
Pasal 186
Cukup jelas.
Pasal 187
Cukup jelas.
Pasal 188
Ayat (1)
Masyarakat yang berperan serta, antara lain, orang tua
atau wali peserta didik, keluarga peserta didik, komunitas
di sekitar satuan pendidikan, organisasi profesi pendidik,
organisasi orang tua atau wali peserta didik, organ
representasi pemangku kepentingan satuan pendidikan
seperti komite sekolah/madrasah dan majelis wali amanah
perguruan tinggi, dewan pendidikan, organisasi profesi
lain, lembaga usaha, organisasi kemasyarakatan, serta
orang, lembaga, atau organisasi lain yang relevan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4) . . .
DISTRIBUSI II
- 44 -
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 189
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Satu satuan pendidikan dapat memiliki kekhasan agama,
lingkungan sosial, dan budaya sekaligus. Kekhasan agama
satuan pendidikan dapat berupa pendidikan umum yang
diselenggarakan oleh kelompok agama tertentu;
pendidikan umum yang menyelenggarakan pendidikan
umum dan ilmu agama seperti MI, MTs, dan MA; atau
pendidikan keagamaan seperti pendidikan diniyah,
pesantren, pabbajja samanera, dan bentuk lain yang
sejenis. Pendidikan dengan kekhasan lingkungan sosial
dan budaya merupakan muatan pendidikan dan/atau
pendekatan pembelajaran yang disesuaikan dengan
kebutuhan dan potensi sosial dan budaya setempat.
Pasal 190
Cukup jelas.
Pasal 191
Cukup jelas.
Pasal 192
Cukup jelas.
Pasal 193
Cukup jelas.
Pasal 194 . . .
DISTRIBUSI II
- 45 -
Pasal 194
Cukup jelas.
Pasal 195
Cukup jelas.
Pasal 196
Cukup jelas.
Pasal 197
Ayat (1)
Komposisi keanggotaan komite sekolah/madrasah,
misalnya, perwakilan orang tua/wali peserta didik, hanya
memenuhi 40% (empat puluh persen), sehingga unsur
perwakilan tokoh masyarakat berjumlah 30% (tiga puluh
persen) dan pakar pendidikan berjumlah 30% (tiga puluh
persen).
Apabila perwakilan orang tua/wali peserta didik sudah
memenuhi 50% (lima puluh persen), unsur perwakilan
tokoh masyarakat dapat berjumlah 25% (dua puluh lima
persen) dan pakar pendidikan berjumlah 25% (dua puluh
lima persen), atau tokoh masyarakat berjumlah 30% (tiga
puluh persen) dan pakar pendidikan berjumlah 20% (dua
puluh persen), atau tokoh masyarakat berjumlah 20%
(dua puluh persen) dan pakar pendidikan berjumlah 30%
(tiga puluh persen).
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5) . . .
DISTRIBUSI II
- 46 -
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 198
Cukup jelas.
Pasal 199
Cukup jelas.
Pasal 200
Cukup jelas.
Pasal 201
Cukup jelas.
Pasal 202
Cukup jelas.
Pasal 203
Cukup jelas.
Pasal 204
Cukup jelas.
Pasal 205
Cukup jelas.
Pasal 206 . . .
DISTRIBUSI II
- 47 -
Pasal 206
Cukup jelas.
Pasal 207
Cukup jelas.
Pasal 208
Cukup jelas.
Pasal 209
Cukup jelas.
Pasal 210
Cukup jelas.
Pasal 211
Cukup jelas.
Pasal 212
Cukup jelas.
Pasal 213
Cukup jelas.
Pasal 214
Cukup jelas.
Pasal 215
Cukup jelas.
Pasal 216
Cukup jelas.
Pasal 217 . . .
DISTRIBUSI II
- 48 -
Pasal 217
Cukup jelas.
Pasal 218
Cukup jelas.
Pasal 219
Cukup jelas.
Pasal 220
Cukup jelas.
Pasal 221
Cukup jelas.
Pasal 222
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5105

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

thank yaws